Dul kurang tahu alasan kenapa pria yang bergelar bapak buatnya tak pernah muncul di siang hari. Jarang sekali. Pernah sekali waktu datang ke rumah dan berteriak-teriak memanggil nama ibunya. Namun, saat itu ibunya sedang tak ada.
Bapaknya terus berteriak seakan tak percaya saat Mbah Wedok mengatakan ibunya tak ada. Setelah Mbah Lanang pulang dari warung dan mengatakan bahwa ibunya tak ada, barulah bapaknya percaya. Dari kejadian itu, Dul menyadari kalau pria bernama bapak itu, lebih percaya perkataan Mbah Lanang-nya.
Beberapa hari belakangan, Dul merasa hari-harinya cukup tenang. Ibunya pun terlihat lebih ceria dan mengatakan kalau dua hari belakangan pendapatannya memulung sampah cukup lumayan.
Dari ibunya, Dul mendengar kalau minggu depan ia sudah bisa masuk sekolah. Dul berhasil mendaftar di saat-saat terakhir. Seragamnya sudah diambil dari sekolah dan ibunya membeli sebuah tas baru untuknya.
“Dul, semuanya udah lengkap. Kecuali sepatu. Kamu masih ada sepatu bagus meski warnanya bukan hitam. Kalau pakai yang itu dulu enggak apa-apa, kan? Ibu udah tanya ke sekolah, katanya enggak apa-apa. Gimana?”
“Enggak apa-apa, Bu. Sepatuku masih bagus. Aku dapet ini aja udah seneng.” Dul membuka-buka tiap kantong tas barunya dan melihat seperangkat alat tulis yang masih berbungkus plastik.
“Nanti kalau sepatunya rusak, ibu langsung belikan yang baru. Ibu lagi ngumpulin uang,” kata Dijah.
“Buat apa?” Dul masih melihat-lihat tasnya.
“Buat pindah kos. Sepertinya laki-laki itu udah tau Ibu tinggal di mana. Dia bisa datang ke sana mempermalukan Ibu.”
Dul langsung mendongak menatap ibunya. “Ibu takut?”
Dijah mengangguk. “Ibu takut karena ada kamu. Kalau Ibu kenapa-napa, nanti kamu enggak ada temennya.”
Saat itu Dul tak menjawab. Namun, ia mengerti. Ketakutannya sama dengan sang ibu. Dul juga takut kalau ditinggalkan ibunya. Di usianya yang menginjak empat setengah tahun, Dul cukup mengerti tentang konsep ‘kenapa-napa’ yang diucapkan ibunya.
Beberapa bulan yang lalu, seorang tetangga mereka meninggal dunia karena kecelakaan motor tunggal. Para tetangga berdatangan dan tetangganya itu tak terlihat lagi. Dul bertanya ke mana tetangganya itu dibawa. Ibunya mengatakan kalau orang yang sudah meninggal akan dimasukkan ke dalam tanah.
Lalu ibunya memberi nasehat. “Itu kenapa setiap kamu keluar rumah kelamaan Ibu enggak suka. Itu karena Ibu khawatir kamu kenapa-napa. Rasanya di dunia ini Ibu cuma punya kamu Dul. Kalau kamu enggak ada, buat siapa lagi Ibu hidup.”
Sejak itulah Dul mengerti soal makna seseorang yang meninggalkan dunia. Ia harus mendengar semua perkataan ibunya. Tak mau kenapa-napa. Tetap mau menjadi alasan ibunya hidup di dunia.
Dari perlengkapan menulisnya, Dul beralih ke sebuah tempat bekal. “Nanti diisi apa, Bu?” Dul mengangkat tempat bekal merah bergambar tokoh kartun kesayangannya. Ultraman.
“Hari pertama ke sekolah Ibu masakin yang enak. Nasi goreng telur.” Dijah kembali tersenyum menatap anaknya. “Kemarin Ibu masakin nasi goreng buat Mbok Jum yang sakit. Katanya enak. Padahal enggak ada isinya. Cuma telur,” sambung Dijah.
“Nasi goreng telur bikin Ibu memang enak. Mbok Jum bener,” ucap Dul.
Salah satu nama yang paling sering disebut ibunya. Mbok Jum. Wanita tua yang ditemui ibunya di lokasi pembuangan sampah. Samar-samar dalam ingatannya, Dul pernah mendengar ibunya mengatakan Mbok Jum yang mengajarinya memulung sampah yang bisa kembali dijual. Mbok Jum juga yang pernah memberi ibunya uang saat terdesak tak punya uang untuk mengisi perut esok hari.
"Mbok Jum ngasi Ibu uang, Dul. Bukan pinjem. Kadang-kadang orang enggak punya itu memang bisa lebih royal dari orang kaya. Royal karena udah sering tau rasanya enggak punya duit itu gimana. Ternyata masih bisa hidup."
Selanjutnya, Dul memasukkan nama Mbok Jum ke dalam daftar orang-orang yang disukai ibunya.
Dan sore itu, Dul kembali melepas ibunya di depan pintu. Hati kanak-kanaknya berharap kalau seminggu ke depan datang bagaikan kilat. Ia ingin segera masuk ke sekolah dan berkenalan dengan teman-teman baru.
Dul tak tahu pukul berapa ibunya tiba di rumah. Senin pagi dia terbangun karena mendengar suara sutil beradu dengan wajan disertai aroma semerbak bawang yang ditumiskan.
Pandangannya usai mengucek mata pun menjadi terang benderang saat melihat seragam TK-nya dicantolkan di pegangan pintu menuju dapur. Dul bangkit dan mendatangi seragamnya.
“Masih anget dan wangi. Baru diseterika Ibu,” gumamnya.
Padahal dia belum melihat ibunya berada di sana. Tapi siapa lagi yang mau repot-repot menyemprotkan pewangi saat menyetrika selain ibunya.
“Bu,” panggil Dul dari ambang pintu.
Dijah menoleh. “Eh, udah bangun. Ayo, mandi sekarang. Kita harus berangkat lebih awal. Hari pertama, kita harus cari kelas kamu di mana,” ujar Dijah.
Dul berjinjit mengambil handuk dari paku di dinding luar kamar mandi. Sekali kibas saja, handuk itu jatuh ke wajahnya. Lima menit di kamar mandi, ibunya masuk membantunya sikat gigi. Mengarahkan harus ke bagian mana dia menyikat lebih dulu. Ibunya juga mengajarkan mencuci muka dengan sabun mandi yang diberi sedikit air dan digosok sampai berbusa. Tutorial mandi yang pertama kali ia peroleh dan tertanam di benaknya hingga dewasa.
“Di rumah enggak ada orang. Apa ditinggal aja?” tanya Dul saat menyadari kedua mbahnya belum ada yang terlihat.
“Ditinggal aja. Pintunya enggak usah dikunci. Siapa yang mau masuk dan nyolong? Rumahnya enggak ada apa-apa. Kalau televisi ini dicolong, enggak bisa dijual. Bisanya dipakai. Itu juga mesti digebuk dulu baru nyala.” Dijah tertawa kecil dengan lelucon yang jika didengar orang lain malah bisa membuat orang meringis.
Dul tersenyum mendengar banyolan khas ibunya yang selalu tajam di telinga orang lain. Ibunya lalu menutup kotak bekal berisi nasi goreng telur berwarna kekuningan yang menggugah selera.
“Sarapan roti dulu, Dul. Ibu beli dari tukang roti yang biasa lewat di kos-kosan. Nasi gorengnya untuk jam istirahat di sekolah."
"Roti apa, Bu?"
"Roti manis, kayak Ibu.”
Dul mengambil roti seraya mengulum senyumnya. Suasana hati ibunya yang sangat baik, ikut membawa ketenangan baginya. Hari pertama sekolah itu pasti menyenangkan.
Ia menghabiskan setengah gelas teh manis hangat dan sebuah roti tawar yang dicelupkanya ke dalam teh.
Gambaran sekolah taman kanak-kanak yang baru ia masuki, memenuhi seluruh ekspektasinya. Halaman yang luas dengan berbagai alat untuk bermain. Dinding warna-warni dan bangku serta meja kecil untuk masing-masing murid. Juga rak-rak yang terletak sejajar papan tulis tempat para murid menyimpan buku pelajaran yang tak dibawa pulang. Semua hal itu turut menambah sesuatu yang dianggapnya sebagai harta miliknya. Kursi dan meja sendiri, rak yang bertuliskan namanya. Dul merasa bangga dan bahagia sekali duduk di dalam kelas itu.
Kalau Ibu lain melambai-lambai dari luar kelas seraya memanggil nama anaknya, beda dengan ibunya. Wanita yang melahirkannya itu hanya berdiri menyandang tas dan menatap ke arahnya dengan raut yang sangat serius. Seolah ibunya sedang memastikan apakah ia menyukai sekolah barunya.
Tak perlu menunggu ibunya bertanya, Dul melambai pada ibunya dan tersenyum lebar. Saat itulah raut ibunya terlihat menggambarkan kelegaan. Ibunya membalas lambaian dan tersenyum. Lalu, dari kejauhan ibunya memberi isyarat dengan menunjuk ke arah pagar.
Dul mengangguk. Ibunya ingin menunggunya di luar. Ya, tentu saja ibunya berbeda dengan ibu-ibu lainnya. Ibunya percaya bahwa ia tak ‘kan menangis atau bertingkah macam-macam di hari pertamanya sekolah.
Hal itu menambah rasa percaya dirinya. Yakin kalau ibunya menganggap bahwa ia adalah anak yang bisa dipercaya dan tidak bertingkah menyebalkan.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
💐Tari Nyonya Sibuea💐
manisss dong,klu nggk ya ayah bara nggk smpe jatuh bngun ngejer ibu na Dul 😁😁
2025-02-13
1
mama lia
bener kata author nih, kadang org yg hdpnya susah yg lebih royal. karna bebuat baik ga hrs nggu jd kaya dulu.
2024-10-29
2
☠ Atin 🍒𝐙⃝🦜
Semoga kamu jadi orang hebat ta Dul
2024-04-13
0