Sampai di rumah sakit mereka langsung masuk ke ruangan yang biasanya dipakai untuk melakukan wawancara pasien. Ruangan itu tampak nyaman layaknya ruang tamu di rumah sendiri. Ada sofa besar yang terletak di tengah-tengah lalu beberapa tanaman hijau di sudut ruangan. Ada juga dispenser air serta kulkas mini di sudut lainnya, Larisa yang merasa haus segera berlari membuka kulkas itu.
“Aku boleh ambil satu?”
“Silahkan,” jawab Ningsih yang sudah menunggu di sana.
Lalu Abi membawa gadis yang memiliki tinggi cuma sebahunya itu untuk duduk di sofa.
“La, sekarang kamu bisa ceritakan dengan tenang dan santai tentang perasaan kamu,” kata Abi memulai sesi wawancara.
Gadis itu memiringkan kepalanya seakan sedang berpikir. “Pokoknya aku tuh gampang sedih juga gampang marah. Kalau lagi sedih pengennya nangis aja, tapi kalau lagi marah aku pengen marah-marah.”
“Bisa kamu bilang penyebabnya apa?” tanya Ningsih
“Hhmm gara-gara Bayu. Aku benci sama dia.”
“Kenapa?” giliran Abi yang bertanya.
“Dia ninggalin aku pas acara pernikahan kita mau di gelar. Dia bilang katanya harus bertanggung jawab sama pacarnya yang sudah hamil, dia juga bilang gak pernah cinta sama aku, dia … dia cuma memanfaatkan aku saja karena punya uang banyak. Dia … dia …” Larisa mulai menitikkan air mata.
Ningsih pun bergegas berpindah duduk ke samping gadis itu untuk menenangkannya. “Tarik nafas yang dalam lalu hembuskan. Ingat kamu ceritanya harus tenang dan santai jangan biarkan emosi menguasai diri kamu.”
Sambil menangis gadis itu menghirup nafas dalam lalu membuangnya. Hingga beberapa kali ia dapat menguasai dirinya kembali.
“Mau minum?” tanya Abi menyodorkan minuman dingin yang tadi di ambil Larisa.
Gadis itu meneguknya hingga setengah botol kemudian ia seka mulutnya yang basah dengan kasar layaknya anak kecil. Abi merasa gemas dengan tingkah Larisa.
“Kok, Kakak ketawa?”
“Kamu lucu,” jawab Abi tersenyum. “Sekarang cerita, apa lagi yang kamu rasakan terhadap Bayu.”
“Pokoknya aku kesal karena gak bisa ketemu sama dia.”
“Buat apa ketemu sama dia?”
“Aku mau pukul, mau tonjok dan tendang dia karena sudah bikin kluarga aku malu.”
“Jadi kamu mau melampiaskan emosi?”
Larisa menganggukan kepalanya
“Kenapa kamu gak terima saja dengan ikhlas lalu move on?”
“Susah, Kak, setiap aku mau coba melupakan dia, gak bisa jadinya aku sedih plus marah sama diri aku sendiri. Kenapa selalu ingat sama dia, apalagi Mama sama Papa kadang juga suka bikin aku ingat sama kenangan kami.”
“Contohnya?”
“Hhhmm ... kayak pesan makanan di restoran kemarin. Aku gak mau makan itu lagi karena dulu Bayu suka kasih aku makanan itu.”
“Bukannya itu makanan kesukaan kamu?” tanya Ningsih
“Iya sih, Tante, tapi kan aku jadi ingat dia.”
“Terus apa lagi?” tanya Abi
“Kakak, kemarin panggil aku sama kayak Bayu panggil aku.” Wajahnya langsung berubah kesal
Abi mengangguk, ia paham sekarang.
“Kata Mama dan Papa, kamu pernah melakukan percobaan bunuh diri, ya?” kembali Ningsih yang bertanya
Larisa mengangguk pelan dan raut wajahnya tampak sedih
“Kenapa?”
“Karena aku merasa bersalah sudah bikin Mama sama Papa malu. Aku juga merasa gak bisa bahagia lagi kalau gak sama Bayu.”
“Kata siapa? Kamu belum move on saja. Artinya dia itu bukan pria yang baik untuk kamu. Pasti ada pria baik di luar sana yang bisa bikin kamu bahagia,” kata Abi
“Benarkah?” Ia kembali menangis. Ningsih pun dengan cepat memeluk gadis itu.
“La, Tante paham mungkin kamu merasa kecewa dengan kenyataan yang gak sesuai dengan harapan kamu. Sedih boleh, tapi gak berlarut seperti ini sampai kamu menyiksa diri kamu sendiri. Kasian Mama sama Papa kamu, mereka sayang loh sama kamu dan mereka sedih melihat kondisimu sekarang.”
“Aku mau sembuh, Tante, aku mau lupain Bayu, aku mau hidup bahagia sama laki-laki yang bisa mencintai aku apa adanya, bukan karena harta yang aku milik.” Tangis Larisa pecah
Abi yang merasa iba dan kasihan segera duduk di samping gadis kecil itu. Ia pun memeluknya dengan erat memberikan kenyaman dan ketenangan lewat usapan lembut dari puncak kepala hingga punggung.
“La, kamu percaya sama, Kakak kan?”
Abi merasakan kepala gadis itu mengangguk di dadanya.
“Mulai sekarang kamu harus bisa mengendalikan emosi. Jangan biarkan amarah dan sedih itu menguasai kamu hingga membuat kamu histeris dan mengamuk.”
“Selama ini Mama dan Papa gak pernah mengerti aku, Kak. Mereka cuma bisa mengurung aku di kamar ketika aku marah, nangis dan ngamuk. Padahal aku cuma butuh didengar.”
“Iya, Kakak paham dan ngerti sama kondisi kamu. Mulai sekarang kita jalani pengobatan, ya,” bujuk Abi menangkup wajah Larisa.
“Kakak, janji mau jadi teman aku? Kakak, gak akan memperlakukan aku seperti Mama dan Papa? Kakak, juga gak akan mengikat aku seperti dokter-dokter lainnya?” Gadis itu butuh keyakinan.
“Asalkan kamu nurut dan percaya sama, Kakak.”
“Aku akan nurut dan percaya sama, Kaka. Karena, Kakak yang bisa bikin aku nyaman.”
Abi menyeka pipi Larisa yang basah karena air mata lalu merapikan anak rambut yang melekat di kening. “Sekarang kita lakukan tes fisik sekalian tes darah?”
Larisa pun menganggukkan kepalanya dengan cepat yang artinya ia setuju.
...🐦🐦🐦🐦...
Lelah akibat emosi yang terkuras habis setelah menangis, Larisa pun sedang istirahat di salah satu ruang rawat. Kini Abi dan Ningsih sedang duduk berhadapan dengan kedua orang tua gadis itu di kantor Ningsih.
“Tes fisik dan tes darah kita lakukan untuk mengetahui apakah ada kemungkinan penyakit lain yang diderita Larissa sekaligus untuk mengetahui apakah ia ada alergi obat-obatan,” jelas Ningsih.
“Besok kita akan mulai melakukan terapi obat seperti Antidepresan. Pada minggu-minggu awal kami kerap harus mengubah pengobatan, tujuannya untuk menentukan pilihan obat yang mampu ditoleransi baik oleh Larisa. Awalnya kita berikan dosis rendah lalu dosis akan ditingkatkan secara bertahap, sampai peningkatan mulai terlihat kecuali ada efek samping yang signifikan muncul, maka pengobatn akan kita hentikan,” tambah Abi.
“Artinya Larisa akan mengonsumsi obat-obatan sampai dia sembuh, Dok?” tanya Davira.
“Tidak, Buk. Sampai kondisinya jauh lebih baik. Jika, kami rasa Larisa tak perlu lagi minum obat, maka akan kita hentikan. Tinggal menjalani Psikoterapi.”
“Psikoterapi itu sendiri untuk apa, ya, Dok?” Giliran Endra yang bertanya.
“Biasanya terapi ini membantu pasien untuk berpikir lebih jernih, positif, serta dapat mencari cara untuk bertahan dalam keadaan depresi. Bisa juga Larisa mencari support system,” terang Ningsih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Salma Syam
lanjut thour
2022-08-26
1
🪴🍓🌟💫sangdewi💫🌠💐🏵️
cerita santai,
2022-06-06
2
Mamah Novi
terharu bacanya
2022-05-27
1