“Mau ya? Ibu kamu ngasi nggak kira-kira … kalau kamu Om angkat jadi anak?”
Dul tidak terkejut dengan perkataan Bara padanya. Ia menganggap kalau pria itu hanya berbasa-basi karena perkataannya barusan. Dul sedikit lesu saat menjawab, “Enggak tau ….”
“Kalau gitu Om harus ngangkat ibu kamu lebih dulu.”
Dul tak tahu harus mengatakan apa. Tangannya menggenggam popcorn dan memasukkannya ke mulut dalam ukuran besar. Ia ingin terlihat sibuk beberapa saat. Sedikit bingung dengan apa yang diucapkan Bara padanya.
“Ngangkat Ibu untuk jadi anak Om Bara sekalian?”
“Bukan … harus diangkat jadi istri Om. Baru secara otomatis Dul jadi anak Om. Gimana? Mau?”
“Otomatis itu apa, Om?”
“Otomatis itu langsung. Ibu kamu jadi istri Om, terus … kamu langsung jadi anak Om. Langsung, gimana?”
Penjelasan sederhana itu sangat jelas baginya. Dia akan punya ayah. “Tertarik. Mau,” sahut Dul, mengambil sejumput popcorn dan memasukkannya ke mulut. Ia mengunyah sambil mengangguk-angguk.
Beberapa detik mereka terdiam. Dul sedang berpikir bagaimana tanggapan ibunya jika ia menyampaikan hal yang baru dikatakan Bara. Apa ibunya mau?
Tengah ia melamun, Bara menyodorkan sesuatu ke depannya. Detik berikutnya mata Dul membulat. Tiga lembar fotonya direntang di hadapannya.
Dul setengah berteriak, “Wah … Om Bara …!” Dul meraih lembaran foto itu dan memandangnya dengan mulut ternganga. “Makasi … aku enggak pernah punya foto. Aku harus kasi liat sama Ibu.”
Sekali saja menatap foto itu tak terasa cukup. Dul berkali-kali memandangi rupanya yang tampan dan penampilannya yang gagah dengan seragam marching band dan memainkan drum. Foto itu jauh lebih bagus dari foto milik temannya. Ia merasa sedang dipotret untuk sebuah majalah. Benar-benar foto yang sangat bagus. Baginya, itu pemberian seseorang yang paling berharga untuknya.
Kenangan sore itu tak akan hilang dari benaknya sampai kapan pun. Foto pertama dirinya yang dicetak dan bisa dipajang. Dul memasukannya ke dalam laci kontainer dan akan menunjukkan foto itu kalau ibunya datang.
Dan minggu-minggu ke depan ibunya muncul dengan keadaan yang jauh lebih baik. Wajah lebih ceria dan sepertinya ibunya memiliki uang banyak. Ia diajak berbelanja baju setelan rumah ke pasar. Setelan bermotif tokoh-tokoh kartun seperti yang dikenakan teman-temannya. Berduaan mereka makan siang di pasar dan pulang ke rumah dengan beberapa tentengan.
“Mau beli apa lagi? Jajanan di mini market?”
“Bukan jajanan. Jajananku masih banyak.”
“Jajanan kamu masih banyak? Dari mana?” tanya Dijah.
“Om Bara yang kasi. Kemarin dulu Om Bara dateng bawa berondong jagung trus bawa jajanan banyak banget.”
Sudah telanjur dikatakannya tadi. Sekarang Dul hanya berharap kalau ibunya tak akan marah. Ia diam beberapa saat meneliti wajah ibunya. Raut wanita yang melahirkannya itu tidak dapat ia mengerti. Teringat dengan foto yang diberikan Bara padanya, Dul memamerkannya.
Dul ingat bahwa sepanjang ia dan ibunya pergi ke pasar siang itu, kepalanya terus berpikir bagaimana cara memulai percakapan soal Bara yang mau mengangkatnya menjadi anak. Bukan hanya tak berani, ia juga tak siap dengan reaksi ibunya.
“Kalau Om Bara mau ngangkat Ibu jadi istri, Ibu bilang mau aja, ya …. Aku mau jadi anak Om Bara. Keren, Bu. Temen-temenku kagum. Sekarang mereka mau main sama aku.”
Mereka jadi penasaran dengan ayahku ….
Dan hal yang ditakutkannya pun terjadi. Ibunya hanya diam. Tak ada jawaban kecuali sudut bibir ibunya yang sedikit melengkung. Bukan senyuman. Reaksi ibunya itu sama seperti saat mereka bertanya soal suatu barang di toko. Ketika mendengar harganya jauh di atas kemampuan mereka membeli, ibunya memperlihatkan raut wajah seperti itu.
Beberapa hari ke depan, ibunya hanya datang sekali untuk memberi uang belanja. Katanya sekarang sudah mendapat pekerjaan baru yang gajinya lumayan. Dul bahagia untuk ibunya dan perlahan sudah mulai menerima bahwa mendapatkan Bara sebagai ayahnya tak semudah yang ia kira. Andai ibunya tidak mau menjadi istri Bara pun, ia sudah cukup kalau ibunya merasa bahagia saat itu. Yang penting, ibunya tidak dipukuli lagi. Itu saja sudah cukup.
Karena sepertinya kabar soal pria yang mengendarai sepeda motor besar berwarna merah sudah berakhir seperti kisah pria dengan kemeja dua saku.
“Dul, malam nanti ibumu dateng. Mbah Wedok sedang sakit. Jadi, jangan tidur dulu, ya. Buka pintu untuk ibumu. Ibumu pulang kerjanya malem-malem terus. Enggak ngerti kerja apa,” kata Mbah Lanang.
Dari sederet kalimat yang diucapkan Mbah Lanang, Dul hanya mendengar soal ibunya yang akan datang malam nanti. Sabtu malam. Tak apa kalau ia tidur lebih larut. Ibunya pasti mau menginap di rumah dan tidur bersamanya.
Sore itu Dul membereskan buku-bukunya. Menggulung tikar dan menyapu lantai bersih-bersih. Dul lalu kembali merentangkan tikar di bawah kasur tipis, dan melapisinya dengan selembar kain panjang yang biasa ia pakai sebagai seprai. Dul berdecak puas. Ia sudah siap menyambut kedatangan ibunya beserta dengan segenap keyakinan kalau wanita itu membawa sesuatu untuknya.
“Dul ….”
Dul mungkin sudah sempat tertidur di depan televisi. Suara ibunya terdengar memanggil seraya diiringi dengan ketukan pintu. “Dul … buka, Nak. Ibu bawa martabak.”
Ia tersentak dan bangkit cepat-cepat menuju pintu. Kemudian … kejadian malam itu berubah menjadi mimpi buruknya yang lain.
“Hei! Lonnte! Bawa apa untuk anakmu? Hasil melacur, ya?”
Suara bapaknya yang berteriak di luar membuat tangan Dul langsung bergetar. Di luar pagar kedua orang tuanya sedang adu mulut. Bapaknya tak henti memaki dan mengata-ngatai ibunya. Hatinya terasa sakit sekali.
“Ibu ….”
Benci sekali. Ia benci dengan laki-laki yang selalu datang merusak kebahagiaannya. Malam itu wajah bapaknya memerah dan bajunya berantakan seperti orang yang tak pulang berhari-hari. Ibunya tersudut di tembok. Tangan ibunya menggapai-gapai berusaha meraih wajah bapaknya.
Kegilaan bapaknya semakin parah malam itu. Dan seperti biasa. Ibunya berlagak menjadi manusia paling kuat di dunia. Berkali-kali memintanya masuk dan mengambil martabak di depan pintu. Ia tak peduli lagi dengan martabak itu.
Ibunya dicekik. Wajah ibunya sudah merah padam. Tak ada yang menolong ibunya. Ibunya butuh pertolongan. Dua tetangga mereka sudah menyalakan lampu teras, tapi tak ada seorang pun yang berani keluar. Mereka pasti takut kalau-kalau bapaknya membawa senjata tajam.
“Ibu ….” Air matanya sudah meleleh.
“Pelacur! Murahan! Ayo, kita ke hotel. Aku hajar kamu di sana!”
Ibu dicekik. Aku harus berbuat sesuatu. Apa yang bisa kujadikan senjata untuk menyingkirkan laki-laki itu? Melemparnya dengan batu?
Ibunya dihempaskan hingga nyaris jatuh tersungkur. Isi tasnya berserakan di tanah. Dengan air mata membasahi pipinya, Dul memandang tiap sudut halaman untuk mencari batu besar yang sanggup diangkatnya.
“Arrgghhh ….”
Teriakan ibunya terdengar sangat memilukan. Rambut ibunya ditarik dan tubuhnya setengah diseret paksa.
Aku benci laki-laki itu. Aku enggak mau kalau dia jadi bapakku. Aku enggak mau …. Aku enggak mau jumpa laki-laki itu lagi. Ibu … kita harus cepat-cepat pergi.
“Hei!”
Suara teriakan seorang pria membuat Dul yang tadi menunduk menutup wajahnya langsung mendongak.
“Om Bara ….”
“Siapa yang lo panggil pelacur tadi?”
Dul berdiri mematung di ambang pintu. Betapa ia ingin berterima kasih pada Bara dengan semua cara yang bisa dilakukan oleh anak seusianya.
Satu tendangan lurus sudah bisa membuat laki-laki yang paling dibencinya di dunia ini menjauh dari ibunya. Bolehkah ia memohon pada Bara untuk melenyapkan pria itu untuk mereka?
Sedetik sebelum ibunya menariknya masuk ke dalam rumah, ia sempat menyeringai puas. Bara sudah dua kali memukul mulut yang memaki ibunya dengan sebutan pelacur.
Aku benci laki-laki itu ….
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
𝕭'𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄
mau 👉👈
2024-09-30
1
𝕭'𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄
bahasamu bar bar 🤣
2024-09-30
0
fitriani
bnr2 gila si fredy bnr2 gak ada otak lagi gara2 nyabu mulu... di depan anaknya sendiri bisa2nya ngatain dijah pelacurr dan lontee😡😡😡😡😡
2024-08-20
0