Hati orang tua mana yang tak hancur, sedih dan terluka kala harus menerima kenyataan kalau sang anak mengalami gangguan jiwa. Larisa yang dulu cantik, ceria dan penuh semangat kini berubah 360 derajat. Kurus, pucat, lesu tak terawat, tatapan kosong dan kadang-kadang menangis sambil tertawa atau mengamuk layaknya orang kesetanan. Namun ketika kesadarannya kembali, ia akan bertingkah normal seperti tak ada yang terjadi padanya.
Sudah tiga bulan Larisa dikurung dalam rumah. Seluruh jendela dan pintu dipagari terali besi. Rumah mereka kini berubah layaknya penjara mewah untuk menjaga sang tuan putri agar tak melakukan hal-hal yang dapat membahayakan nyawanya. Semua benda yang di rasa membahayakan sudah disingkirkan sesuai saran psikolog.
Hari ini Endra dan sang istri akan mengantarkan Larisa ke RSJ sesuai rekomendasi Pak Gino kemarin.
“Kita mau kemana, Mah?” Lemah namun masih dapat didengar oleh Davira. Pandangan Larisa mengarah keluar jendela mobil.
“Kita mau ke Rumah Sakit, sayang.”
“Siapa yang sakit, Mah?”
Davira melirik suaminya yang duduk di bangku depan.
“Kan kamu gak nafsu makan jadi kita mau periksa sekalian minta obat penambah nafsu makan sama Dokter, ya,” jelas Endra menatap sang putri.
Larisa mengangguk pelan. Davira pun memeluk putrinya, ia mendongakkan kepala untuk menahan genangan air mata agar tak jatuh membasahi pipi. Sampai di depan RSJ mereka bertiga melangkah memasuki lorong menuju ruang dokter yang akan ditemui.
“Mah, ini Rumah Sakit apa?” tanya Larisa.
“Ya, Rumah Sakit biasa, sayang. Ayo, dokternya sudah nungguin kita,” ajak Davira membimbing putrinya.
Larisa melihat sekeliling, namun ia sadar kalau ini bukanlah rumah sakit biasa seperti yang dibilang sang Mama. Kebanyakan pasien yang terlihat seperti orang gila yang ia temui di jalanan. Ruang rawat pun tak seperti rumah sakit pada umumnya. Disini semua pintu terbuat dari terali besi sama seperti di rumahnya. Halaman pun dipagari dengan kawat berduri dan perawat disini tampak sedang mengawasi pasien bukan merawat seperti di rumah sakit pada umumnya.
Tiba-tiba ada seorang pasien berteriak histeris gara-gara rebutan mainan dengan temannya. Para perawat mulai memegangi tangan juga kakinya dan berusaha menyuntikkan obat penenang.
“Pah, apa ini baik untuk Larisa?” bisik Davira.
“Sebaiknya kita bergegas ke ruang dokter, Mah. Sebelum Larisa melihat lebih banyak dan dia sadar,” jawab Endra.
“Selamat pagi, Bapak dan Ibuk.” Dokter Ningsih sebagai kepala RSJ menyambut kedatangan mereka dengan baik. Siapa yang tak kenal dengan Endra pengusaha terkenal di kota ini.
“Pagi, Dok,” balas mereka.
“Silahkan duduk!”
Mereka pun duduk di sofa saling berseberangan.
“Saya rasa Pak Gino sudah menjelaskan kedatangan kami kemari. Jadi, saya gak perlu lagi memberikan keterangan?” Endra berkata langsung pada intinya.
Dokter jiwa berusia 53 tahun itu tersenyum lebar. "Sebelumnya perkenalkan, nama saya Ningsih. Bisa dipanggil Dokter Nining."
Endra dan Davira hanya tersenyum simpul sebagai balasan. Raut wajah mereka yang sedikit tegang membuat Dokter itu paham kenapa Endra dan Davira kurang beramah tamah dengannya. Lalu ia beralih menatap Larisa yang masih memindai ruang kerjanya. “Hai, nama kamu Larisa, ya?”
Larisa hanya mengangguk. “Mah, ini bukan rumah sakit biasa. Gak ada alat -alat buat periksanya.”
“Ini kantor namanya, sayang. Kalau mau diperiksa kita pindah ruangan. Kamu mau?”
“Larisa mau diperiksa?” Davira berusaha membujuk sang putri.
Tampak ragu namun gadis itu mengangguk setuju. Mereka menuju ruangan lain. Entah pemeriksaan seperti apa yang akan dilakukan Dokter Ningsih, Larissa mulai merasa kurang nyaman. Tak sengaja saat melewati ruang rawat ia melihat pasien tadi sudah tertidur lelap di atas kasur namun tangan dan kakinya diborgol di sisi ranjang.
“Ini bukan Rumah Sakit biasa kan, Mah?” cemasnya.
“Ini rumah sakit yang biasa kita kunjungi kok, sayang,” jawab Davira.
“Ini Rumah Sakit Jiwa kan?!"
"Nggak, sayang."
"Mama, bohong! Ini memang Rumah Sakit Jiwa. Mama,pikir aku gila?”
“Sayang, kamu kesini cuma mau melakukan pemeriksaan. Bukan berarti orang yang berobat ke sini adalah orang gila,” jelas Dokter Ningsih.
“Gak, aku gak mau! Aku gak gila.” Larisa mulai berontak, ia berusaha lepas dari pangkuan sang Mama. Beberapa perawat dan suster diminta oleh Dokter Ningsih untuk memegangi Larisa yang mulai histeris.
“Risa, sayang, Mama sama Papa sayang sama kamu, makanya kita kesini biar kamu sembuh,” kata Endra.
“Suruh mereka lepasin aku kalau memang, Papa, Mama sayang aku.”
Davira hanya bisa menangis melihat sang putri berada di antara perawat dan suster. Menyesal rasanya ia datang kesini namun ia juga tak bisa berbuat apa-apa untuk kesembuhannya.
“Gapapa, Risa. Dokter cuma mau bicara sama kamu berdua,” bujuk Ningsih lagi.
“Kalian jahat, kalian anggap aku gila. Padahal aku ini anak kalian, kenapa kalian bawa aku kesini?” Suara Larisa meninggi kekuatanya kini tak dapat lagi dikendalikan oleh suster dan perawat yang memegangi.
Larisa terus melawan dan berontak agar bisa lepas dari orang-orang yang menahannya. Ia tak dapat dikendalikan lagi emosi sudah menguasai membuat ia berteriak histeris mengumpat kedua orang tuanya. Berhasil lepas Larisa lari sekuat tenaga, ia harus kabur pikirnya. Tak mau jika tinggal di sini bersama orang-orang yang tak waras itu.
Beberapa suster dan perawat tadi mengejar Larisa agar tak lari ke jalanan pikir mereka dan itu bisa saja berbahaya. Tepat di depan gerbang Rumah Sakit, Larisa menabrak tubuh seorang yang baru saja turun dari mobilnya dan hendak masuk.
Brak ...
“Tolong, tolong saya. Bawa saya pergi dari sini, saya gak mau tinggal di sini, saya gak gila,” mohonnya mengiba.
“Hei, tenang. Ada apa, kamu kenapa?” Pria yang ditabrak tadi menahan bahu Larisa.
“Saya gak gila, saya gak mau diperlakukan seperti pasien tadi oleh mereka.” Larisa menunjuk pada orang-orang yang ada di belakang.
Abista melihat sang mama dan kedua orang tua Larisa berlari untuk mendekat. Ia pun mulai paham sepertinya gadis yang ada dalam pelukannya ini sama seperti pasien-pasien yang ia tangani selama ini.
“Tolong, saya, saya gak gila,” gumam Larisa dalam tangisnya.
“Oke, saya akan bantu kamu. Tapi bisa kamu tenang dulu?”
Larisa menggeleng dengan raut wajah tegang dan cemas.
“Kalau kamu gak tenang, saya akan serahkan kamu ke mereka.” Abi menunjuk suster dan perawat dengan dagunya.
“Iya, iya, saya akan tenang.”
“Kamu gak akan lari lagi? Gak akan histeris lagi?”
Larisa menggeleng lalu menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu ayo ikut saya,” ajak Abi lembut.
“Kemana?” tahan Larisa.
“Kalau kamu mau saya bantu, ikut dan percaya sama saya,” tegasnya menatap mata gadis itu.
“Tapi saya gak mau masuk kesana lagi.”
“Ada saya. Saya gak akan biarkan orang lain mendekati kamu.”
“Benar?”
“Percaya sama saya!”
......................
Dukungannya please .... 😁🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Mama Lana
semangat thor💪💪💪
2022-04-19
2