Saya memejamkan mata, ketika merasakan hawa aneh yang menjalar dan berkejaran di dalam tubuh saya. Rasanya mirip seperti aliran darah, tapi saya tahu ini bukan darah.
Rasanya sedikit aneh, panas dan tak mengenakkan. Saya membiarkan keributan manusia yang terus-terusan menyebut nama saya.
Benarkah ini baik? Tapi tubuh saya seolah tak menerimanya. Rasanya benar-benar aneh, hingga perlahan hawa panas ini tersangkut di antara dada dan kerongkongan saya.
Saya menepuk dada sambil memejamkan mata dengan erat. Panas dan tak nyaman. Seperti tersedak bubuk cabe yang masuk ke dalam rongga hidung.
"Ohok.. Ohok.." saya terbatuk karena tak dapat menahan rasanya. Apakah ini hukuman? Sama seperti yang saya rasakan ketika hendak menyentuh Yuk Arsya?
Tubuh saya yang mengambang perlahan oleng. Saya hampir tersungkur, dan tiba-tiba saja ada sesuatu yang menahan jatuhnya tubuh saya.
Saya membuka mata, dan menatap Tante muka gosong yang menahan tubuh saya. Di jalanan yang saya kira ramai kini mendadak sepi, kemana perginya mereka semua?? Kenapa suara mereka masih terdengar di telinga saya meski wujudnya sudah tak ada lagi??
"Bagaimana sensasinya? Seperti di aliri darah ke seluruh tubuh, kan?" tanya Tamusong, dengan wajah sumringah.
Saya menelan ludah yang tercekat. Menatap wajah gosongnya lalu menggeleng pelan. "Tidak terlalu menyenangkan." sahut saya, menyimpulkan perasaan yang saya rasa.
Ia terkejut. Alisnya mulai berkerut, seolah apa yang saya rasakan tak sesuai dengan harapan yang ia inginkan. "Yang benar? Tak menyenangkan bagaimana? Memangnya apa yang sedang kau rasakan sekarang?" tanyanya cepat, jika masih bernapas, perkataannya itu hanya terdengar sekali hembusan napas saja.
Saya terdiam, melirik ke atas sesaat lalu membalas tatapannya. "Seperti... tersedak cabe. Lalu, tubuh saya merasakan panas yang menjalar-jalar. Tidak, ini tidak menyenangkan." jelas saya.
Tamusong mengernyitkan dahinya. "Kenapa bisa begitu?? Harusnya kau merasa hidup dan teraliri darah. Setiap manusia menyebut namamu, menceritakan tentangmu, atau bahkan membayangkanmu, maka kau akan merasa kuat dan hidup. Begitu lah seharusnya. Lalu, apa yang salah pada dirimu?" tanyanya heran, sambil memandang saya dari atas ke bawah.
"Entahlah. Sepertinya ini adalah hukuman. Apa saya sebenarnya tak diizinkan berbuat jahat oleh yang maha kuasa?" terka saya.
Tamusong menggelengkan kepalanya. "Tidak untuk itu. Di zaman Nabi Adam, leluhur kita sudah mendapatkan izin untuk menggoda manusia. Tak ada yang salah dari perbuatanmu. Dia melanggar pantangan dan mabuk sambil mengendarai motor di jalanan."
"Dia bisa saja membahayakan manusia yang lain dan menabraknya. Lalu dia juga tak menghargai sesama makhluk hidup. Kebut-kebutan di jalanan yang terdapat area perkuburan di depannya. Semua yang ia lakukan adalah kesalahan, jadi tak mungkin kau mendapat hukuman usai mengganggunya." ujarnya lagi.
"Lalu.. apa ya?? Salahnya dimana?" gumamnya berulang-ulang.
"Hmm, maaf Tante muka gosong.. tadi kau sempat bilang, kalau kekuatan baru.."
"... telah muncul?"
"Kekuatan apa yang kau maksud?? Dan seharusnya, kekuatan itu muncul setelah kita bisa mengendalikannya bukan?? Tapi kenapa, ia muncul meski saya tak tahu bagaimana cara menggunakannya?" tukas saya berdiploma.
Ia terdiam, melipat tangan ke dadanya ketika merasa kalau tubuh saya tak perlu lagi di tahan. "Kau benar juga!! Aku sudah lumayan lama mati. Jadi sedikit lupa mengenai perasaan yang ku rasa pertama kali ketika mendapatkan kekuatan itu."
"Sepertinya, itu adalah dampak ketidakstabilan mu mengendalikan kekuatan. Kau harus butuh pengenalan dan harus mengerti mengenai kekuatan yang kau miliki." terangnya.
Saya menggaruk kepala yang tak gatal. "Itu, bagaimana caranya?"
Ia tersenyum sembari mengajak saya kembali masuk ke dalam perkuburan. "Kita bicara di dalam saja. Ayo ikut aku." pintanya sambil beranjak dan menoleh saya. Saya berbalik arah, menghadap ke arah yang berlawanan darinya. Dan tentu saja itu membuatnya menoleh dengan raut wajah kesal. "Kau buta arah ya? Ku bilang, ayo ikut aku!!" bentaknya.
Saya menoleh sambil menyipitkan mata. "Apa sih, marah-marah terus! Saya memang mau ikut, tapi sedang mencoba kekuatan terbang gaya terbalik. Begitu saja repot! Jalan saja di depan sana!" tukas saya sambil terbang memunggung dan melewati tubuhnya yang mematung.
"Dasar anak setan!!" gerutunya sambil ikut meloncat di belakang.
Saya masuk ke sebuah rumah petak tanpa dinding yang terletak di dalam kuburan, dimana terdapat keranda dan juga botol-botol air di dalam sana. Sambil duduk bersila di atas keranda, saya menatap lemas ke arah Tante muka gosong.
"Kenapa kau melihatku memelas begitu? Seperti kucing!" kecamnya sambil membalas tatapanku.
Krururuyuk...
Saya terkesiap mendengar suara tersebut. Sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, saya berucap. "Hah? Sudah pagi ya? Kok ayamnya sudah berkokok saja?" tanya saya bingung.
Ia menatap semakin sebal. "Itu suara yang berasal dari perutmu tahu!!" bentaknya lagi.
"Tante ini suka naik gunung ya? Darahnya tinggi terus." celetuk saya.
Ia terdiam, menatap saya tanpa suara. Meski wajahnya gosong, tapi saya tahu kalau ia menatap dengan pandangan keibuan. Tapi.. ada yang sedikit berbeda tampaknya. Apakah ini perasaan saya saja atau bukan.
Sewaktu awal pertemuan, Tante muka gosong bilang kalau dia merindukan sosok anaknya kala melihat saya. Saya tak bisa menebak umurnya, karena wanita pandai menyembunyikan itu dan wajahnya pun tak bisa saya nilai. Yang terlihat hanya gosong saja.
Tapi.. kenapa saya merasa, tatapannya pada saya itu.. tidak jauh berbeda dengan Yuk Arsya menatap saya. Dan kalau di lihat, memangnya ada ya Ibu-ibu yang sukanya marah-marah pada anak kecil??
Ia sendiri bilang, batas umur, sikap dan juga perawakan akan terhenti sesuai dengan keadaan terakhir kali mati. Kalau saya meninggal di umur enam belas, maka selamanya saya akan tetap berumur enam belas, baik itu postur tubuh dan semacamnya. Berarti dia juga sama, kan??
Kenapa saya curiga ya pada Tante-tante ini? Sifat dan sikapnya itu, seperti remaja matang menuju dewasa. Dan sifat keibuannya itu hanyalah naluri, bukan seperti pernah ia alami sendiri.
Ia beranjak dari teras pembatas, membuat saya menatap lekat ke arahnya. Ia menoleh sebelum saya sempat bertanya. "Duduk lah di situ dulu, aku akan membawakan makanan untukmu." ucapnya.
Saya tak mengangguk ataupun menggeleng. Saya membiarkan sosok putihnya yang melompat-lompat, perlahan menghilang di telan gelap.
Suasana malam terlihat mencekam, tapi ini terasa begitu nyaman bagi para hantu, termasuk saya. Saya melamun, membiarkan frekuensi terbuka pada semua batas di luar kewajaran.
Sosok-sosok yang perlahan tak terlihat, kini tampak mengerumuni seluruh penjuru perkuburan.
Tingkah mereka bisa dikatakan aneh, tapi saya bisa memakluminya. Ada yang sengaja duduk di atas pohon dengan posisi tubuh terbalik layaknya kelelawar.
Ada anak-anak kecil yang berkejaran, dan posisi tubuh mereka sudah tak utuh lagi. Sedikit meringis melihatnya, dimana tangan yang putus itu terus mengucurkan darahnya.
Sebagian lagi ada kuntilanak yang terbang bagaikan layangan putus. Saking banyaknya, mereka mengerumuni dan menutupi langit malam yang gelap. Tak ada jarak, bagaikan kertas tisu yang berhamburan.
Sosok lain seperti kuntilanak, tapi kepalanya hancur dan gepeng dan mulutnya menganga lebar. Apakah dia korban kecelakaan?? Sepertinya kepala itu bekas di lindes truk atau semacamnya. Dagingnya sampai keluar-keluar begitu.
Di sini juga banyak pocong. Kalau di film-film, mereka terlihat selalu melompat kesana-kemari dan tertawa, berwajah seram atau sangar, tapi kenyataannya sedikit berbeda mengenai sikap. Para pocong terlihat duduk di salah satu tempat, atau sekedar berdiri dan diam.
Mereka berada di antara pohon pisang atau kenanga. Tak banyak bergerak, atau bergerak perlahan. Cara melompatnya tak seheboh lompatan manusia. Sedikit slow dan biasa saja. Seperti manusia yang berjalan pada umumnya, tapi ini dengan cara melompat.
Sejujurnya jika ingin berbicara, jika manusia di berikan penglihatan untuk dapat melihat semua makhluk ini, maka manusia itu pasti lebih memilih kehilangan penglihatannya. Mereka itu.. benar-benar menakutkan.
Ngomong-ngomong tentang hantu, dari mana manusia bisa tahu rupa mereka, ya? Bahkan beberapa ada di jadikan film. Apakah mereka itu.. pernah melihat hantu sebelumnya??
Bahkan dari perawakan, suara khas, serta kekuatan yang dimiliki hantu pun mereka tahu. Dimana pocong berjalan melompat, dan kuntilanak berjalan dengan cara terbang.
"Ini..." Saya terkesiap, ketika sesuatu membuyarkan lamunan. Saya melihat sebuah tangan tengah menyodorkan sesuatu ke arah saya. Saya menatap dengan seksama, ia sedang memegang daun keladi besar dengan banyak bunga melati dan juga mawar di atasnya.
Saya mengerjap, menatap sosok yang membawakan benda tersebut. Dan tentu saja, sosok itu adalah Tante muka gosong. Ia membawakan saya bunga??
"Makan itu! Jangan pernah makan benda selain itu, meskipun ada hantu lain yang menawarkannya padamu. Mengerti!" ucapnya sambil melepaskan daun itu di atas paha saya.
Saya mengernyit bingung. "Memangnya ini bisa dimakan?"
"Kau tahu sesajen tidak?" tanyanya, dan saya menganggukkan kepala. Saya pernah mendengarnya dan juga melihat sesajen di film-film. "Manusia memberikan sesajen untuk para hantu. Isinya ada darah ayam, bunga tujuh rupa dan yang lain sebagainya. Itu adalah makanan para hantu. Dan kau bebas memilih ingin memakan apa dari yang telah di berikan manusia kepadamu."
"Tapi ku tegaskan. Jangan pernah memakan sesajen manusia meskipun itu terlihat enak."
Saya mengernyit mendengarnya. "Memangnya kenapa?"
"Kalau mereka memberikanmu sesajen, artinya mereka berharap sesuatu padamu. Dan kau harus mengabulkan keinginan mereka dulu, baru kemudian kau bisa memperbudak mereka."
"Tapi kebanyakan manusia sudah licik. Mereka memberikan sesajen pada hantu, berharap mendapatkan apa yang mereka mau. Ketika sudah dapat, mereka akan datang ke orang pintar untuk menjauhkan hantu sesajen dari mereka. Supaya mereka tak lagi terikat oleh para hantu."
"Makanya, makan saja apa yang ada. Kau bisa mencarinya sendiri, bukan?" terangnya panjang lebar.
Saya mengangguk sambil mengambil satu bunga mawar. Wanginya lumayan enak, meski tak seenak nasi dan lempah darat. Tapi, penasaran juga dengan rasanya.
Saya membuka mulut dan memasukkan bunga tersebut kedalam mulut. Saya mengunyah, merasakan aroma wangi di dalam mulut. Sedikit manis dan enak.
"Bagaimana rasanya? Manis bukan?" tanya Tamusong. Saya mengangguk sambil mencomot bunga melati. "Kalau dilidah manusia, itu akan terasa pahit dan wangi. Tapi, dilidah kita akan terasa manis."
Saya mengangguk dan memasukkan bunga melati ke dalam mulut. Saya terkesiap setelah mencobanya. "HM!! Masa' sih melati seenak ini rasanya?" tanya saya takjub.
Tamusong hanya menyunggingkan senyum. "Huh! Sudah ku duga kau akan suka itu. Bunga melati memang menjadi kegemaran para hantu kuntilanak. Ternyata yang lelaki juga menyukainya."
"Makanlah yang banyak dan sampai kenyang. Kalau kurang, kita cari itu sama-sama." lanjutnya.
Saya menyumpal mulut dengan bunga melati sambil menatap Tante muka gosong. "Tante tidak makan juga??" tawar saya sambil memberikan setangkai bunga melati.
Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Kalau kau kenyang, aku juga merasa kenyang dan senang. Setidaknya, aku pernah kau anggap, meski mungkin saja kau telah melupakan." ucapnya lirih.
Perkataannya membuat saya ternganga. "A.. apa maksud dari ucapanmu, Tamusong?"
.......
.......
.......
.......
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Iin Potabuga
Tamusong kamu kayaknya jatuh cinta sama Adgam soeganda yah
2024-10-14
0
Elly Julia
bisa jg tamusong yg dbakar sm ayahny adam
2024-02-12
0
Dewi
Apakh ibunya adam
2022-09-20
0