002. Salah Satu Kenangan Indah

Ingatan lain yang membekas di pikiran Dul adalah saat ibunya datang dengan raut cemas. Ibunya keluar masuk rumah seakan ingin menyampaikan sesuatu pada Mbah Wedok yang duduk di dapur sambil mengupas ubi. Walau ibunya berkali-kali lewat, mbahnya tak sedikit pun bertanya. Ibu dari ibunya itu seakan sangat larut dalam pekerjaannya.

“Bu,” panggil Dijah, mendekati ibunya.

“Mmmm?”

“Besok aku mau daftarin Dul masuk TK. Brosurnya udah aku ambil jauh-jauh hari. Tapi uangku kurang. Kurang seratus ribu, Bu. Kalau Ibu ada simpenan uang yang selama ini aku kasih, boleh aku pakai dulu? Nanti aku ganti dalam beberapa hari ini. Ada?” Dijah berjongkok di sebelah ibunya.

“Uang Ibu enggak ada, Jah. Yang kamu kasih setiap hari habis buat belanja. Buat jajan Dul juga," kata ibunya.

"Lah, Bapak nggak ada ngasi? Katanya seminggu kemarin udah kerja di toko bahan bangunan. Ikut bantu ngangkat-ngangkat. Apa enggak ada gajinya?” Dijah berdiri menatap ibunya dengan kesal.

“Enggak kerja lagi. Cuma dua hari. Bapakmu bilang pinggangnya sakit,” sahut ibunya.

“Lebih sakit mana dengan perut kelaparan? Kok, ada laki-laki yang nggak doyan kerja. Tidur terus juga capek.”

“Jangan ngomel-ngomel di sini—”

“Ibu kalau bela Bapak enggak pernah mikirin perasaan aku. Aku ngasi belanja tiap hari karena Dul di sini. Bukan untuk ngasi makan Bapak yang masih sehat dan sanggup kerja. Aku kira yang aku lebihin bisa disimpen. Taunya habis. Giliran perlu pinjam seratus ribu aja enggak ada,” ketus Dijah.

“Gimana enggak habis? Kakang-kakangmu enggak pernah mau ngasi uang. Padahal cuma buat ngisi perut orang tuanya. Apa gunanya punya anak kalau enggak ada yang bisa bantu orang tua? Semuanya pelit,” sergah ibunya.

“Itu urusan Ibu dengan Kakang. Ibu dan Bapak orang tua mereka. Pergi ngomong sendiri sana. Jangan ngomelnya cuma aku yang denger. Giliran orangnya dateng ke sini, ngeladeninya kayak ngeladeni menteri dateng.”

“Ketimbang ngomel-ngomel buang waktu, mending kamu pinjem sama orang.”

“Pinjem sama siapa? Apa ada orang yang percaya kalau orang sesulit aku hidupnya mau pinjam uang? Bahkan orang yang sama melaratnya dengan aku, enggak suka denger cerita kemelaratanku. Apalagi orang kaya. Ya, udah. Aku pergi. Percuma punya keluarga,” sungut Dijah, meninggalkan dapur.

Ketika melintasi ruang keluarga yang merangkap sebagai ruang tamu, Dul menarik lengan ibunya. “Mau ke mana?” Dul sengaja berucap pelan seraya melirik ke dapur. Khawatir Mbah Wedok mendengar pembicaraan mereka dan ikut menimpali. Ia tak mau melihat ibunya kembali adu mulut.

“Mau kerja,” jawab Dijah. “Memangnya kenapa? Kamu udah makan, kan? Kalau udah makan sekarang tidur siang. Jangan main-main di luar, panas.”

“Mau ikut Ibu kerja,” jawab Dul.

“Ikut kerja gimana? Jangan gitu, Dul. Ibu sekarang buru-buru. Kamu jangan minta yang aneh-aneh. Ya, udah. Ibu mau belanja dagangan. Di lapangan besar ada demo buruh. Ibu mau dagang air mineral.”

“Biar Ibu ada yang nemenin. Aku lagi mau sama Ibu.” Dul kembali melirik ke dapur.

Dijah menghela napas dan ikut melirik dapur. “Di luar panas.”

“Aku ada topi.” Dul tak melepaskan tatapan dari ibunya. Ingin membuat ibunya mengerti kalau siang itu dia benar-benar mau ikut.

“Ambil topinya,” pinta Dijah.

Dul cepat-cepat ke sudut ruangan menuju laci kontainer warna-warni yang terletak di sebelah televisi. Hanya empat laci kontainer yang dimilikinya sebagai harta benda. Beberapa potong pakaian bepergian, baju-baju rumah, serta bedak dan minyak telon yang dibelikan ibunya. Ia mengeluarkan sebuah topi dari laci paling bawah dan memakainya.

“Sudah, Bu,” ujar Dul, mengusap mukanya agar terlihat lebih segar.

“Sebentar, Ibu isi air minum dulu.”

Dul pergi keluar rumah dan memakai sandal. Tak ingin berlama-lama di dalam karena bisa saja ibunya berubah pikiran karena ucapan Mbah Wedok. Ternyata kekhawatirannya tak terbukti. Tak lama ibunya keluar seraya memasukkan botol air minumnya ke dalam tas kanvas, lalu menyandangnya.

“Jangan rewel, ya, Dul. Ibu mau nyari tambahan buat kamu masuk TK.”

“TK-nya mahal?” tanya Dul, mendongak untuk melihat wajah ibunya. Wanita itu sedang menggenggam tangannya dan mereka beriringan keluar gang.

“Sebenarnya enggak mahal, enggak murah juga. Tapi buat kita uangnya yang sulit.” Dijah tertawa.

“Yang murah aja enggak apa-apa,” kata Dul menunduk. Merasa tak enak kalau ibunya harus keluar banyak uang demi kesenangannya masuk TK. Pemandangan anak-anak bermain dan bersenda gurau di halaman sebuah TK memang sangat menggiurkan baginya.

“Mau murah atau mahal, yang tugas cari uang itu Ibu. Kamu enggak usah mikir itu. Harusnya juga enggak perlu ikut siang ini.”

Dul diam saja. Mengikuti langkah kaki ibunya menyusuri tepian jalan raya dan masuk ke sebuah toko.

“Tunggu di sini. Di dalam banyak orang,” kata Dijah pada Dul.

Seorang pria mengeluarkan dua kardus air mineral serta sebungkus besar tisu yang berisi empat lusin tisu kering berukuran kecil dan meletakkannya di teras toko. Ibunya terlihat mengangsurkan lembaran uang dari dompet kecil dan berterima kasih saat keluar toko.

“Ayo, berangkat. Semoga angkot enggak rame isinya.”

Angkot yang mereka tumpangi ternyata hanya berisi tiga orang. Dul duduk di sebelah Dijah seraya mendekap sebungkus besar tisu.

Lapangan besar tempat berlangsungnya demo masih diramaikan orang-orang. Tapi sebagian sudah mulai bergerak ke pinggiran lapangan untuk mencari tempat teduh. Dijah menurunkan dagangannya ke tepi jalan dan mengangkatnya satu persatu. Dul mengikuti ke mana langkah ibunya dan menjaga satu kardus air mineral saat kardus lainnya sedang diambil.

Siang itu, Dul belajar nilai lembaran uang yang diberikan ibunya saat ia merengek meminta jajan. Berbekal dua botol air mineral, ibunya ke sana kemari menawarkan dagangan. Ibunya sangat gigih dan percaya diri. Bahkan saat beberapa pria berkata bahwa ibunya cantik dan tak pantas berdagang di bawah terik matahari, ibunya terlihat santai menanggapi.

“Dul, tisunya sisa berapa?” tanya Dijah.

Pelan-pelan Dul menghitung sisa tisu yang dipegangnya. Beberapa kali tadi ia sempat menjual beberapa karena ada yang bertanya langsung padanya saat ia sibuk melihat ibunya. Hari beranjak sore. Matanya sedikit mengantuk dan perutnya mulai lapar. Dalam hati ia meringis. Mengumpulkan tekad kalau ia tak akan memberitahu ibunya. Ia meyakinkan diri bisa menahan lapar sampai tiba di rumah dan makan malam.

“Ibu enggak capek?” tanya Dul. Dijah tertawa kecil dan berjalan mendekat.

“Demonya sudah mau selesai. Air mineralnya sisa sedikit lagi. Itu harus habis. Biar ada keuntungannya. Nih, tadi ada yang enggak mau dikasi kembalian. Ibu dapet uang lebih. Lumayan,” kata ibunya.

Dul melirik kardus air mineral yang tersisa tujuh botol lagi. Sedikit lagi, dan isi lapangan itu mulai menyusut. Hanya tinggal sebagian orang yang tersisa. Duduk berkelompok-kelompok sambil bertukar cerita.

“Kalau enggak habis, ibu rugi?” tanya Dul lagi, berusaha untuk menenangkan kekhawatirannya.

“Enggak rugi. Ibu udah untung sedikit. Yang tujuh botol sisa keuntungan kita. Tisu sisa empat, ya? Enggak apa-apa. Nanti kalau enggak habis bisa disimpan. Enggak perlu cemas. Tuhan udah menebar seluruh rezekinya ke muka bumi dengan adil. Tinggal kita yang harus usaha buat ngumpulinnya. Kalau kita dikasi rezeki lebih, itu artinya kita bisa berbagi biar rezeki itu merata.”

Dul duduk di tepi lapangan mendengarkan ucapan ibunya dengan mata sedikit terkantuk karena sepoi angin sore.

“Kamu laper? Ngantuk, ya?” tanya Dijah.

"Enggak laper,” sahut Dul.

“Berarti kamu laper. Jawabannya itu duluan,” ujar ibunya terkekeh.

Percakapan mereka terhenti sejenak karena tiga orang pria berjalan mendekati sambil membawa kantong plastik besar.

“Berdua aja, Bu? Kita bagiin ini, ya … peserta demonya sudah banyak yang pulang. Itu dagangannya, ya? Sini kita borong. Buat tambahan air minum. Soalnya isi nasi kotak Cuma air mineral gelas.”

Dul melihat ibunya sempat terbengong beberapa saat ketika menerima empat nasi kotak dari salah seorang pria muda. Pria lainnya mengangsurkan uang dan membeli sisa dagangan mereka.

“Terima kasih, Pak. Murah rejekinya,” kata Dijah dengan mata berbinar.

“Sama-sama, Bu ….”

Tiga pria pergi berlalu dan ibu anak itu diam saling bertatapan. Dul merasa sore itu mendapat durian runtuh.

“Lihat, kan? Kita enggak perlu cemas soal rezeki. Ini rezeki kamu, Dul. Ibu dagang sendirian malah enggak pernah dapat nasi kotak rumah makan mahal. Ayo, kita lihat isinya.”

Dul tersenyum sumringah dan mengangguk mantap. Menerima sekotak nasi yang diangsurkan ibunya dan mengintip ke dalam.

“Lauknya banyak, Bu. Aku langsung makan, ya?”

“Iya. Kita langsung makan. Mumpung semua orang di lapangan juga lagi makan,” sahut Dijah.

Dul melihat ibunya melepaskan perekat kardus air mineral untuk menjadikannya alas duduk. Mata ibunya yang berbinar-binar, sedikit mengurangi rasa bersalah karena biaya TK-nya. Sore itu adalah salah satu kenangan indah Dul dengan ibunya. Berdua saja duduk di tepi lapangan menikmati nasi kotak rumah makan mahal. Dagangan ibunya habis, dan biaya masuk TK-nya sedikit terbantu.

To Be Continued

Terpopuler

Comments

☠⏤͟͟͞R🎯™𝐀𝖙𝖎𝖓 𝐖❦︎ᵍᵇ𝐙⃝🦜

☠⏤͟͟͞R🎯™𝐀𝖙𝖎𝖓 𝐖❦︎ᵍᵇ𝐙⃝🦜

Alhamdulillah rejeki emang sudah diatur

2024-04-12

0

Cita

Cita

♥️

2024-01-31

1

Ardiansyah Gg

Ardiansyah Gg

Dijah... perempuan kuat

2024-01-07

1

lihat semua
Episodes
1 001. Ingatan Seorang Anak
2 002. Salah Satu Kenangan Indah
3 003. TK Impian
4 004. Alasan Membenci
5 005. Sebuah Pengertian Baru
6 006. Doa Bersama
7 007. Tempat Tinggal Baru Ibu
8 008. Kepercayaan Dari Ibu
9 009. Seorang Anak Yang Jatuh Hati
10 010. Pahit dan Manis
11 011. Cita-Cita Dul
12 012. Obrolan dengan Pria Gagah
13 013. Kebencian yang Mengakar
14 014. Sosok Idola Baru
15 015. Pelajaran Baru dari Ibu
16 016. Ibu Pahlawan Abadi
17 017. Perjuangan Liburan
18 018. Soal Cita-Cita
19 019. Kehilangan
20 020. Yang Mengakar Seumur Hidup
21 021. Kehilangan
22 022. Rindu Ibu
23 023. Percakapan Pria
24 024. Makna Ucapan
25 025. Kepergian Mbah Lanang
26 026. Hunian Baru
27 027. Kunjungan Pertama Kali
28 028. Pria dengan Pesona
29 029. Sesekali Boleh Salah
30 030. Lengkap Sudah
31 031. Di Tengah Keluarga
32 032. Bisa Baper
33 033. Kekhawatiran
34 034. Akhir Kesakitan
35 035. Datang dan Pergi
36 036. Kehilangan Kedua
37 037. Beranjak Remaja
38 038. Mengenal Heru
39 039. Kenyataan yang Mendekat
40 040. Terhenyak
41 041. Keputusasaan
42 042. Semua Ada Saatnya
43 043. Cari Kawan
44 044. Menyusul Dul
45 045. Menginginkan Pengakuan
46 046. Siapa Aku Sebenarnya
47 047. Tangis yang Pecah
48 048. Sebuah Pemikiran
49 049. Cara Memaafkan
50 050. Berdamai
51 051. Memang Anak Ibu
52 052. Bertemu Masa Lalu
53 053. Mulai Melangkah
54 054. Perpisahan
55 055. Sanubari Seorang Anak
56 056. Hati ke Hati
57 057. Hari Baru
58 058. Soal Cita-cita
59 059. Dari Selembar Foto
60 060. Akhir Surat Panjang
61 061. Semua Pasti Sempurna
62 062. Nama Paling Gagah
63 063. Sebuah Pertimbangan
64 064. Kontemplasi Rasa
65 065. Kembali Melangkah
66 066. Hidup Tetap Berjalan
67 067. Kejutan Untuk Ibu
68 068. Surprise
69 069. Hal-Hal Sederhana
70 070. Kesenangan Bersama
71 071. Keriaan Sehari
72 072. Kado Anak-anak
73 073. Awal Baru Lagi
74 074. Kesadaran Masa Remaja
75 075. Menunggu Esok
76 076. Putih Abu-abu
77 077. Merangkai Hari
78 078. Menunggu Jemputan
79 079. Kesadaran Yang Pertama
80 080. Sebuah Saran
81 081. Di Antara Sahabat
82 082. Percakapan Pertama
83 083. Langkah Berikutnya
84 084. Hari Itu Hari Raya
85 085. Salah Gerakan
86 086. Upacara Susulan
87 087. Tentang Seseorang
88 088. Kisah Lama Jangan Usai
89 089. Kabar Dari Annisa
90 090. Dukacita
91 091. Cerita Annisa
92 092. Cerita Annisa (2)
93 093. Akan Kuingat Selalu
94 094. Sebuah Proses
95 095. Berbaikan
96 096. Perpisahan Lagi
97 097. Wujud Kekecewaan
98 098. Duel Abdullah
99 099. Setelah Duel
100 100. Isi Hati
101 101. Wawancara
102 102. Sepotong Pesan
103 103. Sampai Jumpa Lagi
104 104. Di Bawah Sebatang Pohon
105 105. Sudah Pria Dewasa
106 106. Perjuangan Itu Dimulai
107 107. Menjelang Dewasa
108 108. Sedih Sebelum Senang
109 109. Harus Bangun
110 110. Keberangkatan
111 111. Malam Sidang Pantukhir
112 112. Hasil Doa dan Air Mata
113 113. Pelukan Untuk Ayah
114 114. Ayah Baik-baik Saja
115 115. Kunjungan Kawan
116 PENGUMUMAN GIVEAWAY
117 116. Ngalor-Ngidul Rencana
118 117. Kilas Masa Depan
119 118. Perpisahan dan Pertemuan
120 119. Sambal Perwira
121 120. Annisa
122 121. Hidup Harus Tetap Berjalan
123 122. Pelukan Rindu
124 123. Untung Masih Wangi
125 124. Salah Bicara
126 125. Kencan Keluarga
127 126. Percikan Masa Lalu
128 127. Di Ayunan Besi
129 128. Ardhya Garini
130 129. Harus Melangkah
131 130. Perlahan Ke Masa Depan
132 131. Pria Belum Laku
133 132. Jomblo Paling Berkualitas
134 133. Kejutan dari Sermatutar
135 134. Adhi Makayasa untuk Ayah
136 135. Selamat Dari Ayah
137 136. Go Public
138 137. Kenalin
139 PENGUMUMAN PEMENANG GIVEAWAY
140 138. Kenangan Muda
141 139. Terkejut dan Mengejutkan
142 140. Perkenalan Tak Disengaja
143 141. Seseorang Yang Muncul di Ingatan
144 142. Badai Kecil
145 143. Afirmasi Positif
146 144. Bukan Karena Jarak
147 145. Semacam Patah Hati
148 146. Bagaimana Hubungan Kita
149 147. Bala Bantuan
150 148. Finding Annisa
151 149. Generasi Berbeda
152 150. Percakapan Dua Generasi
153 151. Pembatalan Janji
154 152. Setelah Sekian Lama
155 153. Entah Itu Perpisahan
156 154. Malam Yang Meyakinkan
157 155. Bukan Kisah Sederhana
158 156. Dari Cerpen 'ANAK IBU' (1)
159 157. Dari Cerpen 'ANAK IBU' (2)
160 158. Percakapan Sebelum Hidangan
161 159. Omongan Ringan Yang Berisi
162 160. Dukungan Seluruh Keluarga
163 161. Hari Bahagia Itu
164 162. Buket Bunga Dari Pria Berseragam
165 163. Sebelum Paragraf Berikutnya
166 164. Waktu Tiga Minggu
167 165. Untaian Restu
168 166. Hari Bahagia Itu
169 167. Kisah Di Dalam Kisah
170 168. Kesan-kesan Mereka
171 169. Cerita Satu Persatu
172 170. Di Mata Para Sahabat
173 171. Peringatan Dari Tini
174 172. Pertemuan Itu
175 173. Sebagaimana Seharusnya
176 174. Pelukan Tiga Generasi
177 Pemenang Komentar Terbaik
Episodes

Updated 177 Episodes

1
001. Ingatan Seorang Anak
2
002. Salah Satu Kenangan Indah
3
003. TK Impian
4
004. Alasan Membenci
5
005. Sebuah Pengertian Baru
6
006. Doa Bersama
7
007. Tempat Tinggal Baru Ibu
8
008. Kepercayaan Dari Ibu
9
009. Seorang Anak Yang Jatuh Hati
10
010. Pahit dan Manis
11
011. Cita-Cita Dul
12
012. Obrolan dengan Pria Gagah
13
013. Kebencian yang Mengakar
14
014. Sosok Idola Baru
15
015. Pelajaran Baru dari Ibu
16
016. Ibu Pahlawan Abadi
17
017. Perjuangan Liburan
18
018. Soal Cita-Cita
19
019. Kehilangan
20
020. Yang Mengakar Seumur Hidup
21
021. Kehilangan
22
022. Rindu Ibu
23
023. Percakapan Pria
24
024. Makna Ucapan
25
025. Kepergian Mbah Lanang
26
026. Hunian Baru
27
027. Kunjungan Pertama Kali
28
028. Pria dengan Pesona
29
029. Sesekali Boleh Salah
30
030. Lengkap Sudah
31
031. Di Tengah Keluarga
32
032. Bisa Baper
33
033. Kekhawatiran
34
034. Akhir Kesakitan
35
035. Datang dan Pergi
36
036. Kehilangan Kedua
37
037. Beranjak Remaja
38
038. Mengenal Heru
39
039. Kenyataan yang Mendekat
40
040. Terhenyak
41
041. Keputusasaan
42
042. Semua Ada Saatnya
43
043. Cari Kawan
44
044. Menyusul Dul
45
045. Menginginkan Pengakuan
46
046. Siapa Aku Sebenarnya
47
047. Tangis yang Pecah
48
048. Sebuah Pemikiran
49
049. Cara Memaafkan
50
050. Berdamai
51
051. Memang Anak Ibu
52
052. Bertemu Masa Lalu
53
053. Mulai Melangkah
54
054. Perpisahan
55
055. Sanubari Seorang Anak
56
056. Hati ke Hati
57
057. Hari Baru
58
058. Soal Cita-cita
59
059. Dari Selembar Foto
60
060. Akhir Surat Panjang
61
061. Semua Pasti Sempurna
62
062. Nama Paling Gagah
63
063. Sebuah Pertimbangan
64
064. Kontemplasi Rasa
65
065. Kembali Melangkah
66
066. Hidup Tetap Berjalan
67
067. Kejutan Untuk Ibu
68
068. Surprise
69
069. Hal-Hal Sederhana
70
070. Kesenangan Bersama
71
071. Keriaan Sehari
72
072. Kado Anak-anak
73
073. Awal Baru Lagi
74
074. Kesadaran Masa Remaja
75
075. Menunggu Esok
76
076. Putih Abu-abu
77
077. Merangkai Hari
78
078. Menunggu Jemputan
79
079. Kesadaran Yang Pertama
80
080. Sebuah Saran
81
081. Di Antara Sahabat
82
082. Percakapan Pertama
83
083. Langkah Berikutnya
84
084. Hari Itu Hari Raya
85
085. Salah Gerakan
86
086. Upacara Susulan
87
087. Tentang Seseorang
88
088. Kisah Lama Jangan Usai
89
089. Kabar Dari Annisa
90
090. Dukacita
91
091. Cerita Annisa
92
092. Cerita Annisa (2)
93
093. Akan Kuingat Selalu
94
094. Sebuah Proses
95
095. Berbaikan
96
096. Perpisahan Lagi
97
097. Wujud Kekecewaan
98
098. Duel Abdullah
99
099. Setelah Duel
100
100. Isi Hati
101
101. Wawancara
102
102. Sepotong Pesan
103
103. Sampai Jumpa Lagi
104
104. Di Bawah Sebatang Pohon
105
105. Sudah Pria Dewasa
106
106. Perjuangan Itu Dimulai
107
107. Menjelang Dewasa
108
108. Sedih Sebelum Senang
109
109. Harus Bangun
110
110. Keberangkatan
111
111. Malam Sidang Pantukhir
112
112. Hasil Doa dan Air Mata
113
113. Pelukan Untuk Ayah
114
114. Ayah Baik-baik Saja
115
115. Kunjungan Kawan
116
PENGUMUMAN GIVEAWAY
117
116. Ngalor-Ngidul Rencana
118
117. Kilas Masa Depan
119
118. Perpisahan dan Pertemuan
120
119. Sambal Perwira
121
120. Annisa
122
121. Hidup Harus Tetap Berjalan
123
122. Pelukan Rindu
124
123. Untung Masih Wangi
125
124. Salah Bicara
126
125. Kencan Keluarga
127
126. Percikan Masa Lalu
128
127. Di Ayunan Besi
129
128. Ardhya Garini
130
129. Harus Melangkah
131
130. Perlahan Ke Masa Depan
132
131. Pria Belum Laku
133
132. Jomblo Paling Berkualitas
134
133. Kejutan dari Sermatutar
135
134. Adhi Makayasa untuk Ayah
136
135. Selamat Dari Ayah
137
136. Go Public
138
137. Kenalin
139
PENGUMUMAN PEMENANG GIVEAWAY
140
138. Kenangan Muda
141
139. Terkejut dan Mengejutkan
142
140. Perkenalan Tak Disengaja
143
141. Seseorang Yang Muncul di Ingatan
144
142. Badai Kecil
145
143. Afirmasi Positif
146
144. Bukan Karena Jarak
147
145. Semacam Patah Hati
148
146. Bagaimana Hubungan Kita
149
147. Bala Bantuan
150
148. Finding Annisa
151
149. Generasi Berbeda
152
150. Percakapan Dua Generasi
153
151. Pembatalan Janji
154
152. Setelah Sekian Lama
155
153. Entah Itu Perpisahan
156
154. Malam Yang Meyakinkan
157
155. Bukan Kisah Sederhana
158
156. Dari Cerpen 'ANAK IBU' (1)
159
157. Dari Cerpen 'ANAK IBU' (2)
160
158. Percakapan Sebelum Hidangan
161
159. Omongan Ringan Yang Berisi
162
160. Dukungan Seluruh Keluarga
163
161. Hari Bahagia Itu
164
162. Buket Bunga Dari Pria Berseragam
165
163. Sebelum Paragraf Berikutnya
166
164. Waktu Tiga Minggu
167
165. Untaian Restu
168
166. Hari Bahagia Itu
169
167. Kisah Di Dalam Kisah
170
168. Kesan-kesan Mereka
171
169. Cerita Satu Persatu
172
170. Di Mata Para Sahabat
173
171. Peringatan Dari Tini
174
172. Pertemuan Itu
175
173. Sebagaimana Seharusnya
176
174. Pelukan Tiga Generasi
177
Pemenang Komentar Terbaik

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!