Entah karena barusan dituduh mencuri sepotong ayam goreng. Atau entah karena sempat menangis terisak-isak beberapa saat yang lalu, ia kini masuk ke restoran ayam goreng. Aroma lezat langsung memenuhi hidungnya.
Satu kemewahan lainnya bagi Dul. Duduk dan makan di sebuah restoran ber-AC. Sambil melihat orang yang lalu lalang dari balik dinding kaca. Tapi sayang, seringnya dialah yang menjadi orang yang lalu lalang di luar.
“Mau mainan yang mana?”
Suara ibunya membuat mulut Dul yang tadi sedikit ternganga kembali mengatup. Sejak tadi ia mendongak menatap papan menu. Membaca semuanya satu persatu dengan teliti. Tulisan yang kadang sulit diucapkan, membuatnya harus mengulang-ulang di dalam kepala.
“Yang itu, Bu!” seru Dul, menunjuk satu dari tiga pilihan yang disodorkan padanya.
Raut wajah Dul berubah kecewa saat mendengar ibunya berkata bahwa paket ayam goreng itu untuk dibawa pulang. Ia ingin duduk di sana sejenak. Menghabiskan ayam goreng paling lezat dari restorannya langsung di bawah sepoi AC yang menyejukkan.
Ibunya sudah menenteng plastik putih. Saat menunduk melihat plastik itu, pandangan Dul terseret ke kaki ibunya. Sepasang kaki ibunya yang terbalut sepatu itu-itu saja. Sedetik kemudian, ia merasa telah menjadi anak paling serakah. Ia tak tahu berapa jam yang telah dihabiskan ibunya untuk memulung sampah yang baru saja ditukarkannya dengan sekotak ayam goreng.
“Mau makan di mana?” tanya ibunya. Pertanyaan itu membuat pikiran Dul barusan menghilang sejenak. Kebahagiaan yang sempat terpendam, kembali menyeruak.
"Duduk di sana aja boleh, Bu? Aku bosan di rumah,” jawab Dul spontan.
Langit sudah gelap. Dul tenggelam dalam kemewahan di hadapannya. Saus tomat dengan merek restoran ayam goreng dan kulit ayam goreng renyah yang dirasanya berbeda dengan yang dijual di tepi jalan. Karena ibunya mengatakan kenyang saat ditawari, Dul melahap makanannya tanpa rasa bersalah.
Di bawah meja, Dul sampai-sampai melepaskan satu sandalnya untuk menggaruk betis yang di gigit nyamuk. Kalau restoran itu tidak penuh di bagian dalam, jauh lebih enak duduk di dalam. Dul mengeluh di dalam hati.
“Sepatunya sabar, ya. Ibu cari uang dulu. Nanti kalau uang Ibu banyak, ibu belikan sandal dan baju sekalian. Kamu pokoknya jangan nakal. Nurut apa kata Mbah Wedok. Belajar yang pinter. Kalau kamu pinter nanti, bisa masuk sekolah yang murah. Kamu juga bantu ibu. Ya, Dul?”
Nasehat ibunya ia dengar dengan seksama. Namun, ia tak sempat menoleh untuk melihat wajah ibunya. Dul hanya menyadari kalau pakaian dan sandalnya hari itu pasti benar-benar lusuh, makanya sang ibu mengatakan hal demikian. Ia melirik lengan kaus yang sudah dipakainya bertahun-tahun. Kaus yang sudah kumal dan berlubang di beberapa tempat. Ia tak ada masalah dengan kaus itu. Sebab, kaus itu nyaman dipakai dan dingin saat berada di rumah mbahnya yang panas.
Saat sedang asyik mengunyah, tiba-tiba suara seorang pria mengejutkannya. “Ibunya Dul enggak ikutan makan? Om juga hari ini lagi pengen makan ayam goreng.”
Pasti pria dengan kemeja berkantong dua itu, pikirnya. Tapi kenapa terdengar lebih sopan? Dul sudah memasang wajah cemberut saat mendongak. Ternyata pria yang berbeda. Pria itu berdiri dengan nampan berisi ayam goreng. Dul menegakkan tubuh dan menoleh pada sang ibu. Ibunya terkejut tapi tak memperlihatkan ketidaksukaan.
Dul memandangi pria itu dari atas ke bawah. Jauh lebih ganteng dari pria yang mendatangi ibunya berkali-kali di warung bakso. Lebih tinggi dan gayanya lebih keren.
Dul menunduk dan melihat kaus yang dikenakannya. Bibir kecilnya mengkerut dan berdecak pelan. Saat itu ia menyesal karena menggunakan kaus bututnya. Merasa minder dengan pria ganteng yang baru meletakkan nampan di meja. Juga terselip sedikit kekhawatiran kalau pria itu menganggap ibunya tak becus mengurus dirinya. Pelan-pelan Dul memakai sandal yang tadi dilepaskannya.
“Ayo, makan,” ajak pria itu menyodorkan nampan ke arah ibunya.
“Aku kenyang. Kamu ngapain di sini?”
Perkataan ibunya sedikit membuat hati Dul mencelos. Sepertinya setelah pria yang menyebalkan tempo hari, ibunya semakin ketus terhadap orang asing. Ibunya tidak tersenyum. Raut wajahnya datar dan jawabannya pendek-pendek. Namun, sorot mata ibunya tak bisa berbohong. Pria di depan mereka memang benar menarik perhatian.
“Dul, ibu kamu enggak mau makan. Padahal Om udah beli banyak biar bisa makan bareng-bareng. Kamu bilangin, dong, ke ibu kamu.”
Dul memandang wajah ibunya beberapa detik. Biasanya kalau benar-benar tak suka dengan keberadaan orang lain, ibunya pasti akan segera menyeretnya dari tempat itu. Namun, saat itu ibunya hanya menunduk dan berpura-pura sibuk merapikan kertas nasinya.
“Ibu makan, kita enggak tiap hari bisa makan ini. Mubazir, Bu, kalau enggak dimakan. Ibu sering ngomong gitu.”
Ternyata kali itu ibunya mengikuti tanpa banyak bicara. Ibunya bangkit dan pergi menuju wastafel untuk mencuci tangan. Sedangkan pria di depannya menyodorkan kepalan tangan untuk melakukan ‘tos’ dengannya.
“Tos! Dul pinter,” kata pria itu.
Malam itu, Dul merasa seperti jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pria yang mendatangi mereka. Padahal ia belum mengetahui nama pria itu. Dari percakapan di meja, ia mendengar bahwa pria itu datang dari Polsek sebelah. Apa pria itu polisi?
“Bu, Om tadi siapa?” tanya Dul saat Dijah menggandeng tangannya masuk ke dalam gang.
“Namanya Bara. Kamu panggilnya Om Bara,” jawab Dijah.
“Polisi? Tadi katanya di Polsek,” balas Dul lagi.
“Ternyata nyimak omongan orang tua.” Dijah tertawa kecil. “Bukan polisi, tapi wartawan. Tau wartawan, kan? Itu profesi yang mengumpulkan berita untuk dimasukkan ke koran atau televisi. Atau ke berita yang bisa muncul di handphone canggih. Handphone Ibu enggak bisa,” jelas Dijah, menghentikan langkah di depan rumah orang tuanya.
“Om tadi siapanya Ibu?”
“Bukan siapa-siapa. Kamu enggak perlu khawatir.”
Justru jawaban ibunya itu membuat khawatir. Ia masih berharap bertemu lagi dengan pria bernama Bara itu. Waktu sebentar tadi rasanya kurang memuaskan. Pria itu sangat ceria dan sering tersenyum menatapnya. Ia suka.
“Aku suka Om Bara, Bu.” Dul menggerakkan genggaman tangan mereka.
“Ha? Suka? Kamu baru pertama kali ketemu—“
“Berarti Ibu udah sering ketemu?”
“Enggak juga …. Ya, udah. Masuk sana. Udah malem. Ibu mau langsung pulang,” pinta Dijah, membuka pintu pagar dan membawa Dul masuk.
“Ibu enggak suka?” ulang Dul di depan pintu.
“Suka bagaimana? Om Bara itu orang asing. Kamu enggak usah mikir macem-macem. Cukup punya kamu aja Ibu udah merasa cukup dan bahagia. Enggak usah lagi ada orang-orang asing. Nanti ngomong macem-macem lagi. Bikin naik darah,” sungut Dijah.
Dul membuka pintu rumah dan melangkah masuk. Ia masih berdiri memegangi pintu dan memandang ibunya ke luar. “Aku memang suka Om Bara, Bu.” Dul ingin menegaskan sekali lagi bahwa ia menyukai Bara. Dan berharap ibunya tak akan seketus tadi jika bertemu lain kali dengan pria itu.
“Kamu suka Om Bara kenapa?” tanya Dijah. Sekarang posisi mereka saling menatap dengan celah pintu yang terbuka sedikit.
“Ganteng, gagah, ramah—“
“Masih kecil tapi kayak orang kasmaran aja. Sana masuk. Ibu pulang dulu.”
Dul nyengir lalu menutup pintu. Berharap semoga ada kesempatan lain untuk dipertemukan dengan pria gagah itu.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
Dewi Asmara
mgkin ini yg dirasakan dijah ketika bara ngajak nikah ya,,takut ibunya bara ga setuju karena kemarin ibu temen SMA nya jga gitu ga setuju karena ada si dul,,sabar ya le bocah bagus nnti om bara bakal jd ayah kamu
2024-10-03
2
𝕭'𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄
akhirnya ayah bara muncul 😊
2024-09-30
0
dyul
om bara my super hero.... ya gak dul😍
2024-08-18
0