Abi menghembuskan nafas kasar. “Begitulah orang-orang di negara ini, kalau ada yang mengalami gangguan mental mereka langsung menganggapnya itu adalah aib yang sangat memalukan. Padahal sebenarnya gangguan jiwa itu bukan berarti mereka gila. Jiwanya mengalami guncangan dan mereka butuh dukungan kita, bukan malah mengasingkannya.” Kata-kata Abi mengenai sasaran yang tepat. Endra merasa tertampar sebab dia lah orang yang paling menentang keinginan sang istri untuk membawa putri mereka menemui psikiater.
Ningsih pun menatap putranya agar tak melanjutkan perkataan. Tak enak jika Abi terus menyudutkan kedua orang tua Larisa.
“Seminggu kedepan, Larisa akan tinggal disini,” ucap Ningsih mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa lama sekali, Dok?” tanya Davira.
“Kami akan melakukan serangkaian pemeriksaan untuk menentukan separah apa permasalahan pada kejiwaannya Larisa.”
“Kalau boleh saya tahu pemeriksaannya apa saja ya, dok?”
“Pemeriksaan tersebut meliputi wawancara, pemeriksaan fisik, tes tertulis dan semua itu dilakukan secara bertahap, tergantung mood-nya, Larisa.” Giliran Abi yang menjelaskan.
Davira dan Endra mengangguk paham.
“Kalau kalian mau menemui Larisa nanti, silahkan saja datang kemari. Rumah ini terbuka kok,” tambah Ningsih.
“Oke, kalau begitu bisa ceritakan tentang Larisa?” Abi tak ingin membuang-buang waktu.
Davira menceritakan kisah Larisa mulai dari awal dia mengenal Bayu sampai pernikahan impiannya hancur begitu saja. Sesuai yang diminta Abi tak ada yang ditutupinya. Davira juga meluapkan kesedihan hatinya ketika sang putri mulia histeris dan menghancurkan segala benda yang ada di rumah. Tiba-tiba marah dan sedih secara bersamaan. Kadang dia cuma duduk diam dengan tatapan mata yang kosong. Terkadang juga ia tertawa terbahak-bahak. Membuat mereka bingung dengan perubahan sikap Larisa.
Di awal mereka hanya berpikir mungkin Larisa butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan. Namun, seiring waktu berjalan Larisa mulai melakukan tindakan yang membahayakan nyawanya. Melompat dari jendela kamar yang berada di lantai tiga namun untung segera ditahan oleh asisten rumah tangga mereka. Mengiris pergelangan tangannya dengan pisau dapur atau pecahan kaca. Dan yang terakhir Larisa melompat ke kolam renang, padahal sebelumnya ia tak berani untuk masuk kedalam kolam meski didampingi oleh sang Papa.
Wanita berusia 49 tahun itu bercerita dengan terbata-bata karena tangisnya tak bisa ia bendung. Pedih rasanya namun, ia berusaha sekuat tenaga mengisahkan tentang Larisa, pada pria yang memberikannya harapan baru untuk kesembuhan putri semata wayang. Endra pun mengusap lembut punggung sang istri agar tetap tenang dan tak terbawa emosi. Ia juga menitikkan air mata namun segera di sekanya dengan ibu jari.
Selesai Davira bercerita Ningsih beralih duduk ke sampingnya. Ia memeluk wanita yang masih sesegukan itu, memberikan dukungan dan kekuatan serta semangat, kalau mereka pasti bisa melewati cobaan ini. “Sebisa mungkin kami akan membantu Larisa untuk sembuh,” katanya.
“Terimakasih banyak, Buk,” ucap Davira.
“Ya sudah, Bapak dan Ibuk bisa pulang. Besok kami akan kabari bagaimana hasil pemeriksaannya.”
Davira dan Endra pun pamit pulang. Mereka mengatakan kalau nanti supir akan mengantarkan baju ganti untuk Larisa. Abi juga Ningsih mengantar kepergian tamu mereka sampai depan rumah.
...🐱🐱🐱🐱...
Pas bangun tidur Larisa tampak seperti orang yang normal. Ia segera bangkit dari ranjang, untuk menemui pria tadi yang belum diketahui namanya sama sekali. Pas membuka pintu kamar, hendak mau keluar, ia berpapasan dengan Abi yang datang mengantarkan kopernya.
“Sudah bangun?” tanya Abi lembut.
Larisa hanya menganggukkan kepala tapi raut wajahnya tampak bingung.
“Ada apa?” tanya Abi lagi
“Maaf sebelumnya saya sudah merepotkan. Nama, Kakak siapa?”
Abi tersenyum manis. “Sudah sore, kamu mandi dulu dan ganti baju. Ini pakaian kamu.” Abi menyerahkan koper berwarna pink ke Larisa. “Habis itu susul saya ke meja makan, saya akan jelaskan nanti di sana.”
Gadis itu mengangguk setuju.
“Duduk, sayang,” kata Ningsih ketika Larisa sampai di meja makan.
“Makan dulu, ya. Nanti Tante akan jelaskan kenapa kamu bisa di sini.”
Mereka menikmati hidangan dalam hening. Sesekali Abi juga Ningsih melirik Larisa yang tampak hanya mengaduk-aduk makanannya. Cuma sedikit yang di suap.
“Larisa, kenalkan nama Tante Ningsih dan itu anak Tante namanya Abista. Biasanya Tante panggil dia Abi.” Kini mereka bertiga tengah duduk di ruang tengah.
Larisa hanya mengangguk.
“Kamu ingatkan kenapa bisa sampai di sini?”
“Ingat kok, Tante. Aku gak mau ikut Mama pulang karena takut dikurung dalam kamar.”
Ningsih tersenyum lebar ternyata gadis ini tidak lupa akan kejadian yang sudah ia lalui. Kadang ada juga sebagian orang depresi yang sulit fokus mengakibatkan ia susah untuk mengingat.
“Selama seminggu kedepan kamu akan tinggal di sini bersama Tante dan Abi. Kamu mau kan? Nanti kita akan lakukan sedikit evaluasi untuk mengetahui pemikiran, perasaan, serta pola tingkah laku kamu,” jelas Ningsih
“Untuk apa, Tante? Aku kan gak gila.”
“Risa,” panggil Abi.
Gadis itu langsung menatapnya dengan tajam. “Jangan pernah panggil aku dengan nama itu!”
Abi pun manangkap sesuatu. Emosi gadis yang duduk di depannya ini langsung berubah seketika. “Oke, bagaimana kalau aku panggil La saja?”
Ia mengangguk setuju.
“Kamu memang gak gila, tapi kamu sedang mengalami yang namanya depresi. Sebuah penyakit gangguan mental. Kamu sadar itu?” tanya Abi lembut
“Aku memang suka sedih, marah, kadang aku gak bisa mengontrol perasaan aku sendiri. Apa itu artinya depresi?”
“Bagus kalau kamu sadar akan hal itu. Kakak akan bantu kamu untuk merasa lebih baik lagi, asalkan kamu mau dengar dan nurut sama apa yang Kakak katakan.”
“Tapi aku gak akan dikurung kayak di rumah kan?”
“Gak kok! Kamu tenang saja, besok kita cuma akan melakukan tanya jawab seputar keluhan dan gejala yang kamu rasakan,” terang Ningsih.
“Oke, aku mau.”
Ningsih dan Abi tersenyum puas. Tanpa paksaan mereka berhasil membujuk gadis itu untuk melakukan evaluasi sesi pertama.
...🐰🐰🐰🐰...
Paginya sebelum melakukan wawancara di RSJ milik sang Mama, Abi memberi kabar pada orang tua Larisa kalau hari ini jadwal pertama proses pengobatan putri mereka akan dilakukan. Jika ingin melihat maka mereka akan bertemu di Rumah sakit saja tanpa sepengetahuan gadis itu.
“Sudah siap? Berangkat sekarang?” Abi bertanya pada gadis yang sedang duduk termenung di dalam kamar.
“Kita mau kemana, Kak?”
“Ke Rumah Sakit tempat kita ketemu,” jawab Abi sembari mereka berjalan keluar rumah.
“Ngapain ke sana?” Larisa mulai cemas.
“Kan kita mau wawancara soal kondisi kamu. Habis itu kita pulang lagi kok.”
“Kenapa gak di rumah aja?”
“Di sana ada Tante Ningsih juga,” jawab Abi membukakan pintu mobil.
“Tapi bener, ya, Kak, aku gak di tinggal terus dikurung di sana.” Wajah Larisa tampak memelas.
Abi yang sudah duduk di bangku kemudi memasangkan seatbelt pada gadis itu lalu mengacak rambut hitam Larisa. “Gak akan. Percaya sama Kakak.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Nurmalina Gn
semoga novel ini di baca oleh banyak orang, banyak like komen dan gift nya....
semangat selalu Thor
2022-12-04
1
Salma Syam
dengan aby nngasih perhatian dan kasih sayang semoga Risa bisa normal kembali
2022-08-26
1
🪴🍓🌟💫sangdewi💫🌠💐🏵️
padahal bagus ceritanya kok sepi y,,,,
2022-06-06
2