Sambil menikmati makanan yang sudah di antar pelayan. Larisa terus menceritakan kegiatannya selama di rumah. Abi pun mendengarkan dengan baik, tapi pandangannya tak pernah lepas dari wajah imut Larisa. Sesekali ia tersenyum kadang membersihkan sisa makanan yang menempel di mulut gadis itu.
“Habis ini kita kemana, Kak?” Larisa bertanya selesai bercerita.
Abi yang sedang bertopang dagu sedikit salah tingkah ketika matanya bertemu tatap dengan mata bulat hitam milik Larisa.
“Kamu maunya kemana?”
“Kemana, ya?”
“Ke wahana permainan di lantai atas aja gimana?”
“Oke.”
“Tunggu di sini, ya, Kakak mau ke toilet dulu habis itu baru kita ke atas.”
Larisa tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Gadis itu menyelesaikan makannya, terakhir ia menyeruput habis minuman boba rasa tiramisu pesanannya tadi sambil mengedarkan pandangan ke luar restoran.
“Bayu?” Mata Larisa menangkap bayangan sang mantan kekasih bersama wanita lain.
Ia keluar dari meja dan bergegas mencari pria itu. Ragu, tapi entah kenapa ia masih penasaran, langkah kakinya semakin cepat mencari Bayu di kerumunan pengunjung mall. Sampai melewati toko pakaian bayi ia melihat Bayu dan wanita tadi sedang memilih-milih pakaian di sana.
Larisa menatapnya lama dari luar toko. Dilihatnya perut wanita itu sudah membuncit. Lalu pandangannya dialihkan ke mantan calon suami. Pria itu tersenyum begitu bahagia sesekali mengelus perut wanita yang juga tersenyum bahagia bersamanya.
Larisa tak sanggup menahan bendungan air mata, seharusnya ia yang ada di sana bersama Bayu. Seharusnya ia yang tersenyum bahagia mengandung anak Bayu, seharusnya ia dan Bayu yang memilih pakaian bayi untuk calon anak mereka. Bukan wanita itu.
Dada Larisa tampak naik turun menahan sesak di dada, ia langkahkan kaki dengan lebar memasuki toko pakaian bayi. Menghampiri Bayu dan istrinya, lalu ditariknya tangan wanita itu dan
Plak …
Sebuah tamparan mendarat di pipi ibu hamil itu.
“Dasar wanita murahan. Kamu merebut Bayu dari saya dengan cara hamil di luar nikah,” maki Larisa.
“Risa, apa-apan kamu?’ pekik Bayu melindungi istrinya.
“Kamu yang apa-apaan. Kenapa memilih dia dibandingkan aku, hah?”
“Aku gak cinta sama kamu. Aku cuma cinta sama, Luna.”
“Bohong! Dia menjebak kamu untuk tidur dengannya, supaya gak jadi nikah sama aku kan?!”
“Menjebak apa sih? Kami melakukannya atas dasar suka sama suka dan juga cinta. Jadi, sebaiknya kamu minta maaf sama dia." Bayu berkata dengan nada tinggi
“Gak mau! Aku benci kamu, aku benci kalian.” Larisa tak dapat lagi mengontrol emosinya ia memukuli Bayu juga Luna. Tak peduli pada kandungan wanita itu Larisa terus menyerangnya. Ia kembali histeris bahkan lebih parah dari sebelumnya.
Abi yang kembali dari toilet tak menemukan si pasien, mencarinya kesana-kemari kemari. Hingga mendapati kerumunan orang-orang yang berusaha melindungi Luna, dari amukan seorang wanita dan ternyata itu adalah orang yang sedang dicarinya.
“La, kamu kenapa?” Abi bertanya sambil menahan kedua tangan Larisa.
“Bajingan itu hidup bahagia bersama selingkuhannya sedangkan aku menderita." Larisa menjerit dan menangis.
Abi memeluknya dengan erat. “Sebaiknya kalian pergi sebelum dia kembali histeris," katanya pada Bayu.
“Mas, dia gila, yah? Kok mau mukulin ibu hamil sih? Gak waras,” kata ibuk-ibuk.
“Dia gak gila, Buk. Cuma lagi depresi,” jelas Abi menenangkan pasiennya yang masih meraung dalam pelukannya.
“Sama aja itu, Mas. Artinya gila.” Kemudian kerumunan pun mulai bubar. Bayu dan istrinya sudah pergi ketika berhasil lepas dari amukan Larisa.
Dokter itu cuma bisa geleng-geleng kepala dengan sikap orang-orang yang bisa menarik kesimpulan dari sebuah kejadian tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Abi terpaksa memesan taxi online untuk mereka pulang. Kondisi Larisa tampak buruk ia terus saja berteriak, menangis dan mengumpati Bayu. Berkali-kali Abi membujuknya, tetapi tetap saja tak berhasil. Sampai di rumah, kedua orang tua gadis itu bingung dengan kondisi sang putri yang tampak berantakan.
📱Mah, tolong bawa obat-obatan dan peralatan ke rumahnya, Larisa. Dia kambuh dan kali ini jauh lebih parah.
Abi menghubungi sang Mama. Satu-satunya cara untuk membuat Larisa berhenti histeris adalah menyuntikkan obat penenang.
“Pergi, aku benci kalian! Kenapa hidup aku harus menderita sedangkan dia bia bahagia setelah menghancurkan pernikahan impian aku." Larisa berteriak sambil melempar barang-barang yang ia dapat.
“Kalau kamu terus seperti ini, Kakak akan pergi.”
“Pergi! Pergi saja sana, aku gak butuh. Kakak, cuma kasihan sama aku dan aku gak butuh dikasihani.”
Davira kembali menangis melihat kondisi sang putri yang tak terkendali.
“Terpaksa kita kurung dia di kamarnya sampai Mama saya datang.” Abi sudah kewalahan memegangi gadis kecil itu namun tenaganya cukup kuat untuk bisa lepas.
Di dalam kamar Larisa masih saja terus berteriak dan meraung. Abi pun menantikan kedatangan sang Mama dengan cemas di depan rumah. Ia takut jika dibiarkan semakin lama Larisa akan semakin parah.
“Haus, aku mau minum,” lirih Larisa.
Davira bergegas mengambilkan segelas air minum di dapur lalu ia berikan pada sang putri lewat celah pintu besi. Terali besi di kamar Larisa sendiri belum dibuka, sebagai jaga-jaga jika dia histeris seperti ini. Jadi, selama menginap di rumah orang tuanya Larisa tidur di kamar tamu.
Praaang …
Gelas kaca itu dilemparnya ke lantai lalu ia segera mengambil pecahan beling dan menyayat pergelangan tangannya hingga mengeluarkan banyak darah.
“RISA,” pekik Davira. Ia sadar kalau sudah lalai menjaga sang putri. Kenapa ia bisa sampai lupa memberikan gelas kaca padanya bukan pakai cangkir plastik.
Abi yang mendengarkan pekikan Davira di lantai dua, bergegas naik.
“Risa,” cemas Abi membuka pintu terali besi.
Ia segera menghampiri Larisa melakukan penghentian darah dengan menekan daerah luka mengikatkan kain di sana. Lalu ia bawa gadis itu ke dalam gendongannya.
“Om, siapkan mobil kita ke Rumah Sakit sekarang,” sorak Abi menuruni tangga.
Endra bergegas mengeluarkan mobilnya dari dalam garasi.
Abi mengambil Alih kemudi karena nyawa Larisa dalam bahaya jadi secepat mungkin ia harus sampai di UDG rumah sakit atau klinik terdekat.
“Maafin Mama, sayang, Mama lalai, Mama lupa." Davira menangis sambil memeluk putrinya di bangku belakang. Sedangkan Endra memegangi tangan Larisa menjaganya untuk tetap tinggi.
“Sudahlah, Mah. Jangan bikin keadaan semakin rumit.”
“Mama salah, Pah. Kenapa Mama bisa bodoh tadi memberikan Larisa minum dengan gelas bukannya pakai cangkir plastik.”
“Tante, Om sebaiknya jangan berdebat dulu. Keadaan Larisa jauh lebih penting sekarang.” Abi masih mengingatkan mereka sedangkan ia berusaha menenangkan diri. Bagaimanapun juga ia ikut merasa bersalah karena sudah meninggalkan Larisa sendirian
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Ririn Endang S
Hadeeeeh....jadi tegang aq thoorr
2022-11-24
1
Anita EndLs
lanjut
2022-05-19
1
Susana Sebungkuh
keren ceritanya thor,,, lanjut ttt.....
2022-05-08
1