Dul tak banyak bicara lagi. Setelah berpisah dengan ibunya di depan rumah, ia merapikan semua perlengkapan belajarnya dan pergi menyandang handuk ke kamar mandi. Ibunya duduk di depan laci kontainer mengeluarkan pakaian.
Baru saja pintu kamar mandi tertutup, suara Mbah Lanang terdengar dari halaman belakang. Sangat keras hingga menyerupai teriakan.
“Aku udah bilang enggak ikut-ikutan. Aku udah larang Dijah. Aku bakal bayar hutangku. Kamu udah celakai pacarnya yang naik motor merah itu. Sekarang pacar Dijah enggak datang ke sini lagi. Dul juga enggak ada ketemu-ketemu sama laki-laki itu. Kamu mau apa lagi?”
“Jangan ngomong teriak-teriak! Aku juga bisa! Anak sama Bapak sama enggak tau diuntungnya! Melarat dan enggak tau diri. Dijah itu disuruh ngaca. Siapa yang mau sama dia bener-bener? Kalau dia enggak melacur sama laki-laki itu, mana mungkin laki-laki itu mau ngasi apa-apa ke dia. Sok-sokan pura-pura baik ke Dul. Itu masih aku kasi peringatan. Kalau masih terus deketin anakku, aku bunuh dia. Sekarang udah babak belur, aku mau tau nyalinya segede apa.”
Dul berdiri mematung di kamar mandi. Tak salah lagi. Itu adalah suara Bapak dan Mbah Lanang yang sedang berdebat di halaman belakang. Keduanya membahas ibunya dan Bara.
Udah babak belur? Apa Om Bara babak belur makanya enggak dateng-dateng? Makanya Ibu semurung itu? Semua karena Bapak?
Dul mempercepat mandinya. Ia merasa harus membuktikan omongan yang barusan ia dengar. Ia harus ke Polsek untuk mencari Bara. Lalu, ia melangkah keluar kamar mandi dan mendapati ibunya berdiri merapatkan tubuh di ruang tamu dengan telunjuk berada di bibir.
Dul mengangguk tanda mengerti bahwa ia tak boleh bersuara. Bapaknya sedang berada di belakang dan tak mengetahui kalau ibunya sedang berada di sana. Wajah murung ibunya kini berganti dengan raut wajah siaga. Wanita yang melahirkannya itu persis seperti seorang buronan.
Ibunya memakaikan pakaian dan menyisir rambutnya dalam diam. Mustahil kalau ibunya tak tahu kalau ia mendengar semua perkataan bapaknya. Setelah mendengar perdebatan Mbah Lanang dan bapaknya, wajah ibunya semakin murung.
Sepulang ibunya, ia tak sempat lagi melihat di mana Mbah Lanang ataupun Mbah Wedok. Atau juga bapaknya. Dengan rambut yang masih basah dan bedak yang disapukan ibunya, Dul setengah berlari keluar gang. Tak ada yang boleh tahu kalau ia mencari Bara.
Polsek di mana Bara biasa berada menunggu berita hanya beberapa meter dari mulut gang. Tiba di pekarangan Polsek, kepalanya celingukan. Banyak pria yang usianya tampak sama dengan Bara.
Apa aku perlu ke parkiran motor?
Sedikit ragu langkahnya mendekati segerombolan pria yang duduk di sisi kiri bangunan. Seorang pria yang baru turun dari motor bebek menghampirinya. Setelah menyebutkan nama Bara, beberapa pria menyahuti. Lalu, suara seseorang memberikan penjelasan padanya.
"Bara dari Term.com, bukan? Enggak masuk. Udah lama. Aku di sini gantiin dia.” Pria itu melangkah mendekatinya. “Nyariin Bara kenapa, Dik? Om Bara sibuk liputan di tempat lain. Enggak di sini lagi,” jelas pria itu.
Liputan berarti kerja. Berarti Om Bara udah kerja? Enggak babak belur kayak yang Bapak bilang tadi?
“Enggak ada, ya, Om? Ya, udah. Aku pulang.”
“Ada apa? Ada yang mau disampein? Biar aku telfon Om Bara.” Pria itu menawarkan seraya mengeluarkan ponselnya.
Apa yang mau disampaikannya? Ia juga tak tahu. Bara tak berada di sana lagi, artinya memang pria itu sudah tak ada hubungan dengan ibunya. Bara takut berada di sekitar mereka karena ancaman bapaknya.
Bahu Dul melorot dan wajahnya kini sama lesu dengan ibunya. “Enggak apa-apa, aku cuma kepingin ketemu. Namaku Dul, Om. Kalau Om Bara nanya, bilang namaku Dul."
Selanjutnya, hari-hari ke depan semakin suram. Ibunya datang dan lebih banyak diam. Memberikan uang belanja, membawakan sedikit jajanan, dan pergi setelah membereskan keperluannya. Ibunya jarang berbicara. Senyumnya hilang entah ke mana dan saat itu ia benar-benar merasa kalah. Tak ada harapan.
Tapi … Dul ingin mencoba sekali lagi. Mendatangi Polsek dan mengadu peruntungannya. Siapa tahu Bara sedang ada keperluan ke sana. Siapa tahu Bara menjadikan Polsek sebagai alasan untuk menemuinya di sana. Siapa tahu … Bara rindu ingin bertemu dengannya.
“Om Baranya belum ke sini, masih sibuk. Tapi Om Bara ada titip sesuatu untuk kamu. Ikut Om ke mini market seberang, yuk.”
Selepas Maghrib itu, Dul menemukan pria yang sama. Bara tetap tak ada. Alasannya Bara masih sibuk. Ia percaya Bara masih sibuk. Bara yang baik hati itu tak mungkin menjadikan kata sibuk sebagai alasan untuk menghindarinya. Dul berusaha menghibur dirinya.
“Om Bara enggak mau ketemu aku lagi, ya?” Ia sudah berjalan di sebelah pria itu menuju mini market.
“Mau, kok. Om Bara pesan ke kamu, katanya sabar. Nanti Om Bara pasti dateng nemuin kamu. Sekarang Om Bara masih sibuk.”
Dul tak tahu siapa nama pria teman Bara itu. Tak ada memperkenalkan diri padanya. Tapi ia harus menghargai pria yang telah bersusah-susah membawanya ke mini market dan menyodorkan keranjang belanjaan. Dul tersenyum lebar. Memanfaatkan kesibukan berbelanja jajanan itu untuk mengalihkan pikirannya. Dari pria itu ia tahu kalau Bara menitipkan uang untuk memberinya bekal jajanan untuk seminggu. Meski sebenarnya … bukan itu yang ia inginkan. Ia hanya ingin bertemu dengan Bara.
Dengan dua plastik berisi jajanan di kanan-kiri tangannya, bahunya dituntun menyeberangi jalan menuju gang rumah.
Lalu … malam itu berubah menjadi malam yang membekas seumur hidup dalam ingatannya. Mengakar dan menguatkan alasan bahwa ia membenci bapaknya. Meyakini bahwa ia tak ingin melihat pria itu lagi sampai kapan pun.
Bapaknya tiba-tiba muncul di mulut gang, menghardiknya dengan suara keras dan membuat jantungnya seketika bergemuruh.
“Kamu ngemis, ya? Kamu minta-minta ke orang? Memangnya Ibu kamu yang belagak bisa ngasi kamu makan itu, enggak ngasi kamu jajan?”
“Enggak, kok, Mas. Dul enggak minta. Saya yang mau beliin. Titipan teman saya juga.”
Jelas-jelas Dul melihat pria yang menemaninya ke mini market bicara dengan suara bergetar. Pria itu takut pada bapaknya yang terlihat amat murka. Mereka berdua sama takutnya malam itu.
“Buang itu, buang!”
Teriakan bapaknya sudah memancing sebagian orang untuk berhenti dan melihat. Dul merasa matanya sudah mengembun. Air matanya siap untuk keluar. Ia takut sekali, tapi ia ingin mempertahankan haknya. Itu adalah pemberian Bara dan ia harus mempertahankannya.
“Enggak mau! Ini dari Om Bara. Om Bara yang kasi.” Ia memeluk bungkusan jajanan dengan seluruh tenaga kanak-kanaknya.
Mendengar nama Bara disebut, wajah bapaknya semakin merah padam. “Bara?! Buang itu sekarang!”
Dul tak mendengar apa lagi yang dikatakan teman Bara. Dua bungkusan jajanan yang baru dibeli, dirampas dari tangannya dan dicampakkan ke jalan raya. Dul menangis melihat pemberian Bara yang dianggapnya harta berharga dicampakkan begitu saja. Biskuit, snack kentang goreng, wafer, bahkan cokelat yang harganya terbilang sangat mahal bagi ia dan ibunya dibuang dan dilindas kendaraan yang melintas. Isak Dul semakin keras.
“Ayo, pulang. Mana ibumu? Udah diajarin minta-minta kamu sama dia? Hah?”
Teriakan bapaknya itu belum sempat ia jawab, tapi satu pukulan keras telah mendarat di kepalanya.
PLAKK!
Dul dipukul dengan telapak tangan lebar milik bapaknya. Terbilang kuat karena kepalanya langsung berdenyut. Ia terkejut dan seketika menjerit. Ibunya tak pernah memukulnya. Sekali pun tak pernah.
“Sakit, Pak …. Enggak ada. Ibu enggak pernah nyuruh gitu. Itu jajanan dari Om Bara.” Dul memegangi kepalanya sebagai bentuk pertahanan. Persis seperti yang dilakukan ibunya tiap kali dipukul. Ia meniru yang dilakukan ibunya. Harus bertahan dari tangan kasar pria yang tak pandang bulu itu.
“Bara terus—Bara terus. Ibumu melacur sama laki-laki itu kamu enggak ngerti? Udah dikasi apa aja kamu sama laki-laki itu? Apa?”
Bapaknya semakin murka. Kini telinga Dul dijewer dan diseret masuk ke gang. Sepanjang jalan ia meraung sambil memegangi tangan bapaknya. Mencoba mengendurkan siksaan pria itu pada telinganya.
Ibu … sakit, Bu …. Om Bara …. Aku dipukul kayak Ibu.
Raungannya terdengar sepanjang jalan menuju rumah. Orang-orang di gang melihat keluar karena penasaran. Tapi karena pelaku keributan itu adalah bapaknya, lagi-lagi tetangganya hanya diam. Menganggap semua kekerasan itu adalah konflik keluarga yang tak bisa mereka campuri. Lagipula, bapaknya terlihat sangat menakutkan. Tampilannya seperti preman pasar yang selalu menyumpah-nyumpah.
Di depan pintu rumah, Dul merasa sedikit mendapat bantuan dengan kemunculan Mbah Lanang. Ia hanya mencoba menjelaskan kepada pria itu apa yang sedang terjadi.
“Om Bara baik, dia cuma ngasi aku jajan.” Tangisnya semakin keras. Kembali teringat akan pemberian Bara yang sekarang sudah hancur dilindas kendaraan.
PLAKK!
Dul merasa pandangannya gelap sedetik. Lalu disusul dengan rasa kebas dan bibirnya berdenyut. Telapak tangan besar milik bapaknya kembali mendarat keras di wajahnya. Mencoba menampar mulutnya, tapi ternyata mengenai seluruh bagian wajahnya. Cairan asin keluar dari sela bibirnya. Mulutnya berdarah.
“Aduh, Pak …. Sakit! Sakit …. Ibu …. Ibu …. Sakit ….”
Om Bara …. Aku dipukul. Om Bara … ini sakit ….
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
jumirah slavina
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2025-02-08
1
fitriani
sumpah aku nangis baca bab ini😭😭😭😭😭
2024-08-20
0
Cita
Sampe skrg gue msih gedeg sm s fredoyyyy mati aja sana
2024-01-31
1