Dul tidak pernah tahu kalau udara puncak bisa sesejuk itu. Sebelumnya ia hanya mendengar dari teman-temannya kalau puncak itu dingin. Dul hanya membayangkan kata dingin itu seperti dinginnya udara malam. Ternyata, dinginnya lebih menusuk lagi.
Ketika makan malam, ibunya memakaikan sebuah jaket di atas kaos yang dikenakannya. Ia dan ibunya berpenampilan sangat rapi seperti mau pergi ke resepsi pernikahan tetangga di lingkungan mereka. Bahkan lebih rapi dari itu.
Ibunya memakai pakaian yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Bara sepertinya memberikan pakaian itu sebagai kado untuk ibunya. Dul tak henti-henti tersenyum. Ia melihat ibunya cantik sekali. Ia pun merasa ganteng sekali dengan pakaian yang baginya sangat mirip dengan Bara.
“Sebentar lagi masuk SD, kan?” tanya Bara usai makan malam. Mereka semua masih berada di restoran yang terletak di lantai teratas hotel. Pertanyaan itu ditujukan untuk Dul.
“Iya, sebentar lagi SD. Aku udah enggak sabar mau tinggal sama Ibu,” sahut Dul, mengayun-ayunkan kakinya di bawah kursi saat menjawab pertanyaan Bara.
“Memangnya tinggal sama Ibu harus nunggu SD? Kok, gitu?” tanya Bara.
“Kata Ibu, kalau udah SD aku pasti lebih mandiri. Ibu bisa pergi kerja dan aku bisa ngurus diri sendiri di rumah. Aku enggak mau tinggal sama Mbah lagi. Pokoknya mau sama Ibu,” tegas Dul. “Ibu udah janji,” sambung Dul, menatap ibunya untuk meminta penegasan yang lebih meyakinkan.
Dul melihat ibunya sejak tadi menunduk sambil mengusap embun air es di gelas jusnya. “Bu …,” panggil Dul. Membuat ibunya tersadar dan mengembalikan tatapan padanya.
"Iya, bener. Kamu bener. Nanti kita tinggal sama-sama,” tegas ibunya.
Dul ingat. Saat itu Bara tak mengatakan apa pun untuk mengomentari jawaban ibunya. Pria itu hanya diam seakan sedang memilih-milih kata yang tepat untuk diucapkan. Namun, akhirnya tetap diam karena mungkin tak menemukan sesuatu yang bagus.
Keesokan paginya mulai pukul sepuluh adalah hari di mana kenangan pertama Dul memasuki sebuah taman bermain terukir dalam ingatannya. Untuk kali pertama dan yang paling indah di benaknya. Berlarian ke sana kemari mencoba semua wahana. Tak ada larangan apa pun dari Bara. Sedangkan ibunya hanya sesekali mengingatkan soal aturan berbeda di tiap wahana.
Ibunya banyak tersenyum, bahkan tertawa kecil. Pemandangan yang amat langka baginya. Andai Mbah Lanang bisa melihat kebahagiaannya saat itu, akankah pria tua itu tetap melarang ibunya bersama Bara?
“Om, bisa lihat fotoku yang tadi?” tanya Dul dengan napas terengah usai turun dari wahana roller coaster khusus anak-anak.
“Bisa—bisa, sebentar ….” Bara mengklik beberapa tombol di kameranya dan menyodorkan layar belakang kamera itu pada Dul.
Wajah Dul sumringah melihat hasil jepretan foto yang dinilainya luar biasa bagus. “Apa foto itu bisa dicetak seperti kemarin?” tanyanya kemudian.
“Bisa, dong …. Pasti Om cetak untuk kamu. Terus harus kamu kasi liat ke temen-temen. Biar mereka tau kamu pergi jalan-jalan,” tukas Bara.
“Pasti akan aku kasi liat semuanya. Bu, akhirnya aku bisa pamer,” cetus Dul, melebarkan senyumnya pada sang ibu. Dan ia mendapat usapan di kepala sebagai jawaban dari ibunya.
“Gimana? Kamu seneng?” tanya Bara, memegang bahu Dul saat berjalan menuju pintu keluar taman bermain.
“Seneng banget. Hari ini adalah hari paling bahagia,” jawab Dul.
Dan hari paling bahagia itu menjadi hari paling diingatnya selama beberapa hari ke depan. Bara seakan lenyap dari muka bumi. Tiap jam Dul menajamkan telinga untuk mendengar suara panggilan yang menyebut namanya dari luar.
Namun, tak ada seorang pun yang memanggil kecuali ibunya yang datang dengan raut lelah dan selalu tergesa-gesa. Bahkan bapaknya yang biasa selalu menjadi orang yang paling mereka hindari pun, tak juga menampakkan hidung. Untuk itu, Dul sedikit lega walau benaknya dipenuhi tanda tanya.
Tak bisa untuk mengingkari hal yang dirasakan hatinya, Dul merasa kehilangan. Ibunya tak pernah lagi datang bersama Bara. Pria itu raib dan ibunya tak pernah menyinggung soal hal itu sedikit pun. Hingga suatu hari ibunya datang untuk mengajaknya pergi berjalan-jalan. Hatinya senang, namun diliputi tanda tanya. Ibunya terlihat berbeda. Lebih muram dan wajahnya kembali terlihat letih. Tak ada binar bahagia yang biasa dilihat Dul tiap ibunya bersama Bara.
Hari terakhir Dul bersekolah di minggu itu, ibunya datang menjemput. Sudah tertanam di benak Dul, tiap ibunya datang menjemput, pasti mereka akan pergi ke suatu tempat. Atau ada suatu hal yang ingin dilakukan ibunya.
“Mau ke mana, Bu?” tanya Dul.
“Ke mal, mau enggak?” Ibunya balik bertanya.
“Mau—mau, makan enak, kan?”
“Memangnya selama ini enggak enak?”
“Enak juga. Tapi aku suka ayam goreng. Mbah enggak pernah masak ayam. Aku bosen makan telur setiap hari.”
“Nanti kita makan ayam goreng.”
Jawaban itu harusnya bisa memuaskan hati Dul. Namun, sesuatu tetap mengganjal hatinya. “Om Bara mana, Bu?” Akhirnya pertanyaan itu bisa ia lontarkan.
“Om Bara sibuk,” jawab ibunya singkat.
Saking singkatnya jawaban itu, Dul langsung mengkeret tak berani menanyakan apa pun lagi. Terlebih mereka sudah berada di angkot. Banyak orang yang akan mendengar percakapan mereka.
Dul masih menunggu hal apa yang sebenarnya ingin ditunjukkan atau bahkan ingin disampaikan oleh ibunya. Mereka masuk ke sebuah outlet ayam goreng dan ibunya memberi satu paket lengkap ayam goreng.
Lalu … perkataan ibunya yang paling ia takutkan pun keluar juga.
“Dul, kalau kita enggak ketemu Om Bara lagi … kamu enggak apa-apa, kan?”
Detik itu, Dul merasa itu bukanlah suatu pertanyaan. Itu pemberitahuan bahwa ibunya dan Bara tak lagi bersama. Pada siapa letak kesalahan itu? Selama ini Bara memperlakukan ia dan ibunya sangat baik. Apa ini yang sering dikatakan Bara padanya? Bahwa ibunya yang lebih sulit didekati? Apa artinya semua ini menjadi salahnya karena tak bisa membujuk sang ibu?
“Kenapa, Bu? Aku suka sama Om Bara. Orangnya enggak pelit, mobilnya bagus, motornya apalagi. Om Bara keren. Kenapa enggak boleh ketemu lagi? Om Bara enggak mau ketemu kita lagi, ya?”
“Bukan—bukan Om Bara enggak mau ketemu kita. Ibu cuma nanya aja ke kamu. Ya, udah dilanjut aja makannya.”
Jawaban yang tak memuaskannya sama sekali. Pasti ada sesuatu. Perutnya seketika kenyang. Ayam goreng yang biasa selalu menggugah selera dan bisa dihabiskannya tak bersisa, kini teronggok separuh. Ibunya pun seperti tak mau memaksanya untuk menghabiskan makanan seperti biasa. Mereka seperti sama-sama kehabisan energi.
Dalam gandengan tangan ibunya menuju ke dalam gang sore itu, Dul menghentikan langkah kakinya. Tangannya berpindah dari dalam genggaman kini gantian mencengkeram tangan ibunya.
“Bu … apa kita enggak bisa terus sama-sama dengan Om Bara. Kayaknya Om Bara mau jadi ayahku. Aku mau jadi anak Om Bara, Bu. Om Bara baik dan Om Bara pernah bilang kalau uangnya banyak. Ibu enggak perlu mulung lagi. Sebentar lagi aku SD. Kita bisa tinggal sama-sama. Bisa, kan, Bu?”
Pertanyaan Dul itu sudah menyerupai permohonan. Matanya tak lepas menatap sang ibu. Bagaimana caranya memberitahukan bahwa ia sudah jatuh hati pada Bara dan tak rela melepaskan pria itu.
Ibunya melepaskan genggaman tangan mereka, lalu tangan kuat itu memegang bahunya. “Dul … kalau air yang sedikit bisa menyelamatkan kita dari rasa haus, enggak perlu meminta air lebih banyak yang bisa jadi malah menenggelamkan kita, Nak.”
Tak mengerti apa yang dikatakan ibunya. Tapi Dul ingat, bahwa ia mengeluarkan air mata setelah ibunya mengatakan hal itu.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
@☠⏤͟͟͞R Atin 🦋𝐙⃝🦜
Kayaknya om Bara diusilin sm ayahmu Dul
2024-04-16
1
gembulers
pelajaran yg dipetik adalah jgn serakah Dul...GT kn jah
2023-09-07
1
Dede Dahlia
bara di cerita dijah kalau ga salah selama satu bulan lebih menjalani tugas kerjaannya makanya ga nemui dijah juga otomatis ga nemui Dul tapi pas dia balik langsung ketempatnya dijah.
2023-01-14
1