Minggu siang yang cukup terik, Dul sudah menghabiskan air putih bergelas-gelas. Matahari luar biasa terik dan atap rumah mbahnya yang berplafon rendah seakan ikut memanggangnya di dalam. Ia kembali menunduk di atas buku gambar. Sedikit lagi dan pekerjaan rumahnya akan selesai siang itu. Hanya dua tugas. Matematika penambahan sederhana dan menggambar bertema bebas. Dul menggambar langit biru dengan sebuah pesawat kecil yang melintas di angkasa.
Suara pintu pagar kayu membuatnya mengangkat wajah. “Ibu datang,” gumam Dul sendirian. Hempasan bertenaga dan terburu-buru di pagar kayu itu sudah ciri khas ibunya. Mbah Wedok sedang tidur siang dan Mbah Lanang berada di warung yang merupakan rumah keduanya.
“Dul, lagi apa?”
Wajah ibunya muncul dari pintu yang tak terkunci. “Menggambar. Ibu mau ke mana?” tanya Dul yang sedikit curiga karena ibunya berpakaian lebih rapi. Tiba-tiba selera menggambarnya pun menguap karena keinginan ikut sang ibu muncul. Tak peduli ke mana, yang penting ia bisa ikut.
“Ibu mau ke tempat Mbok Jum. Pagi tadi Ibu enggak mulung karena ada kerjaan bantu-bantu masak di tempat catering. Pulangnya dibawain lauk dan sayur lumayan banyak. Ibu tinggalin di sini buat makan malam kamu dan Mbah.”
Dul mengamati ibunya yang langsung pergi ke dapur dengan sebuah bungkusan di tangan. Ia langsung menunduk dan menyelesaikan pekerjaannya. Beberapa menit kembali berkutat dengan kertas gambar, Dul kembali menoleh saat ibunya mendekat.
"Gambar apa?” Dijah duduk dan menunduk di atas coretan tangan anaknya. “Bagus, Dul. Ternyata kamu punya bakat menggambar juga. Ayo, diterusin. Ibu mau ngajak kamu ke tempat Mbok Jum nganter sebagian lauk. Terus dari sana Ibu mau ajak kamu ke tempat kos Ibu yang baru. Tetangga Ibu ramah-ramah. Ada yang punya anak seumuran kamu. Tapi dia belum sekolah.”
“Mau—mau. Mau ikut,” seru Dul.
“Ayo selesaikan tugasnya dulu,” pinta Dijah.
Dul cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Ibunya mengeluarkan ponsel kecilnya dari dalam tas dan mengetik sebentar lalu kembali memperhatikannya mewarnai langit.
Selesai dengan pekerjaannya Dul berganti pakaian bepergian. Celana panjang, kaus oblong, topi dan sepasang sepatu yang dipakainya ke semua tempat. Walau matahari menyengat, ia meninggalkan rumah mbahnya dengan hati berbunga-bunga. Setengah hari itu akan dihabiskannya bersama sang ibu.
Sebelum hari itu, Dul sudah pernah diajak menemui Mbok Jum. Wanita tua yang dinilainya lebih ‘jago’ membuat ibunya bicara daripada Mbah Wedok. Berkali-kali ibunya mengatakan kalau Mbok Jum adalah ibu yang baik, tapi dikecewakan anak-anaknya. Berbanding terbalik dengan ibunya yang sering merasa dikecewakan orang tuanya.
Entahlah … Dul merasa masih banyak belum mengerti dengan ungkapan-ungkapan orang dewasa yang dinilainya sebagai bentuk kekecewaan. Yang ia tahu tiap diajak ibunya ke tempat Mbok Jum, bahwa wanita itu sangat ramah dan memperlakukannya seperti kerabat dekat. Bahkan ibunya terlihat nyaman duduk di depan rumah reyot Mbok Jum yang berdinding papan ala kadar dan ditambal karung di sekelilingnya.
“Apa ini enggak kebanyakan, Jah? Aku cuma berdua sama suamiku,” kata Mbok Jum saat membuka bungkusan yang dibawa Dijah.
“Ya, buat besok pagi. Bisa dipanasin. Kompor minyak tanah masih ada isinya, kan? Kalau enggak ada biar aku belikan ke warung. Mumpung aku lagi di sini. Jadi suami Mbok enggak ditinggal-tinggal kelamaan kalau Mbok ke warung.”
Mbok Jum mengibaskan tangannya. “Masih ada. Nanti kalau minyak tanahnya enggak cukup, aku panasi di terik matahari aja,” seloroh Mbok Jum, terkekeh-kekeh.
Dul ikut tersenyum saat melihat ibunya tertawa kecil mendengar candaan Mbok Jum. Percakapan soal isu-isu penggusuran mewarnai beberapa menit waktu mereka di sana. Dul duduk di depan rumah Mbok Jum seraya melihat gunungan sampah di depannya. Berbagai sampah dengan berbagai aroma yang setiap hari dikais ibunya. Beberapa remaja juga terlihat mendekati sampah dan berjalan di pinggirannya.
Panas … bau … kotor … Ibuku memang hebat.
“Kami pamit sekarang, ya, Mbok. Aku mau bawa Dul ke kos-kosan baruku. Yang aku ceritakan sama Mbok tempo hari,” ujar Dijah, bangkit dari sehelai kardus yang sejak tadi dijadikannya alas duduk.
“Monggo, Jah ….” Mbok Jum ikut berdiri di ambang pintu. “Doain suamiku cepat sembuh, ya, Jah. Katanya kepingin bantuin aku cari nafkah. Udah bosen tiduran aja,” ujar Mbok Jum.
“Selalu aku doain, Mbok,” sahut Dijah.
Pandangan Mbok Jum beralih pada Dul. “Dul yang selalu banyak diam dengerin ibunya. Anaknya peka ini. Pasti besarnya nanti jadi laki-laki ganteng yang peduli dan perhatian. Jaga ibumu, ya, Dul. Rajin belajarnya,” pesan Mbok Jum.
Perkataan Mbok Jum itu terngiang-ngiang di telinga Dul. Sedikit bangga karena pujian wanita itu. Terutama kalimat Mbok Jum yang berucap optimis bahwa ia akan menjadi laki-laki ganteng yang peduli dan perhatian saat besar nanti. Saat digandeng ibunya menjauhi pemukiman kumuh itu, Dul merasa lebih gagah. Ia melangkahkan kakinya lebih tegap.
Dengan menumpangi angkot selama tak lebih dari sepuluh menit, Dul digandeng ibunya menyeberangi jalan raya yang lebar. Tepat di sebuah mal yang sering dipandanginya, Dul mengikuti langkah kaki ibunya masuk ke sebuah jalan dan lurus menuju sebuah gang yang terletak di sisi kanan. Gang itu tidak lebar. Hanya bisa dilalui dua motor. Di sini kanan ada tembok tinggi dari bangunan ruko yang berada di depan, dan sisi kirinya rimbunan semak dan pepohonan yang memenuhi sebuah rumah yang sudah lama tak ditinggali.
“Nama kos-kosannya aneh, Dul.”
“Memangnya apa?”
“Kandang ayam.”
“Banyak ayamnya?”
“Malah enggak ada. Kalau ketemu temen Ibu jangan kaget, ya.”
“Kenapa?”
“Suaranya keras-keras.”
Dul mengangguk. Kalau hanya suara keras, rasanya ia sudah kenyang mendengar teriakan bapaknya. Bahkan isi teriakannya selalu disertai makian dan hinaan melecehkan ibunya. Ia sendiri merasa yakin, tak ada hal apa pun lagi di dunia ini yang akan mengejutkannya lagi.
Mereka memasuki pagar dan kaki Dul langsung menginjak halaman yang cukup luas. Bangunan itu berbentuk huruf U yang terbuka ke depan. Kanan kirinya ada kamar saling berhadapan. Di sudut kanan dekat pagar, sebuah pohon jambu air tumbuh rimbun dan membuat teduh bagian sudut itu.
Tiga orang wanita duduk di depan teras dan ibunya menggandengnya ke arah sana. Seorang wanita terlihat paling muda duduk menghadap halaman. Seorang lagi bertubuh lebih pendek dari ibunya dengan rambut berwarna merah menyala yang mengingatkannya akan tokoh kartun kesatria wanita yang jago memanah. Dan satunya lagi seorang wanita bertubuh tegap dengan raut wajah keras.
“Eh, itu Mbak Dijah bawa anaknya!”
Wanita yang paling muda itu ternyata menyadari kedatangan mereka lebih dulu. Lalu, seorangnya lagi yang berambut merah bertanya namanya.
“Ini anakku, Mak. Namanya Dul. Ayo, duduk di sini.”
Dul diminta ibunya duduk di pangkuan. Sore itu ia akan menghabiskan waktu dengan bergelayut di pelukan ibunya. Hanya duduk di teras dan berbincang-bincang bersama teman ibunya. Namun, Dul merasa sangat bahagia karena bertemu dengan orang-orang baik lainnya yang hidup di dekat wanita yang melahirkannya.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
𝕭'𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄
ah aku rindu sama penghuni kandang ayam 😊
2024-09-30
2
𝐝𝐞𝐰𝐢
𝐊𝐡𝐚𝐝𝐢𝐣𝐚𝐡, 𝐚𝐛𝐝𝐮𝐥𝐚𝐡, 𝐅𝐚𝐭𝐢𝐦𝐚𝐡, 𝐝𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐫𝐚😘😘😘
2024-09-13
0
dyul
sederhana 😭😭😭
2024-08-18
0