Davira dan Endra menghembuskan nafas lega ketika Larisa berhasil ditenangkan oleh pria yang belum mereka kenali itu. Begitu pula dengan Dokter Ningsih ia tersenyum lebar ketika Abi datang di waktu yang tepat. Selama perjalanan kembali ke dalam ruang dokter Ningsih, Larisa tak mau melepaskan dirinya dalam dekapan Abi. Entah kenapa ia merasa lebih aman di dekat pria yang baru saja ia temui tadi.
Di ruangan dokter Ningsih, Abi melakukan sedikit pemeriksaan terkait kondisi Larisa.
“Kamu percaya sama saya kan?” tanya Abi lembut pada gadis itu.
Larisa mengangguk.
“Saya akan memberikan satu suntikan. Apa kamu akan tetap tenang?”
“Itu apa?” tanya Larisa takut.
“Cuma obat, agar kamu bisa merasa sedikit lebih baik.”
“Bukan obat yang tadi disuntikkan ke pasien tadi kan?”
Abi tersenyum. “Bukan! Obat ini gak akan bikin kamu pingsan kok. Kamu bakalan tetap sadar, palingan cuma ngantuk dikit.”
“Nanti tangan sama kaki aku gak diborgol kan?"
“Gak akan. Percaya sama saya! Boleh?”
Larisa mengangguk ragu, tapi Abi tetap santai agar gadis di depannya merasa aman.
“Beres,” ucap Abi.
Larisa tersenyum sekilas.
“Kamu mau jalan-jalan sama suster di taman?” saran Abi.
Raut wajah Larisa tampak waspada.
“Di taman ada bunga mawar. Kamu bisa petik sebagai hadiah untuk saya karena sudah membantu kamu.” jelas Abi.
Larisa masih menekuk wajahnya namun ia juga berpikir. Takut kalau nanti ia dipegangi lagi oleh perawat dan suster seperti tadi.
“Suster gak akan megangin kamu lagi karena mereka takut sama saya.”
Ia setuju. Suter pun menemaninya menuju taman yang dimaksud oleh Abi.
Kedua orang tua Larisa sejak tadi hanya diam memperhatikan bagaimana pria itu berinteraksi dengan purti mereka. Ada banyak pertanyaan yang ingin diungkapkan namun menunggu penjelasan adalah pilihan terbaik untuk saat ini.
Setelah Larisa pergi bersama suster barulah Dokter Ningsih membuka suara.
“Perkenalkan ini putra saya, Abista Mardhani. Lulusan S3 spesialis kejiwaan. Baru saja kembali dari Australia seminggu yang lalu. Dia kesini berencana ingin membuka praktek sendiri.”
“Kami orang tuanya, Larisa,” jelas Endra. “Terimakasih sudah membantu anak saya tadi.”
“Sama-sama, Pak. Boleh saya tau penyebab putri kalian depresi?” Sebagai Doktor spesialis jiwa yang sudah memiliki asam garam tentu Abi bisa menebak hal yang sedang dialami Larisa hanya saja ia butuh penjelasan tentang penyebabnya.
“Kamu bisa bantu sembuhkan anak saya?” tanya Davira penuh harap.
"Untuk saat ini saya belum bisa memberikan kepastian, Buk. Saya baru saja menginjakkan kaki di sini. Rencananya ingin liburan dulu, tapi kalau memang kalian butuh bantuan akan saya pertimbangkan."
Davira berlutut di depan Abista. "Tolong, tolong bantu anak saya untuk bisa sembuh. Cuma kamu satu-satunya dokter yang mampu membuatnya tenang. Selama ini sudah banyak psikolog yang kami datangi namun mereka tak mampu menangani Larisa."
Abi membawa Davira bangkit dan duduk di sofa kembali. Rasa iba dan belas kasihannya yang begitu besar membuat ia tak mampu menolak permohonan seorang ibu ini. Apa lagi dari sorot matanya wanita itu juga tampak mulai stres dengan keadaan sang putri.
"Beri saya waktu untuk mempelajari kondisinya Larisa."
"Kamu serius, Bi?" tanya sang Mama. Namun Abi mengedipkan matanya sebagai kode kalau hal itu bisa mereka bicarakan nanti.
"Hari ini Larisa di bawa pulang dulu. Ini kartu nama saya, besok kalau dia histeris kalian bisa hubungi ke nomor yang tertera di sana," tutur Abi.
"Jadi, anak saya gak perlu dirawat?" tanya Endra.
Abi menggelengkan kepala. "Saya akan menangani Larisa secara pribadi nantinya."
"Tapi-"
"Sebaiknya, Bapak dan Ibuk pulang bersama Larisa. Tenangkan diri kalian dan besok kita bisa bicarakan baik-baik tentangnya."
Ningsih pun setuju akan saran sang putra. Pasutri itu kembali menuju kediaman mereka membawa Larisa yang sudah lebih tenang.
...🐣🐣🐣🐣...
“Kamu kok malah kasih mereka harapan sih, Bi?” tanya sang Mama
“Ya, gimana mau nolak, Ma. Gak bisa! Aku orangnya gak tegaan.”
Ningsih menghembuskan nafas kasar. “Kamu terlalu memikirkan perasaan orang lain, jadinya lupa sama diri sendiri.”
“Maksud, Mama apa sih?” Abi tak beranjak dari duduknya semula.
“Kamu lupa sekarang sudah umur berapa? Seharusnya kamu itu mulai cari calon istri terus nikah biar Mama bisa gendong cucu.”
Sebenarnya hal ini sudah sering mereka bahas. Bagi Abi umurnya belum terlalu tua, makanya ia belum ada keinginan untuk menikah. Hanya saja kalau di Indonesia pria yang sudah menginjak kepala tiga itu dianggap sudah tua.
“Ma.” Abi merasa sedikit jengkel jika membahas hal ini.
“Pokoknya, besok kita ketemu sama anak temannya Mama. Kamu sudah janjikan?!”
“Iya, aku emang janji. Tapi kita cuma ketemu kan?! Gak ada acara perjodohan nantinya.”
“Memangnya kenapa? Mama memang pengen jodohin kamu sama dia.”
“Mah, aku ini sudah dewasa. Kalau aku memang ingin menikah pasti akan menikah. Jadi, Mama gak perlu repot-repot buang waktu menjodohkan aku dengan siapa pun. Tujuan aku pulang ke Indonesia mau buka praktek, buat bantu nyembuhin banyak orang yang mengalami gangguan jiwa. Bukan buat cari jodoh.” Tutur kata Abi terdengar lembut dan tegas.
Ningsih menarik nafas dalam. “Oke. Terus kamu serius mau bantu gadis tadi secara pribadi? Kenapa dia gak dirawat di sini aja?”
Abi menganggukkan kepala. “Aku minta rekam medik kejiwaannya. Psikolog mana sih yang kirim dia kesini?”
Ningsih memberikan dokumen yang berisikan keterangan tentang kesehatan mental Larisa dari rekannya. Ia pun duduk di samping sang putra. “Awalnya, Mama gak mau terima, tapi kata psikolog yang merekomendasikannya itu dia gak bisa lagi ditangani dengan konseling pribadi, makanya di kirim kesini. Mama terima dia dengan maksud ingin membantunya, merekomendasikan kamu ke orang tuanya, tapi, ya, gak sekarang juga. Niatnya sih, nanti pas kamu udah mulai buka praktek.”
“Udah ketemu sekarang itu artinya mereka jodoh sama aku.” Abi membaca sekilas lembaran dokumen yang diberikan sang Mama tadi.
“Kamu ngapain kesini?” tanya wanita yang masih tampak muda itu.
“Rencananya sih tadi mau keliling-keliling. Lihat perkembangan Rumah Sakit ini, tapi kayaknya aku pulang aja deh. Mau pelajari ini,” jawabnya menggoyangkan map berwarna biru itu.
“Hati-hati di jalan, Mama juga mau lanjut kerja. Ingat besok kita makan siang sama anak teman, Mama di restoran T.”
“Oke, Mam.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
🪴🍓🌟💫sangdewi💫🌠💐🏵️
bagus ceritanya,,❤️
2022-06-06
3
UNI NANNI
nyicil bacanya.
2022-05-01
1
LA
lngsung mampir thor
2022-04-28
1