Entah kali ke berapa, Dul kembali menorehkan kenangan tak enak soal ibunya yang terluka. Suatu sore Dijah datang dengan sebungkusan plastik dan menyandang tas kanvas yang biasa dikenakannya. Sebelah matanya terlihat membengkak dan sudut bibirnya kembali terluka.
Suara pagar kayu reyot yang mengayun membuat Dul menoleh ke belakang. Ke arah pintu yang ia belakangi.
“Dul …!”
Seruan familiar itu langsung membuat Dul menghambur ke pintu. “Ya, Bu ….” Ibunya datang tanpa janji sebelumnya. Kalau bukan karena ingin memberikan sesuatu, mungkin ada hal penting yang akan disampaikan ibunya.
“Bu,” ucap Dul di depan pintu. Pemandangan yang tak pernah ingin dilihatnya. “Ibu kenapa?” tanya Dul.
Dijah mengabaikan pertanyaan Dul. “Mbah Lanang mana? Ibu mau minta tolong.”
“Ibu kenapa?” ulang Dul lagi.
“Ini enggak apa-apa, Dul. Enggak apa-apa. Ibu tanya ke kamu, Mbah Lanang mana?” Dijah duduk bersandar ke dinding dan menyeka peluh di dahinya.
“Mbah ke tetangga belakang. Mbah Wedok juga di sana. Sebentar aku panggil,” kata Dul, membuka pintu depan dan memungut sepasang sandalnya lalu masuk kembali ke rumah. Cepat-cepat menuju pintu belakang dan menyeberangi pekarangan sempit menuju pemukiman di sebelah gang rumah mereka. Itu adalah jalan pintas paling cepat.
Walau sedikit sulit meminta Mbah Lanang menggerakkan tubuhnya dari warung, akhirnya pria tua itu mau ikut pulang dengannya meski bersungut-sungut.
“Ada apa lagi, sih? Dulu mau dikasi kehidupan enak enggak mau. Dinikahkan sama anak orang kaya biar hidupnya enak tapi keras kepala. Nyari susah sendiri. Dibilang stres … stres … enggak punya uang kayak gini lebih stres.”
Dul tak mengerti apa yang disampaikan mbahnya. Mbah Wedok yang berjalan di sebelahnya pun tak menyahuti perkataan itu. Apa yang sedang dibicarakan itu ibunya? Siapa yang anak orang kaya? Apa bapaknya? Stres? Apa itu stres?
Dul masuk ke pintu belakang lebih dulu dan mendatangi ibunya. “Itu Mbah udah datang,” ujarnya.
“Pak, beberapa hari ini aku enggak bisa nganter Dul ke sekolah. Aku mau pindah kos. Dia udah tau tempat tinggalku. Dua malam ini dia datang teriak-teriak. Mabuk dan ngelempari pintu kamarku. Tetangga kos pada komplain dan ngomong ke yang punya. Aku malu,” kata Dijah.
“Nganter jam berapa? TK-nya jauh, kan?” tanya Bapak Dijah.
“Buatku enggak jauh, Pak. Masih bisa jalan kaki kalau pagi. Dul juga mau. Tapi kalau Bapak keberatan jalan kaki, kukasi ongkos sehari sepuluh ribu. Buat angkot dan rokok Bapak,” jelas Dijah.
“Udah berapa kali kamu pindah tempat tinggal. Kemarin kamu bilang yang sekarang ini jauh. Fredy enggak bakalan tau di mana. Baru beberapa bulan kamu mau pindah lagi. Bikin capek aja.”
Dul ikut duduk menyandarkan punggung di sebelah ibunya. Menyimak tiap perkataan ibu dan Mbah Lanang. Sedangkan Mbah Wedok baru kembali masuk dengan cucian yang baru diangkat dari jemuran. Sedikit pun Mbah Lanang tidak bertanya soal 'dia' yang datang ke kos-kosan ibunya itu.
“Aku udah enggak permasalahkan kalau Bapak enggak bisa belain aku. Kalau aku harus terus begini aku enggak apa-apa. Bapak dan Ibu pura-pura enggak liat keadaan aku, aku enggak apa-apa. Tapi ini soal Dul … aku cuma minta tolong anterin dan jemput dia beberapa hari. Aku mau pindahan. Nanti tak kasi uang, Pak.”
Dul menelan ludah dan menunduk. Dari sudut matanya ia melihat kalau ibunya menyeka keringat dengan lengan kaos oblongnya. Kaki ibunya menekuk di depan dada. Sekilas terlihat ibunya setengah meringkukkan tubuhnya. Ibunya tampak bagai seorang kanak-kanak yang kalah bertarung dan ingin mengadukan nasib pada orang tuanya. Tapi Mbah Lanang dan Mbah Wedok terlihat biasa saja.
Sungguh … sebenarnya ia tak apa-apa pergi dan pulang sekolah sendirian. Ia tidak takut. Ia sudah hapal jalannya dan berjalan kaki pulang-pergi tak jadi masalah. Ia menatap Mbah Lanang setengah berharap untuk menenangkan hati ibunya.
“Ya, udah. Mulai besok, kan?” tanya Mbah Lanang-nya.
“Iya, mulai besok. Ini aku kasi tiga puluh ribu untuk tiga hari.”
Dul memperhatikan ibunya cepat-cepat membuka tas kanvas dan mengeluarkan dompet kecilnya. Mengulurkan lembaran uang dan segera diambil oleh Mbah Lanang bahkan sebelum tangan ibunya lurus saat menyodorkan.
Usianya sudah lebih dari lima tahun dan ia sudah bersekolah cukup lama. Sebentar lagi dia akan naik ke TK B. Saat itu ia kurang paham kenapa Mbah Lanang tidak mengatakan hal yang diucapkannya sepanjang menuju ke rumah tadi. Setiap adu mulut dengan ibunya, Mbah Lanang seperti kesal tapi juga tidak bisa mengatakan apa pun pada ibunya. Entah apa sebabnya. Ia belum mengerti.
Setelah kesepakatan itu disetujui antara ibunya dan Mbah Lanang, pria itu pun kembali menghilang melalui pintu dapur. Mbah Wedok seperti biasa. Diam bagaikan patung bernyawa. Ibunya duduk di ambang pintu memakai sepatu karetnya.
“Dul, Ibu bukan enggak mau nganter kamu sekolah. Kos-kosan yang akan ibu tempati ini sedikit jauh. Di belakang mal besar yang sering kamu tunjuk tiap kita lewat. Jauh ke sini, tapi lebih dekat ke tempat Mbok Jum. Beberapa hari ini sama Mbah dulu, ya. Kalau Ibu mulung lebih pagi, dapetnya lumayan.”
“Iya, enggak apa-apa,” sahut Dul.
“Kamu belajar yang rajin. Kalau ada PR dikerjain. Masa depan kamu tergantung dari apa yang kamu kerjakan hari ini. Cukup Ibu aja yang begini. Kamu jangan.”
“Iya. Nanti aku kerjakan PR sendiri,” sahut Dul, berharap kalau jawabannya ikut meringankan sang ibu.
Dijah mengusap wajah Dul dengan kedua telapak tangannya. “Kata Mbok Jum, semua tingkah manusia itu tergantung di sini.” Dijah menunjuk dada Dul. Tempat di mana jantung bocah itu berdetak. “Tergantung hatinya. Jadi anak baik demi Ibu, ya, Dul ….”
Dul tak pernah melihat ibunya menangis saat terluka. Bahkan saat dimaki-maki oleh bapaknya pun, ibunya hanya terlihat marah. Bukan sedih. Namun, sore itu ia melihat mata ibunya berkaca-kaca.
“Kapan aku bisa tinggal sama Ibu?”
Tak terasa pertanyaan itu meluncur begitu saja. Sedikit menyesali Dul kembali terdiam. Ia merasa baru saja menambahkan beban baru pada ibunya.
“Secepatnya,” jawab Dijah.
Dul kembali mendongak menatap ibunya. Tak menyangka kalau ibunya akan menjawab dengan hal yang menyenangkan hatinya.
“Secepatnya, Bu?” tanya Dul lagi untuk meyakinkan diri.
“Iya, secepatnya. Perkataan adalah doa, jadi Ibu harus jawab itu sebagai doa Ibu. Doa kita bersama. Sekarang kamu enggak terasa udah mau selesai TK A. Sebentar lagi TK B dan kamu masuk SD. Nanti kalau kamu udah bisa lebih mandiri, kita tinggal sama-sama. Jadi, Ibu enggak terlalu khawatir kalau ninggalin kamu di rumah sendirian. Ngerti?”
Dul mengangguk. “Ngerti, Bu. Secepatnya …,” ucap Dul.
Sore menjelang magrib ia kembali melepaskan ibunya di depan pintu. Wanita yang melahirkannya itu berjalan terburu-buru dengan sebuah tas hitam di bahu dan menjinjing plastik yang kemungkinan besar berisi pakaian.
Ibu yang cantik … Ibu yang malang …
Aku sayang Ibu ….
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
𝐝𝐞𝐰𝐢
😭😭😭😭😭
2024-09-13
1
fitriani
😭😭😭😭😭😭tisu mana....
2024-08-20
0
dyul
😭😭😭
2024-08-18
0