Jarak rumah dan TK-nya tidak jauh. Tapi Dul menyadari saat ibunya sengaja melewatkan gang rumah mbahnya beberapa meter sebelum meminta supir angkutan berhenti.
“Kita duduk di sana dulu. Minum aja,” kata Dijah.
Dul merasa tak perlu bertanya kenapa ibunya mengajak ke sana. Outlet ayam goreng bermerek tetap terasa sangat mahal walau dengan diskon berlimpah.
“Kita tunggu sebentar di sana. Nanti Ibu anter ke rumah. Ibu malu kalau harus ribut dengan bapakmu siang bolong kayak gini,” ujar Dijah.
“Iya, enggak apa-apa,” jawab Dul.
Tanpa kehadiran bapaknya, hari itu sudah berlalu sangat sempurna bagi Dul. Namun, saat itu mereka malah duduk bagai dua orang buronan. Ibunya memesan segelas minuman paling murah sebagai alasan mereka duduk di sana. Yang sebenarnya minuman itu tak bisa disebut sebagai alasan karena ibunya langsung menyedot isi cangkir kertas hingga setengah.
Setengah jam mereka duduk di kursi terluar outlet ayam goreng, terdengar seseorang memanggil ibunya. Suara seorang pria. Dul ikut menoleh dan tak mengenali siapa pria itu.
“Dijah?” panggil pria itu lagi.
“Sony,” sahut Dijah.
“Sudah lama enggak ketemu.” Pria itu mendekati Dijah dan melirik sekilas pada Dul. “Kegiatan kamu sekarang apa?” tanya Sony, menarik satu kursi di sebelah Dijah dan duduk santai.
“Mmm? Kegiatan? Aku baru pulang jemput nungguin anakku hari pertama sekolah,” jawab Dijah.
Dul duduk diam mengamati pria di seberangnya. Pria itu memakai pakaian rapi berupa seragam setelan berwarna hitam dengan kemeja berkantong kanan kiri tertutup.
“Oh, ini anak kamu. Aku kira keponakan,” ujar Sony lagi. Memandang Dul sebentar lalu kembali memandang Dijah.
“Iya, ini anakku. Dul, ini temen Ibu di SMA. Tapi dulu kita enggak sekelas. Enggak terlalu sering ngobrol,” jelas Dijah pada Dul.
Dul mengangguk seraya menatap ibunya. Mengerti dengan penjelasan sederhana itu tanpa perlu ia tanya siapa pria di depan mereka.
Siang itu, untuk kali pertama ia bertemu dengan pria bernama Sony yang menyapa ibunya. Pertemuan itu bukan pertemuan pertama. Karena sesudahnya, pria itu terlihat beberapa kali mendatangi saat ibunya menungguinya di TK.
Siang yang panas berminggu-minggu kemudian, Dul menyelesaikan pelajarannya pukul sebelas siang. Semua anak-anak menghambur keluar kelas menemui orang tua atau kerabat yang menjemput mereka. Dul melangkah menuju pagar sekolah sendirian. Tahu kalau ibunya pasti menunggu di bangku panjang pedagang bakso.
Dari pagar, ia ingin berseru seperti biasa. Namun, siang itu ia mengurungkan niatnya karena melihat ibunya duduk membelakangi sekolahnya dengan seorang pria yang dikenalinya sebagai Sony.
“Kayaknya aku enggak bisa nerusin pendekatan ke kamu, Jah. Aku udah ngomong ke ibuku, katanya enggak masalah kamu janda. Tapi kalau kamu bawa anak lain ceritanya. Apa enggak bisa anak kamu dititip ke bapaknya aja?”
Suara Sony saat itu terdengar sangat jelas meski diucapkan sangat pelan. Langkah kaki Dul yang ringan membuat ibunya dan pria itu tak menyadari kehadirannya.
Dul merasa jantungnya berdebar. Merasa marah pada perkataan Sony barusan. Kenapa pria asing itu mau mengganggu hidupnya? Kenapa pria itu tak mau menerima keberadaannya? Ia bukan anak bandel. Dan ia yakin makannya hanya menghabiskan uang sedikit. Dul menatap punggung ibunya dengan tatapan cemas. Ia benar-benar khawatir dengan hal yang akan diucapkan ibunya untuk menjawab perkataan pria itu.
“Aku udah bilang dari awal ke kamu. Aku memang enggak ada niat untuk menikah lagi. Kamu deketin aku tanpa aku paksa dan kamu sekarang ngomong kayak gitu? Minta anakku dikasi ke bapaknya aja? Tanpa orang asing selama ini hidupku dan Dul baik-baik aja. Kamu ngomong gitu bukan cuma bikin aku tersinggung, tapi marah. Memangnya kamu udah kenal berapa lama denganku sampai ngomong kayak gitu?”
Dul merasa suara ibunya sudah mulai meninggi. Ia menahan langkah kakinya dan mundur beberapa langkah untuk kembali ke depan pagar sekolahnya.
“Aku ngomong baik-baik kamu, kok, jadinya kasar. Belum jadi apa-apa. Namanya anak yang berbakti aku pasti tanya ibuku,” kata Sony lagi.
“Aku enggak pernah minta kamu tanya ke ibumu. Ya, udah. Anakku udah pulang. Enggak usah dateng-dateng lagi.”
Dul melihat ibunya berdiri dari bangku, ia langsung kembali melanjutkan langkahnya. “Bu!” serunya.
“Kok, lama? Ibu tungguin dari tadi. Ayo, sini. Kita makan bakso dulu,” ajak Dijah, menepuk ruang kosong di bangku panjang.
Dul melihat pria bernama Sony yang belakangan ia tahu bekerja sebagai supir di sebuah kantor menyalakan sepeda motornya dan pergi dari tempat itu. Ibunya tidak terlihat sedih. Wajahnya biasa saja. Malah ibunya terlihat lega dan ceria saat menawarinya bakso. Ia memutuskan tak bertanya soal Sony pada ibunya.
Dul memakan lahap baksonya sambil menjawab pertanyaan Dijah soal pelajaran hari itu. Dalam hati kecilnya, Dul menyadari kalau keberadaannya ternyata bisa menjadi sandungan bagi masa depan ibunya.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
𝕭'𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄
wawww 👍
2024-09-30
1
fitriani
mulutnya sony sialan bgt🤦♀️🤦♀️🤦♀️😡😡😡😡
2024-08-20
0
@☠⏤͟͟͞R Atin 🦋𝐙⃝🦜
Ibarat kata beli satu gratis satu yg gak bisa terpisahkN
2024-04-15
0