Ingatan lain yang membekas di pikiran Dul adalah saat ibunya datang dengan raut cemas. Ibunya keluar masuk rumah seakan ingin menyampaikan sesuatu pada Mbah Wedok yang duduk di dapur sambil mengupas ubi. Walau ibunya berkali-kali lewat, mbahnya tak sedikit pun bertanya. Ibu dari ibunya itu seakan sangat larut dalam pekerjaannya.
“Bu,” panggil Dijah, mendekati ibunya.
“Mmmm?”
“Besok aku mau daftarin Dul masuk TK. Brosurnya udah aku ambil jauh-jauh hari. Tapi uangku kurang. Kurang seratus ribu, Bu. Kalau Ibu ada simpenan uang yang selama ini aku kasih, boleh aku pakai dulu? Nanti aku ganti dalam beberapa hari ini. Ada?” Dijah berjongkok di sebelah ibunya.
“Uang Ibu enggak ada, Jah. Yang kamu kasih setiap hari habis buat belanja. Buat jajan Dul juga," kata ibunya.
"Lah, Bapak nggak ada ngasi? Katanya seminggu kemarin udah kerja di toko bahan bangunan. Ikut bantu ngangkat-ngangkat. Apa enggak ada gajinya?” Dijah berdiri menatap ibunya dengan kesal.
“Enggak kerja lagi. Cuma dua hari. Bapakmu bilang pinggangnya sakit,” sahut ibunya.
“Lebih sakit mana dengan perut kelaparan? Kok, ada laki-laki yang nggak doyan kerja. Tidur terus juga capek.”
“Jangan ngomel-ngomel di sini—”
“Ibu kalau bela Bapak enggak pernah mikirin perasaan aku. Aku ngasi belanja tiap hari karena Dul di sini. Bukan untuk ngasi makan Bapak yang masih sehat dan sanggup kerja. Aku kira yang aku lebihin bisa disimpen. Taunya habis. Giliran perlu pinjam seratus ribu aja enggak ada,” ketus Dijah.
“Gimana enggak habis? Kakang-kakangmu enggak pernah mau ngasi uang. Padahal cuma buat ngisi perut orang tuanya. Apa gunanya punya anak kalau enggak ada yang bisa bantu orang tua? Semuanya pelit,” sergah ibunya.
“Itu urusan Ibu dengan Kakang. Ibu dan Bapak orang tua mereka. Pergi ngomong sendiri sana. Jangan ngomelnya cuma aku yang denger. Giliran orangnya dateng ke sini, ngeladeninya kayak ngeladeni menteri dateng.”
“Ketimbang ngomel-ngomel buang waktu, mending kamu pinjem sama orang.”
“Pinjem sama siapa? Apa ada orang yang percaya kalau orang sesulit aku hidupnya mau pinjam uang? Bahkan orang yang sama melaratnya dengan aku, enggak suka denger cerita kemelaratanku. Apalagi orang kaya. Ya, udah. Aku pergi. Percuma punya keluarga,” sungut Dijah, meninggalkan dapur.
Ketika melintasi ruang keluarga yang merangkap sebagai ruang tamu, Dul menarik lengan ibunya. “Mau ke mana?” Dul sengaja berucap pelan seraya melirik ke dapur. Khawatir Mbah Wedok mendengar pembicaraan mereka dan ikut menimpali. Ia tak mau melihat ibunya kembali adu mulut.
“Mau kerja,” jawab Dijah. “Memangnya kenapa? Kamu udah makan, kan? Kalau udah makan sekarang tidur siang. Jangan main-main di luar, panas.”
“Mau ikut Ibu kerja,” jawab Dul.
“Ikut kerja gimana? Jangan gitu, Dul. Ibu sekarang buru-buru. Kamu jangan minta yang aneh-aneh. Ya, udah. Ibu mau belanja dagangan. Di lapangan besar ada demo buruh. Ibu mau dagang air mineral.”
“Biar Ibu ada yang nemenin. Aku lagi mau sama Ibu.” Dul kembali melirik ke dapur.
Dijah menghela napas dan ikut melirik dapur. “Di luar panas.”
“Aku ada topi.” Dul tak melepaskan tatapan dari ibunya. Ingin membuat ibunya mengerti kalau siang itu dia benar-benar mau ikut.
“Ambil topinya,” pinta Dijah.
Dul cepat-cepat ke sudut ruangan menuju laci kontainer warna-warni yang terletak di sebelah televisi. Hanya empat laci kontainer yang dimilikinya sebagai harta benda. Beberapa potong pakaian bepergian, baju-baju rumah, serta bedak dan minyak telon yang dibelikan ibunya. Ia mengeluarkan sebuah topi dari laci paling bawah dan memakainya.
“Sudah, Bu,” ujar Dul, mengusap mukanya agar terlihat lebih segar.
“Sebentar, Ibu isi air minum dulu.”
Dul pergi keluar rumah dan memakai sandal. Tak ingin berlama-lama di dalam karena bisa saja ibunya berubah pikiran karena ucapan Mbah Wedok. Ternyata kekhawatirannya tak terbukti. Tak lama ibunya keluar seraya memasukkan botol air minumnya ke dalam tas kanvas, lalu menyandangnya.
“Jangan rewel, ya, Dul. Ibu mau nyari tambahan buat kamu masuk TK.”
“TK-nya mahal?” tanya Dul, mendongak untuk melihat wajah ibunya. Wanita itu sedang menggenggam tangannya dan mereka beriringan keluar gang.
“Sebenarnya enggak mahal, enggak murah juga. Tapi buat kita uangnya yang sulit.” Dijah tertawa.
“Yang murah aja enggak apa-apa,” kata Dul menunduk. Merasa tak enak kalau ibunya harus keluar banyak uang demi kesenangannya masuk TK. Pemandangan anak-anak bermain dan bersenda gurau di halaman sebuah TK memang sangat menggiurkan baginya.
“Mau murah atau mahal, yang tugas cari uang itu Ibu. Kamu enggak usah mikir itu. Harusnya juga enggak perlu ikut siang ini.”
Dul diam saja. Mengikuti langkah kaki ibunya menyusuri tepian jalan raya dan masuk ke sebuah toko.
“Tunggu di sini. Di dalam banyak orang,” kata Dijah pada Dul.
Seorang pria mengeluarkan dua kardus air mineral serta sebungkus besar tisu yang berisi empat lusin tisu kering berukuran kecil dan meletakkannya di teras toko. Ibunya terlihat mengangsurkan lembaran uang dari dompet kecil dan berterima kasih saat keluar toko.
“Ayo, berangkat. Semoga angkot enggak rame isinya.”
Angkot yang mereka tumpangi ternyata hanya berisi tiga orang. Dul duduk di sebelah Dijah seraya mendekap sebungkus besar tisu.
Lapangan besar tempat berlangsungnya demo masih diramaikan orang-orang. Tapi sebagian sudah mulai bergerak ke pinggiran lapangan untuk mencari tempat teduh. Dijah menurunkan dagangannya ke tepi jalan dan mengangkatnya satu persatu. Dul mengikuti ke mana langkah ibunya dan menjaga satu kardus air mineral saat kardus lainnya sedang diambil.
Siang itu, Dul belajar nilai lembaran uang yang diberikan ibunya saat ia merengek meminta jajan. Berbekal dua botol air mineral, ibunya ke sana kemari menawarkan dagangan. Ibunya sangat gigih dan percaya diri. Bahkan saat beberapa pria berkata bahwa ibunya cantik dan tak pantas berdagang di bawah terik matahari, ibunya terlihat santai menanggapi.
“Dul, tisunya sisa berapa?” tanya Dijah.
Pelan-pelan Dul menghitung sisa tisu yang dipegangnya. Beberapa kali tadi ia sempat menjual beberapa karena ada yang bertanya langsung padanya saat ia sibuk melihat ibunya. Hari beranjak sore. Matanya sedikit mengantuk dan perutnya mulai lapar. Dalam hati ia meringis. Mengumpulkan tekad kalau ia tak akan memberitahu ibunya. Ia meyakinkan diri bisa menahan lapar sampai tiba di rumah dan makan malam.
“Ibu enggak capek?” tanya Dul. Dijah tertawa kecil dan berjalan mendekat.
“Demonya sudah mau selesai. Air mineralnya sisa sedikit lagi. Itu harus habis. Biar ada keuntungannya. Nih, tadi ada yang enggak mau dikasi kembalian. Ibu dapet uang lebih. Lumayan,” kata ibunya.
Dul melirik kardus air mineral yang tersisa tujuh botol lagi. Sedikit lagi, dan isi lapangan itu mulai menyusut. Hanya tinggal sebagian orang yang tersisa. Duduk berkelompok-kelompok sambil bertukar cerita.
“Kalau enggak habis, ibu rugi?” tanya Dul lagi, berusaha untuk menenangkan kekhawatirannya.
“Enggak rugi. Ibu udah untung sedikit. Yang tujuh botol sisa keuntungan kita. Tisu sisa empat, ya? Enggak apa-apa. Nanti kalau enggak habis bisa disimpan. Enggak perlu cemas. Tuhan udah menebar seluruh rezekinya ke muka bumi dengan adil. Tinggal kita yang harus usaha buat ngumpulinnya. Kalau kita dikasi rezeki lebih, itu artinya kita bisa berbagi biar rezeki itu merata.”
Dul duduk di tepi lapangan mendengarkan ucapan ibunya dengan mata sedikit terkantuk karena sepoi angin sore.
“Kamu laper? Ngantuk, ya?” tanya Dijah.
"Enggak laper,” sahut Dul.
“Berarti kamu laper. Jawabannya itu duluan,” ujar ibunya terkekeh.
Percakapan mereka terhenti sejenak karena tiga orang pria berjalan mendekati sambil membawa kantong plastik besar.
“Berdua aja, Bu? Kita bagiin ini, ya … peserta demonya sudah banyak yang pulang. Itu dagangannya, ya? Sini kita borong. Buat tambahan air minum. Soalnya isi nasi kotak Cuma air mineral gelas.”
Dul melihat ibunya sempat terbengong beberapa saat ketika menerima empat nasi kotak dari salah seorang pria muda. Pria lainnya mengangsurkan uang dan membeli sisa dagangan mereka.
“Terima kasih, Pak. Murah rejekinya,” kata Dijah dengan mata berbinar.
“Sama-sama, Bu ….”
Tiga pria pergi berlalu dan ibu anak itu diam saling bertatapan. Dul merasa sore itu mendapat durian runtuh.
“Lihat, kan? Kita enggak perlu cemas soal rezeki. Ini rezeki kamu, Dul. Ibu dagang sendirian malah enggak pernah dapat nasi kotak rumah makan mahal. Ayo, kita lihat isinya.”
Dul tersenyum sumringah dan mengangguk mantap. Menerima sekotak nasi yang diangsurkan ibunya dan mengintip ke dalam.
“Lauknya banyak, Bu. Aku langsung makan, ya?”
“Iya. Kita langsung makan. Mumpung semua orang di lapangan juga lagi makan,” sahut Dijah.
Dul melihat ibunya melepaskan perekat kardus air mineral untuk menjadikannya alas duduk. Mata ibunya yang berbinar-binar, sedikit mengurangi rasa bersalah karena biaya TK-nya. Sore itu adalah salah satu kenangan indah Dul dengan ibunya. Berdua saja duduk di tepi lapangan menikmati nasi kotak rumah makan mahal. Dagangan ibunya habis, dan biaya masuk TK-nya sedikit terbantu.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
Yeti Kosasih
bacanya nyeseg bangeet mataku rasanya panas..mataku berkaca² ya Allah tenggorokanku tercekaat..sedihnya nasibmu Dijah ,dul.
2025-02-16
0
jumirah slavina
Aku merinding Dul... sedih banget...
2025-02-08
2
mama lia
suka sama semua tulisannya. best bgt tini suketi, dijah smpe dul. kisah khidupan yg mungkin memang ada yg ngalamin. keren pake bgt. sampe pusing cari novel sekeren karya jusklpa....
2024-10-29
2