Siapa pun mungkin tak akan lupa suatu cara yang pernah ia lakukan dalam mendapatkan kebahagiaannya. Terlebih ketika cara itu terbilang cukup sulit dijalani di usia yang harusnya masih terbebas dari kekhawatiran.
Malam sebelum liburan ke puncak, Dul mencoba tidur lebih awal. Mencoba memejamkan matanya dan mengingat-ingat soal apa yang akan terjadi esok hari. Namun, ternyata kebahagiaan yang tersusun di benak sejak beberapa hari yang lalu, membuatnya lebih sulit tertidur.
Mbah Wedok sudah sejak tadi lelap di kamar. Seperti biasa, Mbah Wedok bisa tertidur lelap setelah habis berdebat dengan Mbah Lanang. Perdebatan yang isinya selalu sama. Kata-kata yang selalu diulang dan tak memiliki efek apa pun untuk mengurungkan niat Mbah Lanang pergi ke warung dan duduk berlama-lama.
Entah pukul berapa, Dul terbangun karena ketukan keras di pintu. Mbah Lanang baru pulang dan langsung tertidur di depan televisi. Kalau sudah begitu, Mbah Lanang tak mau masuk ke kamar agar Mbah Wedok tidak terbangun.
Sepanjang masa-masa kesadaran Dul sebagai seorang bocah, mungkin hal itulah yang ia lihat sebagai wujud kasih sayang Mbah Lanang pada istrinya. Tidak mau mengganggu tidur Mbah Wedok. Meski ada kemungkinan pria tua itu tidak mau masuk ke kamar karena waktu kepulangannya bisa diketahui oleh sang istri.
Dul kembali tertidur dan tersentak saat suara pintu belakang terbuka. Dul duduk dan mengucek mata. Punggung Mbah Wedok terlihat menghilang ke halaman belakang.
Mbah Wedok udah ke warung? Ini jam berapa?
Kepala Dul seketika mendongak melihat jam dinding di belakang televisi. Pukul delapan kurang sedikit saja. Kepalanya celingukan melihat sekeliling. Pintu depan masih tertutup dan Mbah Lanang yang dititipi pesan membangunkannya masih tertidur pulas.
Apa mungkin enggak jadi pergi? Apa Ibu udah ngomong ke Mbah Lanang enggak jadi pergi?
Dul melompat berdiri dan menghambur ke kamar mandi. Saking terburu-burunya ia lupa untuk mengambil handuknya di cantolan paku. Jadi atau tidak jadi pergi, setidaknya ia sudah bersiap. Ia mandi dengan harapan ibunya segera datang menjemput.
“Dul …!”
Seluruh wajahnya sedang tertutup sabun saat panggilan ibunya terdengar. Sedikit gelagapan karena ingin segera menjawab, Dul meraba-raba gayung dan menyiram wajah.
“Dul udah selesai?”
“Udah, Bu. Tinggal sikat gigi. Aku belum terlambat, kan? Om Bara belum pergi, kan?” Ia langsung memuntahkan kekhawatirannya sejak tadi.
“Belum. Ya, udah. Enggak apa-apa.”
Jawaban yang didengarnya sangat melegakan. Mereka jadi berangkat ke puncak. Hanya tinggal beberapa kali siraman lagi, ia akan menyelesaikan mandinya.
Dari luar terdengar suara ibunya dan Mbah Lanang kembali berdebat. Awalnya tidak begitu jelas. Namun, lama kelamaan suara ibunya meninggi.
"Kemarin aku didatengi Fredy di warung. Dia nanya siapa laki-laki yang sering sama kamu. Apa itu suamimu atau bukan. Ngamuk-ngamuk di warung katanya jangan sampe bawa-bawa Dul kenal sama laki-laki lain. Aku udah ngasi tau kamu pokoknya.”
Dul meletakkan gayungnya. Sejenak terdiam dan melihat ke paku di dinding. Ternyata ia lupa dengan handuknya. Mbah Lanang kembali memulai perdebatan. Kenapa harus sekarang? Kenapa di saat ia akan pergi bersenang-senang? Kenapa pagi itu terasa lambat sekali berjalan?
"Jadi aku harus kayak mana? Bapak mau aku hidup kayak mana? Sampe mati aku harus takut sama si Fredy itu? Aku enggak takut lagi sama dia. Mati cuma sekali, kok, Pak! Dia juga bakal mati!"
"Kamu kalau tak kasi tau ngelawan aja. Nanti dia ke sini ngamuk-ngamuk mukulin kamu baru tau rasa. Dia dipenjara udah kebal. Dilaporin juga enggak guna.”
"Makanya dia lebih cocok mati! Kalau aku dipukulin sama dia sampe setengah mati, Bapak juga enggak bakal bisa belain aku. Sekarang pake ngancam-ngancam bawa Dul. Dulu aku sempet gila sampe enggak kenal anakku, kalian sodor-sodorin Dul ke aku, biar aku waras lagi. Sekarang dia enggak boleh dibawa ke mana-mana. Mungkin kalau aku mati, baru Bapak juga seneng. Buat Bapak, kan, yang penting bisa duduk di warung main catur sama ngopi. Aku, ya, enggak ada masuk hitungan penting untuk Bapak. Nasibkulah, Pak ... Pak...."
"Mbok, ya, belain aku sekali-sekali. Bapak lain, kok, bisa rela mati untuk anak perempuannya. Aku nggak tau salahku apa dari dulu. Kayaknya aku nggak pernah hidup nyusahin orang. Tapi mau seneng sebentar aja kok ya susah ...."
Ibu nangis—Ibu nangis …. Pasti enggak jadi pergi. Mbah ngomel terus. Om Bara pasti pergi ninggalin kami karena takut sama Mbah Lanang.
Dul keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih basah. Melihat ibunya yang duduk bersandar di dinding luar kamar mandi sambil memegang handuk.
“Ibu, kok, nangis? Kita enggak jadi pergi, ya? Om Bara ninggalin kita karena aku terlambat bangun?” Ia sama sekali tak tahu duduk persoalan saat itu. Wajah Mbah Lanang terlihat menyeramkan. Ibunya juga sudah bersimbah air mata dengan wajah kesal. Ibunya tak menjawab. Hanya menyeka tubuh basahnya cepat-cepat tanpa menoleh lagi pada Mbah Lanang.
Lalu … dari luar pintu terdengar suara yang paling menenangkan pagi itu. “Dul … Om Bara nunggu di luar, ya ….”
Mata Dul terbelalak menatap pintu. “Iya, Om …. Aku lagi siap-siap. Cepet, Bu. Kasian Om Bara kalau kita kelamaan.”
Om Bara takut pada Mbah Lanang? Kayaknya enggak. Om Bara berani jemput aku dan Ibu sampe ke sini. Om Bara memang beda ….
Seperti tak ingin berlama-lama berada di sana, dalam sekejab saja dengan bantuan ibunya Dul sudah berpakaian lengkap. Sejurus kemudian tangannya sudah digandeng keluar pintu.
Bara terlihat memandang wajah ibunya lekat-lekat. “Yuk,” ajak ibunya tanpa sedikit pun memandang Bara.
Bersama ibunya mereka berjalan mendahului langkah Bara meninggalkan gang rumah. Suasana sedikit canggung dan ia sedikit khawatir karena ibunya hanya diam dengan wajah muram. Dul khawatir kalau Bara merasa diabaikan. Tapi ternyata pria itu santai saja. Menuju mobil dan membukakan pintu untuknya lebih dulu. Wajahnya riang dan tak bertanya apa pun pada ibunya. Dengan segenap kesadaran yang ia miliki, saat itu Dul mengerti kalau Bara hanya ingin membuat ibunya nyaman dengan memberikannya waktu.
Mobil Bara dirasanya sangat nyaman. Ukurannya besar dengan kursi-kursi yang besar dan terasa luas untuk tubuh mungilnya. Tak sampai lima menit berada di dalam mobil, penyejuk sudah bekerja maksimal. Dul mencondongkan tubuhnya ke jendela dan melipat tangannya menatap keluar.
Hari itu ia melihat jalanan tanpa peluh di dahi. Tanpa berdesak-desakan di dalam angkutan, juga tanpa dipangku untuk menghemat ongkos. Dari sudut mata ia melirik ibunya bersandar, juga sedang menatap ke luar jendela. Menebak kalau ibunya masih memikirkan soal perkataan Mbah Lanang sebelum pergi tadi. Namun, wajah ibunya sudah jauh lebih tenang.
Dul memundurkan tubuh untuk mendongak dan mencoba melihat Bara dari spion tengah. Pria itu masih sama santainya. Santai, tapi juga sibuk melirik wajah ibunya berkali-kali. Sepertinya ia dan Bara sedang ingin memastikan hal yang sama. Apakah suasana hati ibunya sudah lebih baik sekarang?
“Dingin sejuk,” ucap Dul, menyentuh pipinya dengan telapak tangan. Bara lalu memandangnya dari spion. Mereka beradu pandang dan pria itu mengedipkan mata padanya. Senyum Dul langsung merekah melihat kedipan mata amat bersahabat itu. Saat itu hatinya dipenuhi kebahagiaan dan pikirannya dipenuhi pertanyaan.
Apa bisa selamanya begini?
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
pecinta sukun
dul, kamu keren banget😭
2025-02-01
1
Yunia Spm
bisa Dul... Dul anak baik
2024-06-02
0
☠ Atin 🍒𝐙⃝🦜
Amatan anak anak yg ingin bahagia dengan cara yg sederhana
2024-04-15
0