Jalur Pelalu

Suasana malam kian mencekam. Malam ini tak ada bulan atau pun bintang. Langit sangat mendung seolah menambah kesan menyeramkan di antara perkuburan penuh asap.

Pohon kamboja setengah pinggang yang melengkung di hiasi oleh para makhluk serupa. Seperti kuntilanak, pocong, dan semacamnya. Ada juga anak-anak kecil yang berlarian dalam keadaan tubuh telanjang dan kepala plontos. Di antaranya ada seorang wanita yang menangis sambil menggendong bayi yang tali pusarnya masih terhubung ke bagian bawah si wanita. Yang lainnya lagi berlari dan melompat kedalam sumur bak sedang bunuh diri, dan ia melakukan hal tersebut secara berulang-ulang.

Tak hanya itu, ada banyak ragam wajah hantu. Dari yang tak cacat sampai hilang separuh. Ada yang kakinya patah dan bau mereka sangat busuk. Tangan, kaki, serta kepala yang putus dengan serabut otot dan nadi yang mencuat dan darahnya terus mengalir deras.

Anehnya, perempuan yang ada di hadapan saya ini tak terlalu bau. Ia lebih tercium seperti bunga kemuning tapi sedikit anyir.

"Bau yang kau maksud itu bau apa? Jangan mengada-ada, kalau saya terlahir kembali.. kenapa harus menjadi hantu? Kenapa tidak menjadi batu?"

Tamusong mengernyit mendengarnya. "Kenapa harus batu, Kuno?"

Kini giliran saya yang mengernyit. "Apa itu Kuno??"

"Kau kan memanggilku Tamusong atau tante muka gosong. Jadi aku memanggilmu Kuno saja."

"Alasannya?"

"Karena bahasamu terlalu baku, jadi terkesan Kuno. Dan lagi.." Ia memandang saya dari atas ke bawah. "Kau kena kecatatan albino, kan? Jadi Kuno adalah nama yang sesuai. Artinya, Kuntilanak Albino." terangnya.

"Woaaah! Ikut-ikutan juga ya membuat nama panggilan?!"

"Ck! Itu tak penting, aku penasaran kenapa kau ingin menjadi batu? Dasar Kuno, aneh!!" ledeknya.

Saya menghela napas panjang. "Haaaah!! Saya ini malas bergerak dan berbicara pada orang lain. Kalau jadi batu kan enak, bisa diam selama-lamanya tanpa di ganggu." Saya tersenyum bangga usai mengatakannya.

"Hal aneh begitu malah bikin dia senyum seolah-olah bangga. Baru kali ini aku mendengar ada orang yang ingin menjadi batu. Terus kalau kau tak suka bicara pada orang, kenapa kau mau berbicara padaku, Kuno?!"

Saya masih memasang wajah yang sama seperti sebelumnya. "Ya karena kau bukan orang. Kihihihi."

Ia tersentak, lalu mengernyit alisnya. "Benar juga ya. Kahahaha, aku sampai lupa kalau bukan orang. Ngomong-ngomong, kau dibunuh di mana?"

"Itu.." Saya menunjuk ke gedung sekolah yang menjulang tinggi dan megah. Tante muka gosong menoleh ke arah sejurus.

"Di sekolah? Kau di bunuh di sekolah? Kejam sekali sih Bapak mu. Sebagai orang tua, aku yang amburadul begini juga sayang sekali pada anakku pas masih hidup. Tapi, kok bisa dia sampai tega membunuh anaknya sendiri. Lagipun.."

"Kok kau mainnya jauh sekali? Dari sekolah sampai menyebrang jalan pula, kalau nanti keserempet motor bagaimana?"

Saya memicing menatapnya. "Tak akan mati kok."

Ia mendecakkan lidahnya. "Iya tahu, kau memang tak akan mati. Tapi, kalau manusia menabrak hantu, bisa-bisa mereka celaka loh. Karena kalau kaget, hantu biasanya sering tak sengaja menampakkan diri. Kalau kita tampak, ya manusia terkejut, terus jatuh. Kan bahaya, kau juga bisa di hukum, tahu!" terangnya.

Saya menganggukkan kepala. Tamusong ini baik juga. Sepertinya bisa di jadikan teman ketimbang para hantu jelek yang ada di sekolah.

"Saya kabur dari sekolah itu." Saya mulai beralasan, sengaja memberikan kalimat menggantung agar ia penasaran.

"Kabur? Dari sekolah? Kenapa? Seharusnya para hantu berada di tempat dimana ia mati. Atau di tempat dimana ia dimahkamkan. Kenapa kau harus kabur?" tanyanya, dan saya sudah menerka kalau ia memang akan menanyakan hal seperti itu pada saya. Saya sudah menyiapkan jawabannya sebelum ia bertanya.

"Para hantu di sana membenci saya. Ayah saya adalah kepala sekolah sekaligus manusia bej*t yang membunuh para siswi untuk di jadikan tumbal. Saya pun menjadi salah satu korbannya. Karena hal itu, para siswi yang terbunuh sangat membenci saya karena perbuatan Ayah. Mereka menjauhi saya, bahkan tadi mengejar saya sebelum saya keluar dari tempat itu. Jadi, saya tak mau kembali ke sana. Biarkan saya tinggal disini. Tamusong sepertinya setan baik." terang saya.

Tamusong menarik napas panjang dan menghembuskannya, (meski tak memiliki napas, tapi sulit menghilangkan kebiasaan manusia yang satu ini.) "Kasian sekali kau Kuno. Kena sasaran gara-gara kesalahan Ayah mu sendiri. Kalau malam sih, kau bisa main ke sini. Cari saja aku di sini. Tapi, kalau siang.. dengan sangat terpaksa kau harus menahan diri di sana."

Saya segera mengerucutkan bibir mendengarnya. "Kenapa? Tamusong tak suka saya? Saya tak suka makan upil kok. Selepas mengupil, saya tempelkan di dinding atau bawah meja. Tidak di makan kok.."

Ia bergidik mendengarnya. "Bukan karena itu! Tapi memang kau tak bisa keluar dari tempat mu di bunuh kala siang hari. Kau bisa keluar dari tempat itu ketika malam tiba. Itu pun harus melalui jalan pelalu (tempat yang biasa di lewati para hantu), kalau tidak lewat jalan itu, ya tetap tak bisa."

Saya melebarkan pupil mata mendengarnya. "Apa? Apa kau bilang tadi?" Saya bertanya. Bukan karena tak mendengar perkataannya, tapi saya hanya ingin memastikan kebenarannya sekali lagi.

Sebelumnya, saya memang tak dapat keluar dari dalam ruang seni. Saya hanya dapat menembus atap, itu pun hanya sampai dak atas saja. Ketika pintu ruangan terbuka pun saya masih tak bisa melewatinya. Ada dinding pembatas yang tak terlihat, yang membuat saya terpental jika berusaha melewatinya.

Begitu juga dengan dinding dan juga lantai. Tapi ketika malam tiba, anehnya saya bisa keluar dari dalam sana dengan mudah. Bahkan meski pintu itu tertutup, saya bisa menembus benda padat.

Memang benar apa yang ia katakan, ada batasan meski saya bisa keluar. Ada tempat yang tak bisa saya datangi dan ada yang bisa saya lalui dengan mudah, karena jalannya nyata terlihat.

"Jadi, itu yang namanya jalan pelalu?" tanya saya lagi.

Ia menilik, menatap saya penuh curiga. "Diamnya lama sekali! Mikirin apa sih?" keluhnya. "Kau sendiri pasti secara tak langsung bisa tahu, ada jalan yang terlihat di mata para hantu. Sebenarnya jalan pelalu cuma akses yang di gunakan untuk bermain ke tempat lain, biar tak bosan. Tapi di sekolah kalian itu, memang tak bisa di masuki oleh sembarangan hantu. Aku saja tak bisa masuk ke dalam sana, kecuali kalian yang memang sudah mati di sana." jelasnya. Tapi penjelasan itu terasa janggal dan menggelitik rasa penasaran saya.

"Kenapa? Katanya bisa bebas kemana pun kalau ada jalan pelalu. Sekarang, kenapa tak bisa masuk ke sekolah saya? Tentu ada alasannya bukan?" tanya saya. Berusaha mengulik informasi lebih detil lagi. Kalau bisa mendapatkannya secara instan, untuk apa saya capek-capek mencari tahu sendiri. Itu akan memakan waktu yang lama bukan? Setidaknya Tamusong ini bisa memberi tahukan gambaran tentang dunia para makhluk mati pada anak baru seperti saya.

Ia mengangguk dengan wajah tegang. Melihat perubahan raut wajah yang awalnya konyol, membuat saya ikutan tegang ketika ia mengubah ekspresinya.

"Di sekolah kalian itu... ada seorang kiyai. Orang itu hebat. Sudah sejak lama di takuti kaum kita. Dia di segani, meskipun berkali-kali berusaha melawan dan menentangnya, kami malah mendapatkan ganjarannya sendiri."

"Dia kuat dan perkasa. Dia di lindungi yang maha kuasa. Menyebut namanya, bisa membuat lidah kita kelu. Dan dia..."

"Adalah pria yang telah memberikan batas wajib yang tak boleh di lewati para hantu. Meski begitu, dia masih berbaik hati dengan tak menutup jalur pelalu bagi para hantu di dalam sana. Hanya saja, kami tak bisa masuk ke dalam sana. Hantu dari luar tak bisa melakukannya."

"Dia melindunginya. Tapi tetap saja, sekuat-kuatnya dia.. dia tak bisa melenyapkan iblis itu. Entah dia iblis atau manusia, tapi di sekitar wilayah Pangkalpinang ini, saya bisa merasakan kehadiran iblis yang mengerikan." Tamusong tercekat usai mengatakannya. Ia menelan ludah yang seolah terasa panas.

Entah kenapa, sayap pun bisa merasakan sensasinya. Rasanya seperti menelan cabai dan tersangkut di antara diafragma. Panas dan pedih.

"Ohok.. Ohok..." Saya terbatuk usai ia mengatakannya. Terasa, terasa sangat jelas hingga kerongkongan saya terasa kering. "Ludi- UPH!!" mulut saya seketika tersumpal oleh sesuatu.

Saya menoleh, menatap tangan hitam legam yang tiba-tiba saja menempel membekap mulut saya. Saya menoleh ke asal muasal, dan tersedak ketika tahu kalau tangan pocong...

"Keluar dari kafaaaaaan!!" Saya menjerit, baru kali ini saya lihat pocong yang tangannya bisa keluar begitu.

"Jangan berisik Kuno!! Jangan sebut namanya! Kau mau dia datang dan meracau kedamaian perkuburan ini? Hah?!" Ia menggeram, mengecilkan nada suaranya sambil merangkul saya dari belakang.

"Jangan sebut namanya?" Saya mengulang. Apakah maksudnya iblis Ludira?

"Oke oke, kalau begitu lepaskan saya. Cukup horor rasanya kalau melihat pocong yang tangannya tidak terikat."

Ia pun melepaskan tangannya dari saya. Saya menarik napas lega dan menatapnya yang tengah melipat tangan di dada. "Kalau begitu pulanglah sebelum matahari terbit, kalau tidak badan mu akan babak belur karena di hukum." Saya menggeleng, menolak dengan nyata. "Kenapa tak mau?"

"Gak mau!! Kan sudah saya bilang, kalau setan di sana jelek dan jahat. Mereka tak mau berteman dengan saya! Mereka mengucilkan saya!! Lalu untuk apa saya kembali ke sana? Saya tak punya satu pun teman! Saya mau di sini! Di sini saja!" Saya membantah, mengeluarkan segala perkataan yang ada di hati dan melipat tangan ke dada dengan gerakkan yang berlebihan.

Ia menghela napas panjang, sambil kembali duduk di pinggir kuburan. "Baru mati sudah tak punya teman. Apa semasa hidup dulu, kau termasuk orang-orang yang di kucilkan?" terkanya, dan terus terang saja perkataan itu mengagetkan saya.

"Da.. dari mana kau tahu?" tanya saya takjub.

"Perasaan ketika masih hidup, biasanya terbawa sampai kita mati. Seperti rasa di kucilkan, di abaikan, di khianati, di pecundangi, semua rasa itu tetap tertanam. Membawa emosi berada pada frekuensi serupa. Kau tau kalau roh memiliki frekuensi?" tanyanya dengan wajah sok tahu.

Pasti dia berpikir kalau saya tak tahu tentang hal itu. Tapi, ternyata spekulasi saya mengenai frekuensi itu memang tepat sasaran. Berarti, hantu memang bisa saling lihat berdasarkan frekuensi yang ada.

"Anggap saja saya tahu itu. Lalu kenapa?"

"Yah, bagus lah. Jadi tak perlu capek-capek menjelaskannya. Intinya, kalau kau masih membawa perasaan sedih ketika masih hidup, itu akan menempatkan frekuensi emosi pada tahap gelap. Misalnya, kau ada di tahap lima, nah.. kau akan melihat orang-orang di tahap serupa."

"Tapi, kalau kau berusaha menyelaraskan rasa dengan normal dan berempati, serta berpikir untuk menemukan seorang teman. Ya kau akan di arahkan ke frekuensi di atasnya. Sedikit lebih terang, misalnya di tahap ke enam."

Saya menjentikkan jari ketika mendengarnya. "Ooh, jadi itu alasan kenapa saya bisa bertemu dengan Tamusong?" terka saya.

Ia menganggukkan kepalanya. "Bisa jadi begitu. Kita bertemu di frekuensi yang sama, karena saat ini.. Aku, merindukan anak laki-laki ku." ujarnya, membuat saya terkesiap dan segera memandang wajahnya lekat-lekat.

Jadi, kami di pertemukan berdasarkan emosi di dalam hati dan apa yang di pikirkan selama ini? Karena saya terbiasa di kucilkan, jadi emosi dan perasaan saya telah terkotak dan berpikir semua orang begitu. Makanya saya hanya bertemu dengan banyak hantu yang mengucilkan saya, sama seperti prasangka yang saya rasakan.

Tapi ketika ketakutan, emosi saya berganti dan ingin mendapatkan seorang teman. Makanya saya bertemu dengan Tamusong yang satu ini, yang kebetulan memang merindukan sosok anak lelaki.

Jadi begitu.. Begitu cara kerjanya??

Saya pikir, saya telah membuka keseluruhan frekuensi, nyatanya.. saya masih berada di salah satu tahap saja.

"Jadi, cara supaya saya bisa melihat semua hantu tanpa terkecuali, saya harus berempati dan merasakan banyak hal yang di rasakan orang lain?" tanya saya, membuat Tante muka gosong mengangguk.

"Aku akan menunggu mu setiap malam di sini, kalau kau butuh teman ngobrol. Tapi selama siang hari, kau harus membiasakan diri dengan para hantu yang ada di sana."

"Kau tak bisa lari, mau tak mau kau tetep akan di kejar para hantu yang mengucilkanmu. Jadi, sabar saja sampai malam." ucapnya, memberikan petuah pada saya.

Saya mendengkus dan tersenyum senang. Tetap di kejar?? Sepertinya saya punya cara lain untuk hidup tenang tanpa di ganggu oleh mereka. Hidup para hantu, berdasarkan gelombang frekuensi, kan? Kihihihi...

.......

.......

.......

.......

...Bersambung......

Terpopuler

Comments

Candra Candra

Candra Candra

waduh pocong bisa nyolek dong kalo tangannya bisa keluar dr kapan

2022-05-27

3

💫

💫

kecatatan apa kecacatan??

2022-05-15

5

azra

azra

pinter nih author,cerita nya bs dphami dg mudah

2022-05-08

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!