Dalam runtutan kejadian yang membekas di ingatan masa kecil Dul, pentas seni pertama di mana ia bertugas menjadi penabuh drum adalah hal yang paling membekas. Persiapan pentas seni itu sudah disiapkan jauh-jauh hari. Semua murid berlatih intens selama dua minggu. Foto-foto pentas seni tahun-tahun sebelumnya yang dipajang di sudut dinding sekolahnya, membuat Dul membayangkan akan segagah apa ia dengan seragam marching band.
Sore sebelumnya, Dul menyambut sebungkus nugget bermerek terkenal yang dibelikan ibunya dari mini market. Terbayang dengan kemewahan yang didapatnya sebagai bekal pentas seni, hati Dul yang bersedih karena ibunya tak bisa turut serta sedikit terhibur.
Esok pagi, Dul menumpukan harapannya pada Mbah Lanang sebagai pendamping berangkat ke pentas seni. Dan malam itu, ia duduk di depan televisi sambil kembali membuka tasnya. Mengeluarkan seragam marching band yang terbungkus plastik dan memandanginya beberapa lama.
Lalu, kepalanya menoleh ke pintu. Teringat akan Mbah Lanang yang pergi ke warung usai magrib dan belum kembali meski jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam.
Besok pagi harus bangun lebih cepat.
Nyatanya, malam itu Dul tidur meringkuk sendirian di depan televisi sambil memeluk gulingnya. Mbah Lanang yang biasa menemaninya tidur tak kunjung pulang. Berjam-jam kemudian ia terbangun karena ketukan di pintu depan.
“Dul … Dul …,” seru Mbah Lanang. Ketukan keras berkali-kali itu membuat Dul berdiri terhuyung-huyung membuka pintu.
Mbah Lanang-nya pulang menjelang subuh. “Mbah … udah mau pagi, jangan terlambat bangun, ya. Hari ini aku pentas seni. Ibu udah bilang kemarin.” Dul berkata pelan mengingatkan Mbah Lanang yang tengah mendekap sarung, lalu menepuk-nepuk bantal di dekatnya.
“Iya—iya, enggak lupa. Nanti Mbah anter. Kamu tidur lagi, ini masih gelap.”
Seiring dengan perkataan itu, Mbah Lanang memejamkan mata dan mendengkur dalam hitungan detik. Dul berbaring di kasur tipisnya dengan mata yang tak bisa kembali dipejamkan. Sekarang ia cemas kalau Mbah Lanang tak bisa dibangunkan pagi nanti.
Dul mencoba memejamkan matanya beberapa saat, tapi dengkuran Mbah Lanang tak bisa membuatnya kembali tidur. Ia bangkit dari kasur dan menuju kamar mandi. Dari lubang-lubang di atap seng kamar mandi, Dul melihat langit yang mulai berwarna. Ia memutuskan mandi sebelum Mbah Wedok bangun menyiapkan bekalnya. Bersiap lebih awal pasti lebih baik, pikirnya. Setidaknya ia menghemat waktu Mbah Wedok yang tak perlu membangunkannya.
“Nuggetnya, Mbah goreng enam aja, ya, Dul. Sisanya Mbah simpen untuk makan malam kamu. Nasinya Mbah tambahin,” seru Mbah Wedok saat Dul tengah memakai seragam olahraga TK-nya. Pakaian marching band itu akan dikenakan sesampainya di tempat acara.
“Iya, Mbah,” sahut Dul. Ia selesai berpakaian dan sekarang berdiri memegang tas sambil menatap Mbah Lanang-nya yang masih tertidur nyenyak. “Mbah … bangun. Aku udah mau berangkat. Nanti terlambat,” ucap Dul pelan.
Tak ada sahutan. Mbah Lanang bergeming dengan posisi menelungkup. Dul berjongkok di dekat Mbah Lanang dan mengguncang bahu pria itu. “Mbah, ayo. Aku udah selesai. Ngumpulnya di sekolahan. Udah jam tujuh, Mbah. Nanti kita ketinggalan naik bus. Kata Ibu jangan sampai ketinggalan karena tempat acaranya lumayan jauh. Ibu udah bayar semuanya. Mbah …,” panggil Dul lagi.
Mbah Lanang membuka matanya sedikit. “Ibumu nyuruh-nyuruh aja, kenapa enggak dia yang anter. Sabar, sebentar lagi. Bus enggak akan berangkat kalau ada yang belum dateng,” sahut Mbah Lanang dengan suara tak jelas. Pria itu lalu memindahkan letak kepalanya menghadap ke dinding untuk mengalihkan tatapannya dari Dul yang berjongkok.
“Tasmu mana? Sini, biar Mbah masukin bekalnya.” Mbah Wedok muncul dengan kotak bekal di tangannya dan langsung meraih tas Dul dari tangan bocah itu. “Pak … Pak! Bangun. Anter Dul dulu, baru nanti tidur lagi. Udah mau setengah delapan. Ini udah terlambat!” seru Mbah Wedok.
Tak ada sahutan sama sekali. Entah memang karena nyenyak atau karena malas menyahuti seruan Mbah Wedok, Mbah Lanang tetap berbaring menelungkup tak beranjak sama sekali.
Dul menatap hampa jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Tak ada harapan. Bus yang akan membawa murid-murid TK menuju Taman Wisata; lokasi pentas seni mereka, pasti sudah berangkat.
Mbah Wedok mengomel dengan suara keras tapi tak diindahkan. Mbah Lanang tetap tertidur pulas. Dul merasa semua persiapannya sia-sia dan lututnya lemas. Semua keriuhan di pentas seni yang dibayangkannya dalam beberapa hari terakhir, menguap sudah.
Dul melangkah keluar rumah dengan tas ransel dan kotak bekal di tangannya. Mbah Wedok tak jadi memasukkan kotak bekal ke tasnya karena berteriak-teriak dan mengomeli Mbah Lanang yang sedikit pun tidak peduli.
Apa aku harus berangkat sendiri? Tapi uang yang diberi Ibu ada sama Mbah Wedok. Enggak bisa ….
Batu setinggi dua puluh senti bekas tiang pagar yang ambruk, selalu menjadi pilihan Dul untuk duduk kala telinganya tak mau mendengar pertengkaran di dalam rumah. Suara omelan Mbah Wedok sedikit teredam jika didengar dari luar pagar.
Bagian depan rumah Mbah-nya menghadap tembok tinggi yang berbatasan langsung dengan halaman belakang Polsek yang di dalamnya terdapat beberapa lapangan olahraga yang jarang digunakan. Dul menatap nanar tembok itu beberapa saat lamanya. Kepalanya lalu menunduk menatap kotak bekal yang berada di pangkuan. Hati kecilnya tak henti berharap akan sedikit saja keajaiban pagi itu. Mungkin Tuhan mau menggerakkan hati gurunya untuk datang menjemput, misalnya.
“Kamu, kok, masih di sini? Enggak jadi berangkat? Kenapa?”
Lamunannya dikejutkan oleh suara ibunya yang tiba-tiba berjongkok di sebelahnya.
“Mbah Lanang terlambat bangun pagi. Itu masih dibangunin Mbah Wedok. Dari tadi aku udah siap mandi dan pakai baju. Mbah Lanang pulang hampir pagi dari warung, dibanguni katanya nanti-nanti terus. Aku terlambat, Bu. Teman-temanku pasti udah berangkat naik bus.”
Kepada siapa lagi ia bisa mengadukan semua ganjalan hatinya sejak pagi tadi? Satu jam duduk menunggu di luar tak membuat Mbah Lanang-nya bangun dan mandi. Ingin menangis meraung-raung meminta Mbah Lanang bangun pun, rasanya pasti sia-sia. Hatinya sedih bukan kepalang. Teringat akan teman-temannya yang lain berada di bus dan pasti sedang bernyanyi dalam perjalanan menuju Taman Wisata.
Dan pagi itu Dul melanggar janjinya untuk tidak menjadi anak yang cengeng. Ia menangis terisak-isak seraya memandang kotak bekalnya. Sadar bahwa pagi itu semuanya akan kacau. Ia tak jadi berangkat ke pentas seni, dan ibunya tak akan pergi melamar pekerjaan baru yang gajinya lebih lumayan. Semua karena ia menangis. Karena ia yang tak sanggup menelan kekecewaannya pagi itu.
Pertengkaran Ibu dan kedua mbahnya tak terelakkan lagi. Walau suara semua orang terdengar sangat keras, tapi tetangga sepertinya menganggap itu sebagai hal lumrah yang biasa terjadi. Seorang-dua orang tetangga belakang bahkan lewat tanpa menoleh. Dul semakin menundukkan kepalanya. Kini, ibunya menangis saat adu mulut dengan Mbah Lanang.
Pikirannya sedang mengingat semua lagu di kelas yang biasa ia nyanyikan bersama teman-temannya.
Mungkin sekarang mereka lagi nyanyi ‘Pada Hari Minggu’. Atau mungkin lagu ‘Burung Kakaktua?’ atau lagu ….
Kesibukan Dul mengalihkan pikirannya dari pertengkaran di halaman rumah, teralihkan dengan hal lain yang tak disangkanya. Matanya menatap ban motor yang lebih besar dari ban motor yang biasa ia lihat. Membuatnya berhenti berpikir soal lagu-lagu anak. Tatapannya bergeser menatap kaki terbungkus sepatu bertapak tebal dengan jalinan tali yang lebih rumit dari sepatunya. Pandangan Dul terangkat.
Seorang pria mengendarai sepeda motor besar berwarna merah mengkilap sedang menaikkan kaca helmnya.
Om Bara ….
“Ayo, naik.”
Uluran tangan pertama dari seorang pria asing yang langsung disambut Dul. Sedikit bingung, tapi ia merasa kalau pagi itu Bara akan memecahkan masalahnya.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
dyul
mbah lanang yg gak pantes jadi panutan
2024-08-18
1
☠⏤͟͟͞R🎯™𝐀𝖙𝖎𝖓 𝐖❦︎ᵍᵇ𝐙⃝🦜
Kasian Dul, aduh mbah akung iki yo piye🫢
2024-04-15
0
buretha
gimana Dul g klepek klepek sama om Bara 😅
2024-03-18
1