Entah kenapa pagi saat akan berangkat ke sekolah tadi, Dul merasa badannya sedikit tak enak. Lesu dan seragamnya terasa gerah di badan.
Di kelas pun ia lebih banyak diam. Mengerjakan apa yang diminta guru, dan menanggapi obrolan teman seadanya saja. Pulang sekolah, Mbah Lanang datang sedikit terlambat. Ia setengah terkantuk duduk di depan kelasnya. Perutnya lapar, tapi ia sedang tak memiliki selera makan. Siang itu ia hanya ingin berbaring dengan ditemani hartanya yang paling berharga di rumah Mbah. Sebuah kipas angin kecil yang dibelikan ibunya.
“Kamu harus makan." Mbah Wedok berjongkok dan mengusap-usap punggungnya. “Badan kamu panas ini, Dul. Makan, baru tidur siang. Ayo, bangun, biar Mbah suapi.”
Bagi Dul, Mbah Wedok itu memang benar-benar manusia rumah. Penghuni rumah sebenarnya. Tahunya hanya mencuci, memasak, membuat kopi untuk Mbah Lanang, dan mengobrol dengan tetangga. Bahan obrolan bersama tetangga pun tak pernah kembali diceritakan Mbah Wedok di rumah. Mbah Wedok seakan tidak memiliki emosi dan keinginan apa pun dalam hidupnya. Pernah sekali waktu Mbah Wedok mengatakan padanya kalau tidak mau pusing memikirkan masalah orang lain. Bisa mengisi perut setiap hari saja Mbah Wedok sudah senang.
Mbah Wedok memberi Dul makan untuk hidup. Tanpa peduli arti kehidupan itu sendiri buat cucunya. Walau begitu, Dul menyayangi mbahnya. Dul sekarang tahu kalau Mbah Wedok tak pernah membela ibunya di depan Mbah Lanang, karena takut dengan suaminya itu. Atau jika ada perumpamaan lain yang bisa ditemukan oleh Dul adalah … Mbah Wedok lebih menyayangi Mbah Lanang ketimbang ibunya.
Hampir pukul satu siang Mbah Wedok selesai menyuapi Dul dengan nasi, telur ceplok dan sayur bening. Dul menenggak habis secangkir teh hangat sebagai penyerta makan siangnya itu. Tanpa meminum obat, teh hangat itu seperti mengurangi sedikit panas di tubuhnya melalui keringat.
“Aku tidur lagi, ya, Mbah.” Dul kembali memegang guling kempesnya dengan dahi dipenuhi keringat. Mbah Wedok mengangguk dan pergi ke belakang dengan piring kotor di tangan.
Tak tahu berapa lama ia tertidur. Dul kembali membuka mata saat suara ibunya memanggil. Untungnya pintu sedang tak terkunci. Ia tak perlu berdiri dan menggerakkan tulang-tulangnya yang terasa ngilu. Ibunya muncul di ambang pintu dengan seragamnya yang biasa. Sepasang sepatu karet, jeans dan kaus oblong, tak ketinggalan sebuah tas kanvas yang tersampir di bahu.
“Kamu sakit, ya? Jam segini tumben enggak main di luar?” Dijah meletakkan punggung tangannya di dahi Dul.
Khawatir kalau ibunya langsung pergi setelah memberikan uang belanja pada Mbah Wedok, Dul mengait jari ke jari ibunya. “Ibu mau langsung pergi? Enggak mau temani aku nonton TV? Aku enggak ada temen,” ujar Dul.
“Enggak langsung pergi kok, ibu bakal temani kamu nonton. Bapakmu ada dateng? Enggak ada, kan?”
Dul melihat raut kekhawatiran di wajah manis ibunya. Dan ia baru saja akan menggeleng saat suara yang sangat mereka benci, terdengar dari luar.
“Dul, ngapain kamu?”
Suara bapaknya pasti terdengar ke seluruh penjuru rumah tetangga. Ia berpandangan dengan ibunya. Pintu tidak terkunci dan hal yang ditakutkannya kembali tersuguh di depan mata.
“Oh, ibunya yang pelacur lagi di sini. Ngapain kamu datang?”
Wajah bapaknya memerah. Matanya menatap nyalang pada sang ibu. Tubuhnya terasa semakin lemas. Baru saja berpikir mau berbaring sambil memeluk ibunya. Tapi Tuhan belum mau mengabulkannya saat itu.
“Dasar anjing! Enak aja kamu ngatain aku pelacur di depan anakku. Kayak hidupmu udah bener aja.”
“Ibu …,” rintih Dul, menyandarkan punggungnya ke dinding. Pintu rumah terbuka lebar dan orang tuanya kembali terlibat pergumulan di depan matanya.
“Kunci dari dalam, Dul. Ibu mau pergi dulu. Hari ini Ibu enggak bisa nemenin kamu nonton film. Dikunci, ya. Nanti Ibu dateng lagi.”
Belum sempat mengatakan tubuhnya sakit di bagian mana. Belum sempat bertanya kapan ia dibelikan sepatu baru. Ibunya sudah pergi. Tak sanggup melihat bagaimana rupa ibunya nanti, Dul menutup pintu dan duduk di lantai menyandarinya.
Tak ada seorang pun yang bisa melindungi ibunya. Mbah Lanang, Mbah Wedok, pakdhe-pakdhenya, apalagi ia sendiri. Bocah kecil bertubuh kurus yang katanya sering sakit semasa bayi. Dul kembali menangisi ibunya di balik pintu. Kondisinya yang sedang demam, membuat suasana hatinya semakin kacau. Dul menunduk dan sesegukan.
*Ibu perlu seorang pelindung yang pemberani ... yang badannya kuat. Pelindung yang sayang Ibu dan juga ... enggak benci sama aku. *
Biasanya setiap kali habis dipukul atau ribut dengan bapaknya, ibunya seperti sengaja menghilang. Biasa akan kembali datang setelah bekas lukanya hilang, ataupun samar. Tapi kali itu tidak. Karena keesokan sore, ibunya muncul di gang saat ia tengah terpojok karena keributan kecil.
Dul bermain kartu gambar dengan tiga anak dari gang rumah mbahnya dan dua anak lain dari gang sebelah. Di antara semua anak, Dul berusia paling muda. Juga … paling sulit hidupnya. Salah seorang anak di gang itu membawa sepaket ayam goreng di dalam kotak. Tergeletak begitu saja di bangku sejak tadi.
Lebih dari sejam bermain, si pemilik ayam goreng terkejut karena kehilangan makanannya. Tak ada siapa pun di sana selain mereka.
“Yang berdiri dekat kotak ini cuma kamu. Kita dari tadi keluar-masuk rumah. Cuma kamu yang dari awal enggak ke mana-mana."
"Aku enggak ambil.” Dul membela diri.
“Pasti kamu. Kamu enggak pernah makan ayam goreng bermerek. Ibumu enggak sanggup belinya.” Si pemilik ayam goreng mulai menyakiti hati Dul dengan perkataannya.
Dul hampir saja menangis karena amarah. Ingin menerjang anak yang bertubuh lebih besar darinya dan memberi pelajaran. Tapi teringat bagaimana wajah ibunya yang pasti akan marah karena terlalu mendengarkan omongan orang, ia hanya bisa membela diri dengan kata-kata.
Sore itu ibunya hadir bagai seorang pahlawan. Memercayai semua perkataan dan membelanya di depan anak-anak bermulut kasar itu. Sedikit malu karena akhirnya mengerti kenapa ibunya tak mengizinkan main di luar terlalu lama.
Percakapan sore yang membekas dalam ingatan Dul sepanjang hidupnya ke depan. Dul yang menganggap bahwa seluruh penilaian sang ibu pada dirinya adalah hal yang paling penting.
“Ibu percaya aku?” Dul menatap ibunya dengan air mata yang sejak tadi ditahannya.
“Ibu percaya. Kenapa Ibu harus enggak percaya? Dul anak Ibu. Ibu harus percaya Dul ketimbang orang lain. Itu makanya Dul harus selalu jujur sama ibu.”
Sampai saat itu, tak ada hal yang dianggapnya begitu berharga di dunia selain kepercayaan sang ibu padanya.
Dul merasa ibunya mengeratkan genggaman tangan mereka. Saat sudah meninggalkan gang dan berbelok ke tepi jalan, ibunya berhenti sejenak untuk mengusap air matanya.
“Udah, jangan nangis. Kan, mau beli ayam goreng ….”
Ibunya tersenyum sekilas, lalu kembali menggandengnya menuju restoran ayam goreng bermerek yang harganya berkali lipat dari ayam goreng di tepi jalan.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
dyul
Nyata.... ada ibu lebih bela suami dari anak, padahal jelas2 suaminya gak berguna.... cth mbah wedok
2024-08-18
2
DozkyCrazy
😭😭😭
2024-06-11
0
𝙵𝚑𝚊𝚗𝚒𝚊 𝚜𝚌𝚘𝚛𝚙𝚒𝚘 🦂
ucapan Dul yg di ucapkan bak mantra,,, terwujud laksana doa yg terkabulkan saat ibunya bertemu Mas Bara🥲🥲
2024-02-04
4