Karena keriangan hatinya, tak sadar Dul menggoyang-goyangkan tangan yang berada dalam genggaman ibunya.
“Seneng?” tanya Dijah.
“Seneng. Banyak temen, Bu Guru-nya baik. Sekolahnya bagus,” jawab Dul.
“Ibu seneng kalau kamu seneng,” sahut Dijah.
Dul masih mendongak untuk melihat wajah ibunya. Namun, langkah kakinya ikut terhenti saat ibunya tiba-tiba berhenti. Mereka baru tiba di tepi jalan raya. Matahari sudah mulai galak di atas kepala mereka. Perjalanan jarak pendek yang tak sampai sepuluh menit. Ibunya memutuskan menumpangi angkot agar mereka tiba lebih cepat di rumah.
Dul melihat ke depan. Mencari penyebab perubahan raut wajah ibunya yang seketika begitu sengit.
“Kaget aku di sini?” Suara Fredy terdengar setengah berteriak. Padahal jarak berdirinya dengan Dijah tak terlampau jauh. Sepertinya ia sudah sejak tadi menunggu kedatangan ibu dan anak itu.
Siapa lagi yang bisa membuat wajah ibunya begitu? Ya, bapaknya. Dul takut sekaligus kesal. Apa ibunya akan kembali dipukul seperti malam itu? Ia merasa tangannya sudah berkeringat dalam genggaman ibunya.
Dul melihat Dijah tak menanggapi perkataan Fredy. Langkah kaki Dul sedikit bergeser ke belakang saat Fredy berjalan mendekati mereka.
“Aku mau ngasi uang untuk anakku. Nih, ambil.” Fredy mengulurkan selembar uang kertas berwarna biru.
“Jangan ambil,” kata Dijah, menoleh Dul sekilas, lalu pandangannya berpindah pada Fredy. “Enggak perlu kasih uang. Ambil aja untukmu,” sambungnya lagi.
Dul merasa jantungnya berdebar semakin cepat. Kepalanya menoleh berkeliling melihat ada siapa saja di sekitar mereka. Ia bersiap akan berteriak-teriak kalau ibunya kembali dipukul.
“Kerjaanmu aja enggak jelas, Jah. Tapi Dul kukasih uang, lagakmu kayak enggak perlu aja.”
Wajah bapaknya memerah. Antara pengaruh siang yang panas dan penyebab lain yang tak dimengerti Dul.
“Enggak apa-apa. Enggak usah kasih Dul apa-apa. Aku masih bisa. Kamu cukup enggak ganggu aku dan anakku, itu udah kelegaan luar biasa untukku.”
Dul menguatkan cengkeraman di tangan ibunya. Menjadi lebih khawatir karena keberanian ibunya menjawab. Ia tak apa-apa kalau harus menerima uang bapaknya. Yang penting mereka bisa pergi dari sana saat itu juga.
“Ambil!” sergah Fredy, dengan teriakan tertahan.
“Kamu mau bikin malu anak yang kamu akui jadi anakmu? Ini hari pertamanya sekolah. Ngasi lima puluh ribu aja berisik. Ayo, Dul. Kita pulang.”
“Jangan pergi!” Fredy menarik tas yang dikenakan Dijah. “Ambil ini! Atau nanti aku tampar kamu di depan orang-orang. Enggak malu?” ancam Fredy.
Tak sadar, Dul menarik ibunya dan wanita itu mundur dua langkah karena usahanya itu.
“Udah keseringan. Aku enggak malu lagi. Kamu? Apa enggak malu ngasi lima puluh ribu? Kalau orang tau kamu ngasi anakmu sebulan sekali lima puluh ribu, bakal diketawain kamu. Simpan aja uangmu itu.”
Fredy melepaskan tas yang dipakai Dijah, dan berganti dengan mencengkeram lengan wanita itu. “Kamu sendiri yang bilang kalau uangku uang haram. Kamu berharap dikasih banyak?” tantang Fredy seraya merapatkan mulutnya. Rahangnya sudah berkedut karena emosi.
“Bu …,” panggil Dul. Rasanya ia ingin mengambil uang dari tangan bapaknya dan mengajak ibunya cepat-cepat pergi dari tempat itu. Ia takut sekali ibunya kembali dipukul sampai mengeluarkan darah.
“Enggak apa-apa. Maaf, ya, Dul.” Dijah kembali mengerling Dul, lalu menghempaskan tangan Fredy yang menyentuh lengannya. “Karena itu uang haram … tapi kamu cuma tau ngasi lima puluh ribu. Kalau uang halal, kamu bisa ngasi berapa? Jangan ikuti kami.” Dijah menyeret Dul untuk menyusuri tepi jalan. Menjauhi Fredy yang berteriak memakinya.
“Dasar loonte! Belagu! Sok enggak butuh. Padahal sampai sekarang enggak laku mau kawin lagi. Cari siapa yang mau dengan janda miskin kayak kamu!”
Seruan bapaknya di belakang mereka, membuat Dul kembali menoleh. Teriakan itu mulai menarik perhatian. Bahkan seorang wanita yang baru keluar menuju jalan raya dan membonceng seorang anak yang berseragam sama sepertinya ikut melambatkan motor untuk mencuri dengar.
“Jangan dilihat lagi,” pinta Dijah pada Dul. “Nanti dia semakin mempermalukan kita,” sambungnya lagi.
“Uangnya ambil aja, Bu. Biar Bapak enggak marah,” ucap Dul takut-takut.
“Dul, denger Ibu.” Dijah bicara tanpa menghentikan langkahnya. Suara teriakan Fredy di belakang semakin lama semakin dekat. Pria itu ternyata belum menyerah. "Kamu enggak boleh terima apa pun dari bapakmu. Meski itu bapakmu. Dia enggak pernah menafkahi kamu dengan benar sejak lahir. Dan uangnya—uangnya enggak jelas. Ibu enggak rela kalau demi lima puluh ribu kamu makan uang yang enggak jelas. Ibu masih sanggup buat biayain kamu.”
“Hei, Dijah! Kalian lihat perempuan yang jalan di depan itu? Itu mantan istriku yang sok enggak mau anaknya dibelanjain. Padahal dia juga melacur. Dia itu pelacur. Tapi dia bilang uangku uang haram!”
Fredy mulai menggila dan Dijah menoleh ke belakang untuk melihat pria itu.
“Ayo, Dul, kita naik angkot!” seru Dijah, menaikan tangan pada angkot yang melintas dan mengangkat tubuh Dul untuk naik.
Dul merasa kesadarannya masih berserakan. Belum utuh dan belum sadar sepenuhnya. Beberapa detik yang begitu cepat, ia sudah duduk di bagian belakang angkot dan memandang ke luar dinding kaca. Bapaknya terlihat berteriak-teriak dan mengacungkan tangan pada mereka.
Kapan ia bisa hidup normal seperti anak-anak lain, tanya Dul dalam hati.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
fitriani
emangg bnr2 gila si fredy itu😏😏😏😏
2024-08-20
1
@☠⏤͟͟͞R Atin 🦋𝐙⃝🦜
Sabar ya Dul, semangat kamu harus jadi anak yg kuat yg bisa ngejaga dan nge lindungan ibumu
2024-04-15
0
Kelabu Biru
ada bg... org yg hobi naek kereta merah yg bahkan nanti ada sticker Harta, Tahta, Dijah
2024-01-23
4