Abi sudah sampai di parkiran tempat ia dan sang Mama janjian. Turun dari mobil ia bergegas memasuki restoran dan mencari meja yang ditempati Mamanya.
“Abi.” Ningsih melambaikan tangan.
Abi pun menghampiri. “Maaf aku terlambat. Jalanan macet tadi.”
“It's ok. Oh, ya, kenalin ini Fera,” kata Ningsih.
Keduanya saling melempar senyum dan berjabat tangan.
“Sudah pesan menu?” tanya Abi.
Fera menggelengkan kepala. “Kami nungguin kamu.”
Abi memanggil pelayan mereka bertiga pun tampak sibuk memilih menu untuk makan siang kali ini. “Kamu pesan apa, Fer?” tanya Ningsih.
“Aku biar Abi aja yang milihin menunya,” jawabnya tersipu malu.
Ningsih melebarkan senyuman, lalu mencolek sang putra agar memesankan menu untuk wanita cantik di sampingnya.
“Maaf, saya gak tau kamu sukanya apa,” kata Abi.
“Kalau gitu samain aja,” jawab Fera.
Usai pesanan dicatat pelayan mereka pun menunggu sejenak dan Fera memanfaatkan hal ini untuk mengobrol dengan Abi.
“Kata Tante kamu tinggal di apartemen, ya?”
Abi hanya mengangguk.
“Kapan-kapan aku boleh main ke sana gak?”
“Kalau mau main kita bisa cari tempat yang pas,” jawab Abi.
“Maksud Fera itu dia pengen lihat apartemen kamu loh, Bi,” sela sang Mama.
“Buat apa?” Abi menautkan alis
“Siapa tau aku tertarik dan bisa tinggal dekat kamu,” jawab Fera.
Telinga Abi menangkap samar-samar suara keributan dari arah meja ujung restoran itu. Beberapa tamu pun menolehkan pandangan ke arah sana.
“Aku gak suka makanan ini,” kata gadis itu dengan nada tinggi.
“Tapi ini makanan kesukaan kamu, sayang. Mama sengaja pesan buat kamu.”
“Sekarang aku gak suka lagi sama makanan ini!”
Praaang …
Suara piring pecah itu pembuat Abi bangkit untuk menghampiri.
“Aku gak suka semua makanan ini. Makanan menjijikkan singkirkan semuanya dari hadapan aku.” Gadis itu kembali berteriak histeris melempar makanan yang tersaji di atas meja.
“Sayang, kamu kenapa? Mama mohon jangan begini lagi,” tangis si ibu mendekati anaknya.
“Pergi! Aku benci, Mama. Kenapa, Mama mengingatkan aku pada pria bajingan itu.” Larisa mengamuk ia membalik meja bundar yang di tempati dan melemparkan kursi ke arah tamu restoran.
Ya, gadis itu adalah Larisa yang sedang menikmati makan siang bersama sang Mama, namun entah kenapa ia kembali histeris.
“Hei,” panggil Abi. “Kamu kenapa?” tanyanya lembut menahan kedua pergelangan tangan Larisa.
Awalnya Larisa menatap siapa orang yang menahannya. Namun ketika ia tau siapa orang itu, ia langsung menghambur ke dada bidang Abi menumpahkan tangisnya yang terdengar begitu pilu.
“Aku benci makanan itu. Kenapa, Mama mengingatkan aku sama laki-laki itu, padahal aku berusaha untuk melupakannya.”
Abi meminta orang-orang agar kembali ke meja mereka masing-masing dengan gerakan tangannya, sedangkan satu tangannya lagi mengusap lembut surai hitam panjang milik Larisa.
“Sstt. Sekarang kamu tenang dulu dan setelah itu kita bisa cerita?”
Davira yang menangis tertunduk kini sedang ditenangkan oleh Ningsih yang tadi ikut menyusul putranya.
“Sudah nangisnya?” tanya Abi. Larisa mulai menyusut air matanya.
Gadis itu mengangguk pelan. Abi memegangi bahu Larisa untuk mengurai pelukan dekapan mereka. “Sekarang kita pulang, ya. Setelah itu kamu mau cerita sama saya?”
“Tapi aku gak mau pulang ke rumah,” jawabnya sendu.
“Kenapa?” Abi mengusap air mata yang membasahi pipi gadis itu.
“Mama sama Papa jahat. Mereka mengurung aku di kamar.”
Abi pun bertanya pada sang Mama lewat gerakan dagunya yang diangkat, agar mengizinkan Larisa pulang bersama mereka. Ningsih yang sudah memahami Abi langsung menganggukkan kepala.
“Pulang kerumah saya mau?” tanya Abi.
Gadis itu mengangguk kan kepalanya dengan cepat.
“Tante bisa ikut saya? Sekalian hubungi suaminya. " Abi bertanya pada Davira dan wanita itu pun setuju.
“Mah, Fera, maaf aku gak bisa ikut makan siang. Lain kali kita bikin janji lagi sebagai permintaan maaf dari aku.”
“Gak pa-pa, Bi. Lain kali aja,” jawab Fera tersenyum palsu.
“Kita ketemu di rumah,” ujar Ningsih.
Abi mengangguk. "Sekalian tolong, Mama bereskan masalah ini dengan pihak restoran."
Abi pun mengajak Larisa menuju mobilnya, sedangkan Davira mengikuti dari belakang.
...🌿🌿🌿🌿...
“Kamu istirahat dulu di kamar ini. Gak papa kan kalau saya tinggal?”
“Kakak mau kemana?” tanya Larisa menarik kaos Abi
“Mau bicara sama orang tua kamu di depan. Kalau butuh apa-apa panggil Bibik aja.”
Abi menempatkan Larisa di kamar yang dulu ditempati oleh adiknya. Yakin gadis itu akan aman disini ia pun melangkahkan kaki menuju ruang tamu untuk menemui Davira dan Endra.
“Larisa aman gak, Dokter?” tanya Davira cemas.
“Tante, tenang saja, di rumah ini Larisa pasti aman kok,” jelas Abi duduk di sofa seberang Davira dan Endra.
Davira mengelus dada.
“Saya mau, Tante dan Om menceritakan hal yang membuat Larisa bisa sampai seperti itu. Tapi sebelum, Anda bercerita ada yang mau saya ingatkan. Pertama, Anda harus menceritakan segalanya tentang Larisa tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan. Kedua, kepercayaan Anda berdua sangat saya butuhkan. Ketiga, kerjasama. Kita harus saling bekerja sama demi kesembuhan putri kalian.”
“Apakah pengobatan yang akan, Dokter lakukan bisa berhasil?” tanya Endara. Hal yang wajar jika ia merasa ragu, karena sudah banyak psikolog yang mereka datangi namun malah menyerah untuk menangani sang putri.
“Berhasil atau tidaknya pengobatan tergantung dari komitmen, kesabaran, dan kerja sama Anda dengan psikiater yaitu saya. Umumnya efek terapi yang didapatkan akan dirasakan setelah beberapa waktu menjalani pengobatan. Jadi, kita bisa lihat perkembangan Larisa dalam beberapa bulan kedepan setelah menjalani terapi,” jelas Abi.
Ningsih pun datang menghampiri. Sepertinya ia pun buru-buru pulang setelah menyelesaikan makan siang tadi bersama Fera. Davira dan Endra berdiri dari duduk mereka menyambut kedatang sang tuan rumah.
"Bapak dan Ibuk duduk saja," balas Ningsih.
"Terimakasih sudah membantu membereskan masalah di restoran tadi," kata Endra sungkan.
Ningsih tersenyum. "Saya senang bisa membantu keluarga, Bapak."
"Jadi, apa Bapak dan Ibuk setuju dengan permintaan saya tadi?" Abi melanjutkan pembahasan mereka.
"Apa pun itu selagi yang terbaik buat Laris kami akan setuju," jawab Endra mantap.
"Sebelumnya boleh saya bertanya? Kenapa kalian membawa, Larisa ke psikolog bukannya ke psikiater?" sela Ningsih.
Davira dan Endra saling menatap satu sama lain.
"Kami pikir dengan konseling dan terapi bersama psikolog, Larisa mampu mengatasi depresinya,” jelas Endra.
Abi menyunggingkan senyuman seakan ia mengejek Endra yang memberikan alasan klise. “Jujur saja, Pak. Anda malukan kalau putri kalian sudah ditangani oleh psikiater artinya kejiwaan nya benar-benar terganggu. Orang-orang nantinya akan menganggap Larisa gila.”
Davira melirik sang suami nan tertunduk malu. Menyembunyikan wajahnya yang memerah karena perkataan Abi memang benar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Partiah Yake
blm komen masih serius membaca nasihat dokter abi
2023-09-06
1
🍁 Fidh 🍁☘☘☘☘☘
adem y pelukanya abi ...
2022-05-12
1
Eny Sapphire Msi Candibinangun
pdhl ceritax bagus kok g ada yg komen
2022-04-27
1