Setengah jam menunggu Abi di lobby akhirnya pria itu pun muncul juga.
“Kak Abi.” Larisa langsung mengejarnya dan menghambur ke pelukan pria yang ia rindukan.
Abi pun kaget sampai tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang karena tak siap menyambut gadis itu. “Kok, kamu bisa ada di sini?”
“Mau ketemu, Kakak lah. Kok, Kakak gak jadi ke rumah sih?”
“Kan sudah Kakak bilang kemarin di telpon kalau Kakak lagi sibuk.”
Larisa cemberut dan memonyongkan bibirnya membuat Abi tersenyum geli.
“Om, Tante,” sapa pria itu pada kedua orang tua Larisa. “Sudah lama nunggunya?”
“Ada setengah jaman lah,” jawab Endra
“Larisa gak mau makan kalau gak ketemu kamu,” jelas Davira.
“Yuk, kita naik ke atas,” ajak Abi. Sedangkan gadis itu tak mau melepaskan pangkuannya dari tangan Dokter itu.
“Gimana? Sudah beres izinnya?” tanya Endra ketika mereka semua sampai di apartemen Abi.
“Belum, Om. Masih ada persyaratan yang kurang. Jadi, nunggu kiriman beberapa berkas dari Ausi,” jelas Abi
Endra pun mengangguk paham.
“Terus Larisa gimana? Sampai nyamperin ke sini segala,” tanya Abi
“Dia gak mau makan kalau gak ketemu kamu. Ngerengek minta di anterin ke sini,” jawab Davira.
“Kenapa gitu?” tanya Abi pada gadis yang duduk di sampingnya.
“Kangen aja sama, Kak Abi. Biasanya kalau aku gak mau makan pasti di suapin.”
“Kan bisa minta suapin Mama kamu.”
“Gak mau! Maunya sama, Kak Abi.”
“Ya udah, mau makan apa? Pesan online aja, ya, Kakak gak masak di sini.”
Gadis itu mengangguk cepat.
“Terus gimana? Apa Mama sama Papa tunggu kamu selesai makan baru kita pulang?” tanya Endra
“Mama sama Papa pulang aja. Aku mau nginap di sini,” jawab Larisa enteng
“Kamar Kak Abi cuma satu loh,” terang Davira.
“Pokoknya aku mau nginap di sini!”
Endra, Davira menatap Abi.
“Gak papa Om, Tante. Nanti Larisa tidur di kamar aja, biar saya tidur di sofa. Besok pagi saya antar dia pulang. Tenang saya akan menjaga Larisa kok,” jelas Abi. Melihat raut wajah kedua orang itu tampak khawatir, ia pun paham. Tentu saja karena tak mungkin meninggalkan anak gadis mereka dengan laki-laki yang bukan mahramnya.
“Benar, ya, Bi, putri saya dijaga,” harap Davira. Lalu Endra sang suami menyikut istrinya itu. Merasa tak enak karena sudah berpikir yang macam-macam terhadap Abi. Lagian siapa juga sih orang yang mau sama putri mereka yang sedang mengalami gangguan jiwa pikirnya.
Abi tersenyum melihat tingkah pasutri yang tengah duduk di depannya. “Saya paham kok, Om kekhawatiranTante Davira. Jadi, gak usah merasa gak enak gitu.”
“Maaf, ya, Dok. Kami gak bermaksud memberikan penilaian negatif pada, Dokter,” kata Endra sungkan.
“Santai saja, Om.”
“La, Papa sama Mama pulang dulu, ya. Baik-baik disini jangan bikin Dokter Abi susah,” pesan Davira pada putrinya.
Larisa mengangguk lalu memeluk kedua orang tuanya.
“Kami titip Larisa, ya, Dok,” ujar Endra.
“Siap, Om. Hati-hati di jalan. Maaf saya gak bisa antar ke bawah,” balas Abi
“Gak papa. Kami pulang.” Kedua orang tua itu melambaikan tangan pada putri mereka sampai pintu lift yang mereka naiki tertutup.
\=\=\=\=
“Nih, minum obatnya habis itu masuk kamar dan tidur.” Abi baru saja selesai menyuapi Larisa makan sesuai permintaan gadis itu tadi.
“Aku mau nonton dulu, Kak.”
“Satu jam lagi, ya. Habis itu masuk kamar.”
Larisa kembali memonyongkan bibirnya.
“Jangan sering-sering gitu,” kesal Abi
“Kenapa?”
“Kakak, jadi gemas.”
“Artinya aku lucu dong.”
“Gak juga sih.”
“Katanya gemas.”
“Gemas itu bukan selalu lucu, La,” jelas Abi
“Terus gemas kenapa?”
“Gemas pengen …”
“Pengen apa?” sosor Larisa
“Pengen comot! Ah, udah, ah,” Abi pun beranjak dari samping Larisa.
“Kakak, mau kemana?”
“Ya elah, La. Kakak cuma mau cuci gelas kotor doang. Lagian ini udah malam mau kemana coba.”
Larisa menyengir memperlihatkan jejeran gigi putihnya yang rapi.
Gadis itu kini memilih menonton drama korea. Entah kenapa belakangan ia lebih suka menonton drama romantis. Seakan berkhayal kalau dirinyalah yang menjadi pemeran utama wanita, karena ia berharap kisah cintanya nanti akan seindah drama itu.
“Sini duduk, Kak,” ajaknya menepuk sofa kosong di sampingnya.
Abi terpaksa menuruti karena tak mau jika gadis kecil itu nanti bertingkah karena hari sudah malam. Saking nyamannya bersama Abi, Larisa menyandar di dada bidang pria itu dan kakinya ia luruskan sepanjang sofa.
“Harus, ya posisinya kayak gini?” tanya Abi sedikit risih.
“Kenapa emang?”
“Kamu lagi niruin adegan itu?” Abi menunjuk layar TV
“Gak juga. Nyaman aja kayak gini. Lagian aku juga kangen sama, Kakak. Tiga hari gak ketemu rasanya ada yang kurang gitu.”
Abi hanya mengangkat kedua alisnya. Keduanya pun terbawa suasana drama yang sedang ditonton tiba-tiba pemeran utama pria mendekati wajah pemeran utama wanita, sepertinya mereka hendak ciuman. Makin lama makin dekat dan Abi pun menutup mata Larisa dengan satu telapak tangannya.
“Ih, Kakak kenapa mata aku ditutup sih?”
“Adegan dewasa. Kamu gak boleh lihat.”
“Emangnya kenapa kalau aku lihat? Sudah sering lihat juga kok,” jawab Larisa mengangkat tangan Abi dari wajahnya.
“Kamu masih kecil, udah lihat begituan?”
“Kata siapa aku masih kecil? Gini-gini udah pernah mau nikah,” kesal Larisa.
Abi meraih remot yang ada di atas meja lalu mematikan televisi. “Udah malam, waktunya tidur.
“Ih, Kakak bikin kesel aja,” rengek Larisa.
“Kamu gak ingat kalau ini sudah waktunya tidur?”
“Iya-iya,” jawab gadis itu menghentakkan kakinya ketika berjalan memasuki kamar.
\=\=\=\=\=
Pagi harinya sesuai jadwal yang sudah diterapkan oleh Abi, setelah bangun tidur Larisa harus merapikan tempat tidur lalu mencuci muka, sarapan sedikit setidaknya dua lembar roti tawar setelah itu olahraga ringan.
“La, hari ini pulang ke rumah Mama, Papa lagi, ya. Kakak gak bisa nemenin kamu beberapa hari kedepan karena Kakak meski urus izin untuk buka praktek,” jelas Abi.
“Tapi nanti, Kakak ke rumah kan?”
“Kalau ada waktu, Kakak sempatin.”
“Yuk, kita berangkat. Tapi sebelumnya kita jalan ke mall dulu.”
“Benar jalan-jalan ke mall?” tanya Larisa antusias. Pasalnya sudah beberapa bulan ini ia bagaikan tahanan rumah. Walaupun keluar palingan cuma ke Rumah Sakit.
Sampai di mall Abi mengajaknya ke toko ponsel.
“Mas, ada ponsel yang biasa gak?” tanya Abi pada penjaga toko
“Biasa yang cuma buat telpon sama SMS an aja?”
“Iya.”
“Ada, tunggu sebentar saya ambilkan.”
“Buat apa, Kakak beli HP biasa?” tanya Larisa
“Buat kamu supaya bisa telpon Kakak kapan saja. Kalau pakai ponsel pintar nanti kamu akses sosial media lagi dan itu gak baik buat penyembuhan.”
Larisa mengangguk paham.
“Berapa, Mas?” tanya Abi ke penjaga toko
“350 ribu, Mas.”
“Oke saya ambil yang ini.” Ponsel lipat berwarna putih itu pun segera dibungkus oleh si penjaga toko.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Anita EndLs
lanjut
2022-05-19
1