Kedua orang tua itu mengangguk paham. Mereka sepertinya sudah mempercayakan putrinya ke tangan yang tepat.
“Jadi, kapan putri saya bisa pulang?” tanya Endra
“Nanti kalau Larisa pengen pulang akan saya antar ke rumah. Sekarang beri dia waktu untuk menerima kondisinya yang kurang stabil,” jawab Abi.
Mendapatkan keterangan dan penjelasan yang memuaskan Davira dan Endra memutuskan untuk kembali ke rumah mereka. Meski belum bisa memeluk sang putri, tapi mereka sudah dapat bernafas sedikit lega karena tadi Larisa sudah bisa mengontrol emosinya.
“Mah, kalau gitu aku juga pulang, ya. Sekalian bawa Larisa istirahat di rumah,” pamit Abi pada Mamanya.
“Iya, hati-hati di jalan.”
...🐱🐱🐱🐱...
Dua minggu di rumah Abi Larisa belum mengalami kemajuan yang pesat. Memang butuh waktu yang lama, tapi Abi kini berfokus pada pola makan pasiennya itu. Sebab berat badan Larisa yang turun drastis membuatnya tampak seperti orang kekurangan gizi. Badan kurus, pipi tirus, wajah yang pucat memudarkan kecantikannya.
Makanya kini ia benar-benar memperhatikan asupan Larisa dan ia sudah berhasil menaikan berat badan gadis itu sebanyak 4 kilo. Yang awalnya cuma 40 kg kini sudah 44 kg, usahanya membuahkan hasil. Bukan hanya itu Abi juga mengajak Larisa berolahraga, meski kadang sedikit sulit untuk membujuknya karena mood gadis itu gampang sekali berubah-ubah.
Abi harus memiliki stok rasa sabar yang tak terbatas, karena mengurus Larisa seperti mengurus anak kecil. Kadang tiba-tiba saja ia merengek dan menangis jika kemauannya tidak dituruti, kadang ia bisa marah hanya karena hal sepele yang tak disukainya. Hidup Abi juga ikut berubah 180 derajat.
Meski pernah menangani pasien di luar negeri sana. Namun, ia tak pernah turun tangan langsung seperti ini. Di luar negri ia memiliki suster atau psikolog yang siap menemani pasien, ia hanya bertemu sekali untuk melihat perkembangan dan memutuskan perawatan seperti apa yang akan dijalankan oleh pasien selanjutnya.
Sekarang ia seperti menemukan pengalaman baru. Abi kadang di buat tersenyum dan tertawa oleh sikap Larisa, kadang ia juga dibuat pusing tujuh keliling. Membuatnya lupa akan tujuan pulang ke Indonesia.
“Kak,” rengek gadis itu pada Abi yang sedang sibuk didepan laptop.
“Hhhmm.”
“Aku kangen Mama sama Papa.”
“Kamu mau pulang?’
Larisa mengangguk.
“Ya sudah, kemasi baju-baju kamu, kita berangkat nanti sore.”
Gadis itu tersenyum girang ia lalu memeluk Abi dari samping dan mendaratkan sebuah kecupan di pipi pria yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu. Abi pun kaget ia langsung meraba pipinya yang terasa sedikit panas, tapi itu hanya sebuah kecupan bukan tamparan. Lalu ia menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Tante, aku pulang, ya?” pamit Larisa pada Ningsih.
“Benar? Nanti nangis lagi kayak kemaren. Udah sampai rumah minta balik lagi,” goda Ningsih.
“Kali ini beneran. Aku mau tidur sama Mama, Papa,” jawabnya senang.
“Ya, sudah hati-hati di jalan. Titip salam buat Mama, Papanya. Obat jangan lupa diminum.”
“Siap,” jawab Larisa memberikan hormat lalu memeluk wanita yang tampak muda di usia senjanya.
“Mah, aku antar Larisa dulu,” pamit Abi.
“Nanti pulang ke sini kan?”
“Kayaknya aku pulang ke apartemen deh, Mah. Sudah lama gak kesana, mau bersih-bersih,” jawab Abi menarik koper Larisa.
Ningsih mencibir. “Mama sendirian lagi dong di rumah”
“Nanti kalau Larisa mau kesini lagi, aku juga kesini kok. Palingan dia cuma betah semalam di rumahnya.”
“Oke deh. Hati-hati di jalan. Kabarin Mama kalau Larisa jadi nginap di rumah orang tuanya.”
...🦊🦊🦊🦊...
Sampai di rumahnya, Larisa bergegas turun dari mobil dan berlari masuk untuk menemui kedua orang tuanya. Layaknya anak kecil pikir Abi dan ia menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah pasiennya itu.
Rumah Endra tak lagi seperti sangkar emas. Pagar besi yang melekat di setiap pintu dan jendela sudah di lepas atas saran Abi. Cuma kamar Larisa yang masih diberi pintu terali. Jika ingin Larissa betah di rumah maka ciptakanlah suasana yang nyaman bukan mengekang seperti penjara. Hanya saja perabotan yang dapat mengancam nyawa memang harus disingkirkan.
“Sayang,” sambut Davira memeluk putrinya.
“Sama siapa ke sini?’ tanya Endra.
“Kak, Abi.”
“Mana?”
“Tuh di depan.”
“Om, Tante,” jawab Abi menyeret koper Larisa
“Kenapa gak minta Bibik aja yang bawa kopernya, Dok,” kata Endra
“Gak pa-pa kok, Om.”
“Silahkan duduk, Nak,” ujar Davira.
“Larisa kangen katanya, jadi saya antar pulang. Dia juga mau menginap disini,” jelas Abi setelah duduk di sofa ruang tamu.
“Benar?” Davira menatap sang putri dan gadis itu mengangguk sambil tersenyum lebar
“Saya cuma mau ngatar aja. Kalau gitu saya pamit pulang, Om, Tante.”
“Makan malam dulu lah, masak langsung pamit,” tawar Endra.
“Iya, kita makan malam bareng di sini. Tante udah masak tadi,” tambah Davira.
Abi pun setuju mereka semua beralih ke meja makan. Disana pembahasan mereka tak jauh-jauh dari perkembangan Larisa. Meski belum tampak perubahan yang besar namun kedua orang tua itu senang melihat berat badan sang putri sudah kembali naik. Wajahnya juga mulai tampak segar tak seputih dulu lagi.
“La, Kakak, pulang, ya. Jangan nangis lagi minta balik. Kakak gak pulang ke rumah Mama. Kakak pulang ke apartemen,” jelas Abi pada pasiennya itu.
“Kok ke apartemen, Nak Abi?” tanya Davira.
“Sudah lama gak kesana, Tan. Pengen dibersihin.”
“Ooh, kalau gitu hati-hati di jalan. Terimakasih sudah mengantar putri saya pulang.”
“Sama-sama, Tante. Makasih juga makan malamnya, enak.”
Sebelum Abi pergi Larisa memeluk pria itu begitu erat sepertinya ia enggan untuk berpisah. “Makan yang banyak terus obatnya jangan lupa diminum. Besok pagi Kakak ke sini lagi.”
“Iya,” jawabannya sedih.
“Jangan nangis! Katanya mau tidur sama Papa, Mama.”
“Iya.” Larisa menyeka air matanya lalu melambaikan tangan melepas kepergian mobil Abi sampai hilang di balik pagar rumahnya yang menjulang tinggi.
...🐞🐞🐞🐞...
Tiga hari di rumah orang tuanya membuat Larisa mulai bosan. Apalagi Abi tak jadi menemuinya karena pria itu sedang sibuk mengurus izin prakteknya di Indonesia. Karena kondisi Larisa baik-baik saja makanya ia memutuskan untuk tak menemui gadis itu terlebih dahulu.
“Kita makan malam yuk sayang,” bujuk Davira
“Gak mau. Aku mau ke tempatnya Kak Abi,” Larisa merajuk sambil memeluk kedua tangan di dada layaknya anak kecil.
“Papa sudah telepon Dokter Abi, tapi gak diangkat.”
“Ya sudah kalau gitu antar aku ke apartemennya.”
“Tapi Papa gak tau alamatnya, sayang.”
“Tanya sama Tante Ningsih.”
Akhirnya dengan terpaksa Endra menghubungi Ningsih untuk menanyakan alamat apartemennya Abi. Setelah dapat ia membawa sang putri menuju alamat tersebut.
“Maaf, Pak, sepertinya orangnya belum pulang,” kata resepsionis
“Tuh, Dokter Abi nya belum pulang. Kita balik ke rumah aja, ya.” Davira membujuk sang putri
“Ga mau! Kita tunggu saja sampai Kak Abi pulang.”
“Mbak, biasanya dia pulang jam berapa, ya?” tanya Endra ke resepsionis.
“Sebentar lagi juga pulang, Pak.”
“Ya sudah, kami tunggu saja di kursi tunggu.”
“Baik, silahkan, Pak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Salma Syam
sabar y pk..
2022-08-26
0
🪴🍓🌟💫sangdewi💫🌠💐🏵️
lanjut
seruuuu
cerita nya g berbelit
2022-06-06
2
Mamah Novi
lanjut
2022-05-27
1