Usai pentas seni, teman-teman di kelas Dul masih membahas soal itu seakan tak pernah bosan. Soal bagaimana yang satu membanggakan foto gagahnya yang diambil dari jarak jauh oleh sang ibu. Satu yang lainnya membanggakan soal pujian guru yang terlontar karena kemahiran temannya itu memainkan tongkat mayoret. Juga hal-hal remeh lain yang diucapkan teman-temannya untuk membanggakan diri masing-masing.
Dul hanya duduk diam mendengarkan sambil mengunyah sisa ubi goreng yang dibawakan padanya sebagai tambahan bekal pagi tadi.
“Ayahmu wartawan dan kemarin aku liat motret-motret terus. Fotonya mana? Aku mau liat,” tukas teman Dul yang baru saja membanggakan hasil cetak foto dari kamera ponsel orang tuanya.
“Belum selesai dicetak. Foto pake kamera mahal, nyetaknya agak lama,” jawab Dul acuh tak acuh.
Karena ucapan temannya itu, kepala Dul langsung terbebani dengan pertanyaan, ‘Apakah Bara benar-benar mencetak foto-fotonya? Jika tidak, apa kalau ibunya yang meminta, foto itu bakal dicetak untuknya?’
Dul pulang sekolah dijemput oleh Mbah Lanang. Seperti biasa, ia harus menunggu sampai para murid tersisa sedikit barulah ayah dari ibunya itu muncul untuk menjemput.
Sepanjang jalan ke rumah, Dul mendengar suara perutnya sudah mencicit. Di rumah, ia berharap Mbah Wedok memasak ikan. Rasanya sudah lama sekali ia tak makan ikan.
“Mbah … masak apa? Aku kepingin ikan,” ucap Dul setibanya di dapur melihat Mbah Wedok duduk bersandar ke gawang pintu belakang.
Mbah Wedok menoleh padanya, “Telur dikasi sambel. Enggak pedes. Sana, ganti baju dulu.”
Pertanyaannya dijawab dengan sangat jelas. Tidak ada ikan hari itu.
“Ikan mahal. Ibumu ngasi belanja cuma sedikit kamu seleranya jangan macem-macem. Harus bisa bersyukur, Dul. Anak lain masih banyak yang kelaperan di luar sana.” Mbah Lanang muncul untuk menjawab pertanyaan Dul.
“Aku cuma nanya aja,” ucap Dul pelan. Tak ingin dikira membantah perkataan Mbah Lanang. Dul khawatir nama ibunya akan terbawa-bawa tiap ia bertingkah macam-macam.
Dul mengganti pakaiannya dan langsung menuju dapur. Lauk hari itu sama seperti kemarin. Seperti kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi. Lidahnya mungkin sudah mati rasa terhadap makanan lain. Sampai-sampai ia takut tak lagi bisa mengenali rasa ikan atau daging. Semua akan terasa seperti telur.
“Mau ke mana?”
Dul tersentak dari tidur siang yang baru dilakoninya selama sejam lebih. Suara Mbah Wedok yang hampir berteriak mengejutkannya. Ternyata teriakan Mbah Wedok ditujukan pada Mbah Lanang.
Udah pasti mau ke warung, Mbah.
“Mau ketemu temen di warung.”
Mbah Lanang terburu-buru memakai sandalnya. Detik berikutnya, seluruh omelan Mbah Wedok menjadi tanggung jawabnya untuk mendengar.
“Enggak pernah betah di rumah. Padahal enggak pernah diminta nyari nafkah. Entah kapan berubahnya.” Itu omelan yang pertama Dul dengar.
“Semua-semua tiap dikasi tau enggak ada yang mau denger. Termasuk Ibu kamu. Selalu bisa jawab apa tiap omongan Mbah.”
Yang barusan adalah omelan yang paling malas didengar Dul. Menyeret-nyeret nama ibunya. Bagi Dul, mbahnya yang mana pun tak ada yang pernah melihat bagaimana ibunya mencari uang untuk membuat periuk mereka berisi.
Meski Mbah Wedok selalu baik menyiapkan makanan untuknya, Dul tetap tidak suka jika ibunya disalahkan. Ibunya sudah cukup letih tanpa harus mendengar omelan Mbah Wedok yang selalu diawali karena mengomeli Mbah Lanang.
Dul berdiri dari depan televisi. Gerakannya itu disambut dengan pertanyaan Mbah Wedok, “Mau ke mana? Yang kecil juga enggak mau dengerin. Inget kalau ibumu enggak suka kalau kamu main dengan anak-anak gang sebelah.”
Peringatan itu membuat langkah Dul terhenti sejenak untuk menoleh Mbah Wedok di dapur. “Aku mau duduk di luar pagar. Enggak ke mana-mana,” ucap Dul.
Tangannya baru meraba pegangan pintu ketika suara seorang pria memanggilnya dari luar. “Dul ….”
Darahnya berdesir dan matanya membulat.
Om Bara ….
“Ada yang manggil. Siapa itu?” tanya Mbah Wedok.
“Teman Ibu yang anter aku ke pentas seni,” jawab Dul.
“Jangan dekat-dekat orang asing,” balas Mbah Wedok.
“Om Bara orang asing, tapi baik ke aku, Mbah.” Dul merapikan bajunya dan memperbaiki mimik wajahnya yang sejak tadi cemberut. Ia ingin Bara melihatnya sebagai anak yang ceria. Mau jadi anak yang menyenangkan.
“Om Bara …,” sapa Dul saat membuka pintu dan cepat-cepat menutupnya kembali. Setidaknya pintu itu akan bersuara jika tiba-tiba Mbah Wedok memutuskan untuk menguping pembicaraan atau melihat rupa tamu mereka sore itu.
“Lagi ngapain? Sibuk enggak?”
Tidak ada kesibukan yang berarti selama ia tinggal di rumah mbahnya. Namun, kalau mendengarkan omelan dan adu mulut kedua mbahnya bisa dianggap suatu kesibukan, artinya ia sibuk sekali.
“Aku enggak pernah sibuk. Cuma nonton film kartun. Enggak dikasi main di luar sama Ibu. Kata Ibu nanti aku di-bully.”
*Terutama sejak kejadian aku dituduh mencuri sepotong ayam goreng, Om. *
“Ayo, sini. Keluar dulu. Kakek-nenek mana?”
“Mbah Wedok tidur, Mbah Lanang mungkin di warung maim catur.”
Hampir yakin ia mengatakan kalau Mbah Wedok tidur. Karena memang biasa seperti itu. Setiap habis mengomel, yang bisa dilakukan Mbah Wedok hanya tidur menunggu Mbah Lanang pulang. Dan saat Mbah Lanang pulang nanti, Mbah Wedok akan meladeni seperti biasa. Bermanis-manis tanpa sisa omelan panjang lebar yang sudah didengar Dul.
Dul mendekati pintu pagar kayu. Dan sebelum ia sempat membukanya, Bara menyodorkan dua bungkus besar kantong plastik bertuliskan nama mini market.
“Om bawa ini. Ayo, simpen dulu.”
Tangan Dul seketika terulur menyambut dua bungkusan yang seketika membuatnya merasa menjadi anak paling kaya. “Semua untuk aku, Om?”
“Iya, untuk kamu. Jangan kasih anak lain. Kalau ada yang minta suruh beli sendiri. Selama ini juga enggak ada yang ngasih kamu gratis, kan?”
Mata Dul berbinar terkesima. Ia semakin menyukai pria itu. Baru kali itu ia bertemu dengan orang dewasa baik yang tak mengharuskannya selalu menjadi anak baik dan sempurna. Pria gagah dengan ransel itu memahami kalau ia hanya anak-anak yang juga memiliki sedikit keserakahan dan keinginan memiliki sesuatu secara mutlak.
Dul melesat ke dalam rumah untuk menyimpan hartanya. Dan benar dugaannya tadi, ia melirik kamar dan melihat Mbah Wedok sudah mendengkur pelan. Setelah memastikan hartanya tersimpan rapi di dalam lemari, ia cepat-cepat berlari keluar.
“Sekarang kamu duduk di sini,” pinta Bara, menunjuk tembok batu di luar pagar.
“Ngapain di situ?” Dul keluar pagar dan melihat motor besar terparkir di dekat tembok batu.
Selalu mengilap …. Keren ….
“Ngobrol sambil ngemil. Om masih punya ini.” Bara mengangkat se-bucket popcorn.
Itu adalah bujukan paling mudah. Dul sangat menyukai popcorn dan Bara tak perlu berlama-lama untuk merayu Dul menemaninya.
“Wah … aku suka! Ayo, aku temenin ngobrol. Om Bara kaya, ya? Kalau Om Bara kaya aku mau diangkat jadi anak.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut mungil Dul. Setelahnya, ia sedikit menggeser kakinya menjauhi sepatu Bara.
Ah … kenapa aku harus bilang kayak gitu …. Kalau Ibu dengar, Ibu pasti marah. Om Bara juga bisa takut untuk deket-deket Ibu. Aduh ….
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
☠⏤͟͟͞R🎯™𝐀𝖙𝖎𝖓 𝐖❦︎ᵍᵇ𝐙⃝🦜
Pemikiran anak2 yg polos tanpa embel2 berpikir panjang
2024-04-15
1
M akhwan Firjatullah
ya Allah Dul polos banget sihhh kamu...itu om bara mu lg modusss
2023-12-17
2
gembulers
gercep y dul
2023-09-07
2