Uluran tangan pria yang mengajak Dul naik ke atas motor besar keren berwarna merah itu, langsung bersambut. Tanpa diminta dua kali Dul menjejakkan kakinya pada sadel dan duduk di boncengan tinggi menukik. Letak boncengan itu langsung membuat posisinya melorot hingga ke depan. Membuat Dul merasa harus mengakrabkan dirinya pada Bara sesegera mungkin. Tubuh kecilnya menempeli punggung Bara yang berbalut jaket.
Dul baru saja akan menyapa, tapi pria penunggang motor besar berwarna merah itu meletakkan helm berwarna merah jambu di kepalanya dan mengancingkannya dengan erat.
Warna pink? Apa untuk Ibu?
“Jah! Maaf ikut nyela. Khawatir Dul makin terlambat. Acaranya di mana? Aku aja yang anter Dul.”
Dul membulatkan mata di balik punggung Bara. Ibunya pasti segera menoleh ke belakang dan melihatnya sudah duduk di motor seorang pria yang bukan siapa-siapa mereka. Bisa jadi ibunya akan marah dan memintanya turun. Dul memegangi kedua sisi jaket Bara agar ibunya bisa melihat kalau ia sudah siap untuk berangkat.
Reaksi ibunya ternyata di luar dugaan. Baru kali itu ia melihat ibunya tak bisa berkata-kata. Antara kasihan melihat wajah ibunya berantakan karena menangis, tapi juga senang melihat ibunya pasrah.
“Udah?” Bara menoleh ke belakang untuk melihat Dul. “Di mana acaranya?”
“Di Taman Wisata, Om.”
“Ya, udah, kita langsung ke sana. Jah, kamu pergi ke kantor itu sendiri, ya …. Permisi, Pak ….”
Oh, ternyata memang mau nganter Ibu. Udah tau nama Ibu juga.
Dul mengencangkan pegangannya pada pinggang Bara, lalu sepeda motor itu pun melaju meninggalkan Ibu dan Mbah Lanang yang masih terbengong-bengong. Helm merah jambu yang dikenakannya sangat longgar. Berkali-kali turun sampai menutup seluruh wajahnya. Namun, Dul tak sempat mengkhawatirkan letak helmnya. Ia tengah asyik menikmati rasanya dibonceng dengan sepeda motor keren.
Di beberapa lampu merah yang mereka lewati, Bara sempat membuka kaca helmnya untuk melihat spion dan bertanya pada Dul apa ia baik-baik saja. Dul tersenyum lebar membalas tatapan Bara dari spion.
Kesenangan Dul hari itu semakin berlipat saat menyadari kalau Bara ternyata tak hanya sekedar mengantarkannya saja. Pria itu meninggalkan motornya di parkiran dan bersamanya menyusuri lautan kanak-kanak untuk mencari di mana rombongan sekolahnya. Di satu bahunya tersampir ransel hitam yang cukup besar, di tangan itu pula tergenggam kotak bekalnya yang berisi nugget.
Dul merasa tangannya terus diseret mendekati lokasi acara. Sesekali langkah mereka terhenti karena pria itu membaca tulisan di punggung seragam olahraga anak-anak seumurannya yang kebetulan melintas di dekat mereka. Dul mendongak menatap pria asing kenalan ibunya itu.
Badannya tinggi … nampak kuat. Gayanya benar-benar keren. Semoga nanti ada yang nanya siapa Om ini. Aku mau pamer ….
Belum apa-apa seorang teman Dul sudah membuat cuping hidungnya mengembang dengan menyangka Bara adalah ayahnya. Bara tak menjawab karena sibuk memakaikannya seragam marching band. Pria yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan ia dan ibunya itu, mau bersibuk-sibuk di tengah kehebohan acara TK pagi itu.
Tak bisa ia lupakan bagaimana kebanyakan ibu teman-temannya memandang Bara pagi itu. Tak hanya karena pria itu memang ganteng. Tapi juga saat itu Bara-lah satu-satunya pria yang berada dis ana, selain dua orang pria pegawai TK yang mengurus barang-barang.
“Mas ayahnya Dul, ya?” Ternyata seorang ibu temannya tak sanggup penasaran lebih lama.
“Iya, Mbak ….”
Jawaban Bara membuat kebahagiaan semakin membuncah di hati Dul. Tingkat kepercayaan dirinya seketika melesat. “Yah, aku baris dulu, ya ….”
Entah kenapa ia tak takut mengatakan hal itu. Bara yang terlihat santai membuatnya semakin nyaman. Seakan pria itu terbiasa menghadapi hal-hal yang sedang terjadi di sekeliling mereka saat itu. Dan saat meninggalkan Bara dikelilingi oleh ibu-ibu temannya, Dul tahu bahwa pria itu pasti akan mendapat serbuan pertanyaan.
Karena selama ini Dul juga memperhatikan bagaimana ibu-ibu temannya itu sangat penasaran dengan ibunya yang jarang mau berbicara atau ikut bergabung untuk mengobrol saat menunggu jam sekolah berakhir.
“Pssst … Dul! Itu ayahmu?” tanya seorang teman yang masih membutuhkan jawaban. Musik pembukaan sudah mengalun dan sebentar lagi mereka akan memasuki lapangan dan memainkan alat musik masing-masing.
Dul tak menjawab. Hanya tersenyum lebar membalas pertanyaan temannya. Ia tak ingin berbohong. Andai selesai acara nanti Bara tak mengatakan hal yang sama, ia tak sanggup menahan malu dan ejekan.
“Liat itu! Ayahmu motret. Kameranya gede banget. Pasti mahal,” bisik temannya.
Lagi-lagi Dul hanya tersenyum lebar. Memandang ke tepi lapangan di mana seorang pria keren yang memboncengnya tadi, kini tampak semakin keren.
Kata Ibu, Om Bara itu wartawan. Ternyata wartawan juga keren. Apa aku harus jadi wartawan?
Dua lagu daerah dan satu lagi wajib nasional telah mereka mainkan di tengah lapangan. Keringat mulai menjalari punggungnya dan drum berukuran kecil yang tersangkut di pundak mulai terasa memberatkan. Untungnya, waktu pertunjukan telah berakhir. Dul tak sabar untuk segera pergi dari tempat itu dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan Bara.
Bekal makanan telah habis disantapnya. Bara yang ditawarinya berbagi ternyata menolak dengan alasan kenyang. Tak heran memang. Seorang ibu muda terlihat tak henti-henti menawari pria itu makanan. Dalam hati, Dul sedikit merasa cemburu. Andai ibunya bisa ikut pagi itu, mungkin sandiwara soal keluarga itu akan terasa lebih meyakinkan.
“Kamu mau beli apa?” tanya Bara saat membantu Dul melepaskan seragam marching band-nya. Dul menatap sekelilingnya sekilas, lalu kembali menunduk melihat tangan Bara yang cekatan memakaikannya kembali baju olahraga. “Kamu laper?”
"Enggak, aku udah habiskan bekalku. Habis sampai enggak bersisa. Kata ibu nggak boleh buang-buang makanan."
“Atau mau beli mainan?”
Dul paham Bara bertanya hal seperti itu karena hampir semua temannya kini pergi mendekati macam-macam pedagang sambil digandeng ibu mereka masing-masing. Mungkin pria itu ingin menghiburnya, pikir Dul.
“Aku enggak ada uang. Uang yang dikasi ibu kemarin masih sama Mbah Wedok. Harusnya dibawakan Mbah Lanang tadi," jawab Dul.
"Om cuma tanya kamu mau jajan nggak? Bukan uangnya."
"Memang boleh?"
"Ya, bolehlah."
"Om ada uang?"
"Banyak," sahut Bara.
"Kalau gitu aku mau keong kelomang," ujar Dul.
"Di mana?"
"Itu!" Dul menunjuk salah satu hal yang paling menarik perhatiannya sejak tadi
"Oke, kita beli itu."
Sepuluh menit kemudian, sebuah rumah-rumahan kecil berisi dua ekor kelomang telah berada di tangannya. Dul memandang harta yang baru didapatnya dengan wajah sangat puas.
Tak hanya sampai di situ kesenangan yang didapat Dul. Saat tiba di seberang gang rumahnya, Bara kembali mampir di mini market seberang dan membekali dengan seplastik penuh jajanan.
“Ya, udah. Kamu bisa masuk.”
Bara terlihat santai menghentikan sepeda motornya di depan pagar kayu. Wajah Dul terlihat ragu-ragu.
“Ada yang mau dibilang?” tanya Bara.
“Mmmm … temenku tadi bilang Om keren.”
“Makasih.” Bara tersenyum dari balik helmnya.
“Kameranya mahal, ya?” tanya Dul.
Bara mengangguk. “Kamera spesial untuk para wartawan dan profesional di dunia fotografi. Atau juga buat amatir yang hobinya motret. Kenapa? Kamu mau jadi wartawan?” tanya Bara.
Dul menggeleng. “Enggak bisa lagi.”
“Kenapa?”
“Aku udah punya cita-cita lain,” jawab Dul.
“Apa memangnya?” Bara menunduk dan melipat tangannya di stang motor.
“Jadi pilot.”
“Keren!” Bara mengacungkan jempol. “Alasannya? Karena pilot keren?”
Dul menggeleng. “Aku mau bawa Ibu pergi jauh dari sini. Kalau aku jadi pilot, Ibu enggak perlu bayar naik pesawatku.”
Dul merasa tangan kokoh itu mengusap kepalanya. “Kamu pasti bisa jadi pilot dan bawa ibumu ke tempat yang dia suka.”
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
Siti Aisyah
bener Dulu bw ibu mu kemana aja dan beri dia kebahagiaan
2024-10-20
1
𝕭'𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄
ahhhh 😭😭😭
2024-09-30
0
fitriani
sejatinya anak2 itu akan taw siapa yg tulus k dy....
2024-08-20
0