Pergi

Usai bercengkrama tentang dunia hantu pada Tamusong, sekarang saya kembali ke dalam ruang seni lagi. Saya duduk di atas lemari, memperhatikan sekitar ruangan yang sudah rapi.

Meski tak ada jantung, tapi rasanya seperti deg-degan. Saya jadi dag-dig-dug menantikan esok hari. Sudah tiga hari saya berada di tempat ini, dan tiga hari itu adalah hari libur teman-teman. Besok Senin adalah saat saya kembali melihat keramaian yang ada, serta melihat wajah teman-teman yang tak bisa di katakan teman saya. Saya kan terabaikan.

Bagaimana ya?? Bagaimana perasaan saya ketika melihat mereka untuk pertama kalinya dalam keadaan seperti ini? Bagaimana perasaan saya ketika melihat para guru dan, Bu Desti yang selalu mengisi waktu di ruang seni kala jam istirahat? Seorang diri.

Di sisi lain, saya juga harus memenuhi misi dari Tante muka gosong. Katanya, saya harus menjadi hantu yang baik dan mengganggu manusia. Kedengaran aneh sih. Mungkin, bagi manusia itu adalah perbuatan buruk. Tapi bagi hantu, mungkin ini adalah perbuatan baik.

Hasil akhirnya menggiurkan, katanya jika saya menjadi kuat, maka saya bisa melindungi diri, membunuh jin, bahkan iblis sekalipun. Sebenarnya saya malas melalukan hal ini, tapi kalau ini berhubungan dengan si iblis, maka saya harus melakukannya. Lagi pula kedengarannya menarik juga. Kapan lagi saya bisa mempelajari ilmu gaib?? kalau hebat, apakah saya bisa jadi pendekar kan??

Kihihi, seru sekali membayangkannya!

Jam di ruang seni tak berdetik. Itu sudah rusak karena terjatuh akibat amukan saya kemarin. Pun dari kemarin juga saya terus mengabaikannya, karena kehidupan hantu ini tak terasa. Seperti berlalu dengan sia-sia. Saya menggoyangkan kaki sambil mengawasi ruang sekitar, melihat tirai yang terus bergoyang di terpa angin dari luar.

Ruangan seni masih sepi senyap. Hanya ada saya seorang di dalam ruangan besar dengan desain artistik ini. Tak ada pergerakan, tak ada suara ataupun perasaan yang mengatakan kalau saya tak sendiri.

Mungkin saja para hantu berkeliaran, tapi kabar baiknya, saya tak perlu melihat perilaku mereka yang menyebalkan.

Cahaya matahari mulai menerobos masuk melalui celah-celah jendela yang di tutup rapat. Ini masih terlalu pagi, mengingat burung-burung masih berkicau dengan bising, membuat kepala saya menjadi pusing. Apa mereka tak tahu, burung panggang itu rasanya enak sekali? Dan sepertinya, setan lebih memilih menghisap darah mereka sampai habis. Tapi, saya tak boleh melakukannya.

Kesunyian perlahan sirna, bahkan suara bising dari burung kalah besar dengan suara riuh manusia.

Tubuh saya gemetaran, untuk pertama kalinya saya merasa senang tanpa adanya kesunyian. Saya terbang, mengintip dari jendela besar yang mengarah ke lapangan bola.

Tubuh saya naik turun seperti pompa sepeda, melihat teman-teman mengenakan seragam SMA, bercengkrama riuh memasuki lapangan sambil membawa tas di belakang tubuh.

Rindu!!

Rasanya rindu sekali berpakaian seperti itu. Berjalan menapak dengan kedua kaki. Menahan beban tas yang beratnya minta ampun. Menjaga agar seragam sekolah tak kusut terkena senderan kursi. Dimana pun saya duduk, tapi rupa saya masih terlihat oleh manusia yang lain. Meski di abaikan, tapi mereka masih sibuk memandang ke arah saya. Ingin tahu apa yang saya lakukan, atau sekedar mengamati wajah saya. Benar-benar rindu! Padahal baru beberapa hari saya tak berada di posisi itu lagi.

Suara obrolan ini bercampur aduk menjadi konsonan suara tak berarti. Suara tertawaan dan ledekan yang menyenangkan. Suara guru yang menegur kebisingan mereka. Suara beberapa orang siswi yang menangis, meratapi teman-temannya yang telah tiada. Entah sejak kapan, saya yang biasanya menghindar dan membenci semua hal itu, kini malah merasa iri.

Kenapa.. tak sejak dulu saya ikut dan bergabung dengan keseruan seperti itu? Kenapa sejak dulu saya selalu menjauh dan berwajah kesal? Kenapa saya tak ingin ada orang yang menegur atau berbicara dengan saya? Saya mengabaikan dan tak punya seorang pun teman.

Tapi.. sepertinya saya melupakan sesuatu. Sesuatu yang telah merenggut sosialisasi saya pada banyak orang. Ada alasan kuat yang membuat saya menjauhi semua itu dan mengucilkan diri serta di kucilkan orang lain.

Suara lonceng berbunyi nyaring, membuat para siswa berkumpul di tengah lapangan dan berbaris rapi. Mereka semua membentuk huruf U dan melingkari tiang bendera. Di depan mereka ada para guru yang berbaris di sisi kanan depan, dan siswa yang di hukum berdiri di sisi kiri depan.

Saya juga bisa melihat para siswa mulai berjalan memenuhi UKS. Ya, sebagian mereka tak sedang sakit, melainkan sedang berbohong karena tak membawa dasi atau topi. Pak Kodir mulai mendatangi mereka untuk merazia, dan mereka berlari kocar-kacir melihat kedatangan Pak Kodir yang membawa penggaris panjang dan besar dari kayu.

Dulu itu adalah hal menjengkelkan untuk di lihat. Anak-anak nakal bodoh yang selalu lupa membawa atribut yang seharusnya di pakai setiap Senin. Siswa berandalan yang berlari berduyun-duyun dan bersembunyi di UKS, berlari ketika di razia. Sungguh jengkel karena mereka begitu bengal, tapi.. sekarang saya melihatnya dalam pandangan berbeda. Bukankah, itu adalah pengalaman dan keseruan masa remaja?? Saya memang terlalu kaku dan kolot, bertindak monoton seperti orang tua. Pantas saja saya di jauhi.

Apa saya bisa banyak teman dan di sukai kalau bertingkah aneh dan kekanak-kanakan?? Lucu dan menggemaskan? Apakah saya akan punya teman kalau begitu?

Apakah ada orang yang menerima keisengan saya, yang sabar menghadapi saya, yang tak marah dengan kata-kata buruk dan pedas saya, yang mengenalkan saya dengan sesuatu yang baik?? Kalau pun memang benar ada, saya.. akan menyayangi orang itu seperti saudara saya sendiri.

Saya kembali menilik, melihat anggota PMR dengan rompi merahnya berbaris di belakang para siswa, menjaga agar tak ada yang jatuh pingsan, atau bersiaga kala ada yang sakit

Upacara di mulai dengan kepala sekolah yang menjadi pembinanya. Ia berpidato panjang lebar dan menangis mengenai banyaknya korban yang berjatuhan kemarin.

Ini terasa janggal. Sebelumnya saya menjadi salah satu peserta upacara yang berwajah datar kala semuanya menangis tersedu. Saya kebingungan untuk ikut menumpahkan air mata, meskipun saya bisa merasakan pedihnya kesedihan. Tapi kali ini, saya lah yang mereka tangisi bersama beberapa siswi yang lain.

Langit yang awalnya terang terlihat mendung seolah mewakili kesedihan mereka. Ketika upacara selesai, mereka semua beralih ke ruang Aula untuk mengadakan yasinan seperti biasa. Yasinan mereka kali ini di iringi rintik hujan dengan langit yang sungguh gelap.

"Yasiiin..."

Awal pembuka surah Yasin yang membuat perasaan saya tak nyaman. Saya ketakutan tapi juga merasa lega. Entah kenapa, tapi ini seperti menampar dan menyadarkan saya, kalau saya hanya kembali ke dunia sebagai permainan. Tidak untuk bersyukur atau bersujud. Saya tak bisa melakukannya, bahkan suara saya tercekat ketika hendak mengumandangkan Yasin yang selama ini saya baca tanpa melihat buku.

Tes... tes.. Tes...

Tetesan itu berjatuhan, bukan hujan melainkan air mata. Air mata saya yang jatuh karena merasa kehilangan sesuatu. Sesuatu yang di sebut kesenangan masa muda, masa remaja, dan masa SMA yang banyak di rindukan orang-orang ketika mereka tua nanti.

Kenangan bagaimana saya berdoa dengan khusu' sambil menutup mata, membiarkan lantunan suara saya menggema di seluruh ruangan. Membiarkan hati saya bergetar tiap mendoakan orang-orang yang telah mendahului saya.

Sekarang...

Tak akan bisa saya rasakan. Tak akan ada yang bisa saya ceritakan mengenai pengalaman ketika remaja, ketika sekolah dan ketika berada di bangku SMA.

Saya telah mati. Dan cerita saya berakhir di sini. Amalan saya pun terhenti di sini.

Suara dengungan yasinan terhenti, tanda mereka telah selesai dan bersiap menempuh mata pelajaran hari ini. Saya duduk membungkuk di atas lemari, melipat kaki dan memeluk lutut.

Ruangan yang masih sama terlihat. Bayangan Matahari masuk memanjang, membentuk bayangan jendela di atas lantai. Sunyi dan senyap. Dan untuk pertama kalinya saya akan bilang, kalau saya membenci situasi ini.

Saya benci sendirian. Saya benci tak punya teman. Saya benci ketika tak ada seorang pun yang menatap saya. Ketika tak ada seorang pun yang berusaha menegur meski hanya meminta buku untuk di kumpulkan.

Saya membenci, hidup gentayangan. Saya membencinya. Sangat-sangat membenci keadaan ini.

Saya menahan amarah, mengatup bibir dengan rapat sambil membayangkan wajah Ayah. Apakah ia, sedang puas dan menertawakan kegagalan saya?? Apakah dia senang, selepas membunuh dan menjebak saya dalam keadaan ini??

Tuhan yang maha kuasa, tuhan umat manusia dan umat Islam.. Saya mohon, cabut nyawa iblis itu dari tubuh Ayah. Meskipun ia harus mati, tapi saya mohon. Cabut lah nyawanya!!

Puas merutuki nasib, tiba-tiba saja saya mencium bau wangi yang mendekat, serta derap kaki yang melangkah cepat.

Tiap langkah kakinya, seolah mengingatkan saya dengan detakan jantung. Kalau saya masih punya, rasanya saya ikut gugup dan berdebar, menantikan siapa yang telah datang.

Krieeeeeet...

Pintu ruangan ini terbuka, menampakan seorang wanita dengan rambut terurai sebahu, kaku dan tidak lembut. Wajahnya di polesi full oleh make up. Saya tahu dia, dua adalah Ibu Desti. Ia yang datang dengan membawa peralatan lukisnya dan berjalan masuk diikuti oleh murid-muridnya. Dan sialnya, itu adalah teman-teman sekelas saya.

Mereka memasuki tempat ini dan duduk sambil membawa sesuatu di kantong kresek hitam. Saya mengernyit kala mereka tiba-tiba mengelilingi satu tempat, yang merupakan tempat yang selalu saya duduki di jam pelajaran.

Wajah Bu Desti sayu, ia menatap lirih ke arah murid-muridnya. "Kita berdoa untuk almarhum teman, sahabat dan juga keluarga kita, Adam Suganda yang telah meninggal akibat peristiwa Jum'at Kliwon." ucapnya dengan suara yang bergetar. Ia benar-benar sedih, saya bisa merasakannya.

"Semoga amal ibadah dan kebaikan Adam di terima di sisi Allah dan keluarganya di tabahkan hatinya." ucapnya lagi. "Berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, di mulai." pintanya, diikuti oleh para murid yang menundukkan pandangan.

Selepas berdoa, mereka menaburkan bunga di kursi saya. Entah kenapa, rasanya seperti melihat dirimu sendiri di sumpahi banyak orang agar cepat menghilang dari bumi.

Rasanya sakit, hingga saya ingin menangis. Beberapa teman sekelas terisak, mereka sedih karena tak sempat berbicara banyak dengan saya. Ada yang sedih karena kehilangan seseorang yang cerdas dan pintar. Dan yang lainnya sedih, karena masih memegang buku yang saya kumpulkan padanya.

Sialnya rasa sedih mereka benar-benar sampai dan bisa saya rasakan. Rasanya hancur hingga tubuh saya bergetar. Saya mengepalkan kedua tangan, hingga kukunya menancap di telapak. Rasanya seperti tak percaya, bahwa saya telah benar-benar mati.

.......

.......

.......

.......

POV Tamusong

Aku duduk resah di atas nisan kuburan, menatap jauh ke gedung sekolah tinggi yang merupakan gedung sekolah anak itu.

Aku merasakan perasaan sedih, hancur dan kacau. Perasaan itu tak terkendali sama sekali. Sepertinya kuntilanak laki-laki itu mengasihani hidupnya sendiri. Semoga saja ia tak menangis dan berteriak seperti yang telah terjadi sebelumnya.

Sebenarnya, baru berapa puluh tahun aku meninggal, tak terlalu lama seperti anggapan setan-setan. Tapi, dari semua hantu yang ku temui, Adam.. berada pada tempat yang berbeda.

Aku sendiri pun merasakan bagaimana sedihnya kehilangan masa remaja, masa sekolah dan masa SMA. Ketika melihatnya merasakan hal yang sama seperti yang ku rasakan, aku.. tak bisa membiarkannya sedih begitu saja.

Apalagi, yang membuatku tak bisa mengabaikan dirinya adalah.. karena namanya... seolah membawaku terbang ke masa lalu. Masa di mana itu semua menjadi persoalannya. Masa dimana semuanya tak sesuai rencana.

Tapi, ada banyak hal yang tak bisa ku katakan satu-persatu padanya. Terlalu banyak kebohongan, dan ku harap.. Kuno tak merasa marah atau terkhianati atas kebohongan yang ku ciptakan.

Entah itu sama atau tidak, tapi perasaan itu sama sekali tak berubah. Kuno, atau orang itu..

Aku menggenggam dadaku sendiri dari dalam kafan, tak kuasa menahan debaran yang ku rasakan. Ah, mungkin aku hanya rindu. Atau itu hanya perasaanku saja.

Setidaknya, caraku ini benar dengan mengajarinya melindungi diri dari hantu yang lain. Ia tak boleh lenyap, aku ingin melihatnya setiap hari. Melihat wajah tampannya, dan mendengar suara seraknya.

Aku pun tak rela jika ada manusia kuat yang memperalat kekuatannya. Aku sendiri bingung, kenapa aku begitu peduli. Jadi, ku simpulkan kalau sebenarnya aku hanya mengasihani anak itu.

Jadilah kuat, hingga tak ada sesosok hantu pun yang bisa melukaimu. Karena hanya dengan itu, aku bisa melindungimu tanpa terlihat melindungimu.

Kalau kau sudah kuat dan bisa di andalkan, aku akan mengajakmu pergi.. Pergi ke tempat yang jauh...

Hingga tak akan ada seorang manusia pun yang bisa menemukan mu. Pergi ke tempat yang tak ada manusianya. Dan aku akan mengajakmu pergi, meninggalkan dunia ini.

*Tamusong POV End

.......

.......

.......

.......

...Bersambung......

Terpopuler

Comments

Teni Fajarwati

Teni Fajarwati

siapakah tamusong sebenarnya

2024-09-23

0

Aliz

Aliz

Ada Agam😇

2023-04-29

0

Retnoningsihnunung

Retnoningsihnunung

mungkin ibu nya adam heeee

2022-11-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!