Yuk Yeni...
Dia adalah salah seorang wanita yang menjadi korban penumbalan Ayah. Terlebih, malam tadi saya menyaksikan sendiri pembunuhan yang terjadi padanya dan beberapa orang wanita lain yang di bunuh bersamanya.
Saya juga cukup sering melihatnya. Dia satu tugas piket perpustakaan dengan saya, meskipun saya memang tak pernah berbicara sama sekali padanya.
Ia mengernyit, terlihat marah tapi juga sedih. Saya tak dapat berkata, pun saya adalah seseorang yang tak memiliki empati. Ia hendak menangis, tapi tatapan saya hanya sekedarnya saja padanya.
Meski begitu, sepertinya saya sudah mulai memahami apa yang telah terjadi. Bagaimana Yuk Yeni bisa terlihat, dan apa alasan yang membuatnya tak terlihat tadi.
Dari kejadian tadi, ketika saya merasa sedih... dia muncul dengan wujud transparan dan terkadang suaranya terdengar. Tapi ketika saya melupakan kesedihan dan memikirkan hal lain, ia akan menghilang dan lenyap di telan bumi.
Ketika saya sedih dan ingin hidup kembali di bumi, suaranya terdengar lagi. Puncaknya adalah, ia terlihat jelas ketika saya bersedih dan meneriakkan isi hati.. bahwasanya orang yang saya benci, adalah Barend Otte.
Ini baru dugaan saya saja, tapi sepertinya para hantu memiliki frekuensi yang berbeda untuk dapat melihat satu sama lain.
Ketika saya tak berada dalam suasana hati yang sama, frekuensi kami menjadi berbeda dan itu yang menyebabkan saya tak dapat melihatnya. Tapi ketika saya berada dalam suasana hati yang sama dengannya, frekuensi kami menjadi sama dan itu yang menyebabkan saya dapat melihatnya.
Bisa jadi juga, gelombang frekuensi setiap hantu di tentukan oleh suasana hati, emosi dan juga perasaan satu sama lain.
Yang membuat saya yakin adalah.. pertama kali mati, tentu saja saya akan merasa kebingungan dan itu juga terjadi pada Yuk Yeni yang merasakan hal yang sama. Persamaan itu membuat kami menjadi satu frekuensi, hingga saya bisa melihatnya di atap plafon.
Di waktu berikutnya, tentu suasana hati kami berubah hingga tak dapat saling melihat satu sama lain. Ini di karenakan emosi antara perempuan dan lelaki yang berbeda.
Laki-laki lebih senang mencari solusi atas permasalahan yang terjadi, sementara perempuan cenderung menangisi atau meratapinya. Perbedaan ini membuat kami tak sefrekuensi. Jadi kami tak bisa saling melihat lagi.
Dan di waktu berikutnya, saya mulai menyadari kematian ini dan meratapi. Persamaan emosi ini membuat saya bisa melihat Yuk Yeni, dalam artian.. dugaan ini paling tepat. Hantu, memiliki frekuensi yang berbeda untuk dapat saling melihat dan berkomunikasi.
Jadi begitu. Itu adalah kesimpulan paling masuk akal ketimbang waktu kematian yang sama untuk dapat saling melihat satu sama lain. Tapi, tak ada salahnya untuk menguji hipotesis yang ada.
"Kenapa bisa begitu?? Saya tak melihat Ayuk di ruangan ini?" ujar saya. Ia terdiam, dengan tatapan yang kurang bersahabat. Saya ikut terdiam, sepertinya ia tak senang dengan saya. Jadi, apakah saya harus memanipulasi perasaannya?? Sepertinya..
"Saya senang.. Akhirnya bisa melihat sosok lain selain saya. Saya kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan. Saya sendirian, dan tak bisa melihat siapapun disini." Ia mengernyitkan alis, dan sebentar lagi pasti akan mengatakan sesuatu pada saya.
"Aku bisa melihat banyak gadis di luar sana. Ratusan! Dan mereka semua menangis karena mati dan jasadnya menghilang serta tak di kebumikan dengan baik." tukasnya.
Saya menahan senyum. Benar kan, dia bicara.. dan lumayan bisa saya telusuri maksud ucapannya.
Dia bisa melihat banyak gadis, tapi saya tidak. Mereka pasti memiliki perasaan yang sama karena di bunuh oleh orang yang sama, dalam situasi yang sama, dan sama-sama gentayangan serta kebingungan. Tentu saja getaran emosi mereka serupa, menyebabkan mereka berada dalam titik frekuensi sejenis.
Di sini saya masih harus banyak belajar jika ingin bertemu dan melihat makhluk-makhluk lain. Intinya hanya pada empati dan pengendalian emosi. Yaah, meskipun bersikap empati itu sangat sulit untuk saya lakukan. Itu kelemahan saya, saya tak berjiwa sosial dan tak punya rasa manusiawi. Saya berinteraksi jika itu menguntungkan bagi saya.
Suara isak tangis Yuk Yeni mulai terdengar, saya mengangkat kepala dan menatapnya. Bibirnya bergetar dan berusaha ia rapatkan. Ia menatap saya dengan sadis dan tak berkedip. Wajahnya memerah, seperti menahan marah tapi sebentar lagi kemarahan itu hendak di keluarkan olehnya.
"Semasa hidup, aku selalu melihat para siswi yang menghilang.." Ia mulai bergumam. "Kakak kelas, adik kelas, teman seangkatan, teman sekelas, dan sekarang.. aku sendiri yang mengalaminya.. Aku sendiri yang mati dan di bunuh oleh orang itu.."
"Aku yang mati! Dari sekian banyak orang berinisial Y, aku yang ikut mati bersama inisial Y yang lain!!" Ia memukul dadanya sendiri.
"Aku mati!!" suaranya mulai terdengar tidak stabil dan kacau.
"Di bunuh oleh iblis itu.. oleh ayahmu!!" Ia mulai memekik.
"Ibuku mencari uang untuk menghidupiku. Tapi aku malah di bunuh!! Huhuuu.." Saya mengerjap mendengar ucapannya yang kali ini terasa sampai ke dada.
"OLEH AYAHMU!! ANAK PEMBUNUUUUUH!!!" pekikannya lantang dan panjang. Suaranya seperti pengeras suara untuk memperingati bencana alam. Telinga saya kesakitan. Ketika saya hendak menutupnya...
Duuuumm!!
Ia melemparkan benda aneh semacam energi yang berbentuk padat ke arah saya, dan dengan sigap saya menghindari itu karena dapat melihatnya dengan jelas.
Saya menoleh ke belakang, menatap kursi yang patah karena perbuatannya. Tiba-tiba saja ia berteriak dan mencengkeram kepalanya usai melakukan hal tersebut. Dia seolah mendapat hukuman karena telah merusak barang milik manusia, sebagaimana saya yang di hukum karena berusaha menyentuh Yuk Arsya.
Sepertinya, hantu memang tak boleh berurusan dengan manusia. Entah itu menampakkan diri ataupun merusak barang.
"Anak pembunuh katamu?" suara saya terdengar garang, membuatnya sedikit menciut. "Mana ada, orang tua yang membunuh anaknya. Saya ini di bunuh!! Saya juga mati, sama denganmu! Lantas kau ingin adu nasib di sini???" Saya memekik, membuat Yuk Yeni menutup wajahnya sendiri.
"Bukan.. Bukan begitu... Huuu.." Ia tersedu, demi apapun hati saya benar-benar terbuat dari batu. Tak ada perasaan iba sedikitpun. "Di rumah.. ada ibuku yang menunggu di rumah. Ibu yang menunggu kepulanganku di rumah. Ibu yang selalu mencintaiku. Ibu yang selalu tersenyum menatapku. Aku punya seseorang yang menantikan kepulanganku. Kalau begini caranya, bagaimana cara supaya aku bisa pulang? Aku terkurung di tempat ini dan tak bisa kemana-mana."
Ia menghapus air matanya dengan kasar. "Ada yang menungguku di rumah. Dengan harap cemas dan gemetaran. Aku ingin melihatnya walau sebentar. Bagaimana perasaannya ketika mendapat kabar kematian ku? Bagaimana hancurnya perasaan seorang Ibu yang mendapat kabar begitu."
"Ia mencari uang, banting tulang, karena begitu menyayangiku. Ia tak ingin aku tak jajan dan tak bisa memakan nasi. Ia tak ingin bajuku berbeda dari orang lain. Ia bekerja, tapi aku malah mati.." ucapnya lirih.
"Kau mana paham, kau terlahir tanpa sosok seorang Ibu, dan di besarkan oleh iblis pemakan darah, kan?" Ia berteriak, dan sungguh... Perkataan terakhirnya menyakiti perasaan saya.
"Kau mana paham rasa sakit hati ketika telah menyakiti Ibumu. Hiks.." Ia kembali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan yang di rentangkan.
"Kau bicara tentang Ibu pada orang yang tak memiliki Ibu?" Ia terhenti dan menatap saya. "Kihihihi.. Ternyata saya baru tau, perempuan itu adalah makhluk egois yang hanya memikirkan perasaannya sendiri." Ia tercekat mendengar perkataan saya, atau bahkan ia terkejut melihat wajah saya.
Tes..
Tes.. Tes..
Bulir air mata menetes dari ujung dagu, meski bibir saya tersenyum lebar. Memangnya siapa yang ingin terlahir tanpa sosok seorang Ibu? Memangnya saya yang meminta di lahirkan tanpa Ibu? Menjadi kurang ajar dan tak sopan begitu?? Memangnya, itu kemauan saya??
Saya juga ingin, di tunggu kala pulang, dan di berikan kasih sayang seperti anak-anak pada umumnya. Anak yang terlahir dengan menyusui air susu Ibu, mana tahu rasanya menjadi anak sapi seperti saya?
Kedua tangan saya bergetar, menahan perasaan ini. Tiba-tiba saja banyak sosok di luar ruang seni menatap ke arah kami.
Saya..
Saya bisa melihat banyak hantu sejenis di luar sana, dan mereka menangis melihat perdebatan dua hantu yang baru saja meninggalkan dunia ini.
"Hantu wanita.. keluarlah.. Jangan dekati hantu itu lagi. Karena orang tuanya lah.. kita menjadi seperti ini. Jangan bicara padanya dan jangan hiraukan dia lagi." ucap sesosok makhluk di antara mereka.
Yuk Yeni terdiam, ia berbalik dan terbang memunggungi saya. Ia melewati ambang batas pintu gudang, yang sama sekali tak bisa saya masuki. Dan kini, meski berhasil melihat para hantu dan berada dalam frekuensi yang sama.. saya tetap di tinggalkan seorang diri. Tak ada bedanya seperti ketika saya masih hidup.
Sefrekuensi, sama.. tapi mereka membedakan saya.
.........
Waktu terasa melambat, tapi matahari sudah mulai menenggelamkan dirinya. Sebentar lagi malam, dan saya tak tahu apa yang harus di lakukan. Berapa lama saya tinggal di sini?? Apakah selama-lamanya??
Dalam hening, saya mendengar suara sandal yang terseret seolah menuju ke tempat ini. Tergopoh, dan baunya agak manis. Sama seperti bau Yuk Arsya, tapi rasanya berbeda.
"Mana.. di mana anakku!!" suara menggelegar itu membuat saya terkesiap. Suara seorang wanita dengan tangis yang tersedu.
Saya yang sedang bertengger di atas lemari pun turun dan terbang ke arah pintu, tepat ketika seorang wanita paruh baya ini muncul dan membuat saya terkejut.
Matanya sembab dan ia berlari tergopoh dengan selembar kertas di tangannya. Ia terlihat panik dan celingak-celinguk menatap ke dalam ruang seni.
"Anakku?!" pekiknya, tapi tubuh itu terhenti dan terduduk lemah di atas lantai. "Ini adalah ruangan terakhir. Ibu sudah berkeliling untuk mencari keberadaanmu, Yeni. Kamu dimana, nak? Kamu gak mungkin ninggalin Ibu, kan?" gumamnya lemah dan tak berdaya.
Saya mencoba mendekatinya, dan terbang ke hadapannya. Napasnya tersengal dan saya bisa mendengar suara kelelahan darinya. Apakah.. dia berlari untuk mencari dan menemukan anaknya??
Jadi.. jadi ini seorang Ibu yang di ceritakan oleh Yuk Yeni tadi?
Tatapannya khawatir, sedih, hancur dan kesepian. Harapannya seolah hilang dan lenyap. Ia menangis dengan tubuhnya, tapi jiwanya tak terlihat.. seperti tertinggal di suatu tempat.
Apakah ia sesedih ini?? Lebih hancur daripada Yuk Arsya tadi?
Jadi, begitu ya rasanya di khawatirkan seorang Ibu?? Sepanik dan sehancur ini?? Meski Yuk Arsya juga mengkhawatirkan saya, tapi.. jelas terlihat berbeda. Antara kasih Ibu, dengan kasih saudara kandung.
"Tante..." Saya menyapa pelan, meski tahu kalau Ibu ini tak akan bisa mendengar suara saya. "Kau hancur? Hatimu sehancur itu?? Bahkan jiwamu tak disini.. ragamu kosong dan tak berarti."
"Saya bisa melihat kehancuran mu. Ternyata menjadi gaib itu bisa melihat dan merasakan perasaan manusia sepeka ini. Saya.. bisa merasakan perasaanmu." tutur saya.
"Yenii... Anakku.. Pulang, nak.." pintanya memohon, pada apa yang sama sekali tak saya ketahui. Ia seolah tahu anaknya telah tiada, tapi tak mempercayai hal itu sebelum bertemu dengan jasad anaknya, sama seperti Yuk Arsya tadi. Dan saya juga merasa, ia ikhlas dan berharap sang anak bisa mendengarkan suaranya.
Saya menoleh sekeliling, mencari sosok Yuk Yeni yang dengan kompak memusuhi saya dengan para hantu yang lain.
"Tante.. anakmu tak di sini. Apakah kamu ingin menyampaikan sesuatu? Sampaikan saja pada saya, akan saya katakan nanti padanya." Saya berucap.
"Ibu rindu kamu, nak. Kamu masih hidup kan? Pulang, nak.. pulang. Apa kamu ingin Ibu masak lempah darat? Atau lempah kuning? Katakan pada Ibu, Ibu akan memasaknya. Tapi kamu harus pulang.. ya.." Ia terisak ketika mengatakannya.
"Kalau pun kamu tak ada, Ibu harus bagaimana? Kamu adalah harta Ibu satu-satunya. Anak bungsu Ibu. Anak kesayangan Ibu. Yang sudah besar pun masih tidur dan manja pada Ibu. Ibu.. hiks, Ibu merindukan suara dan kehadiranmu." ucapnya dengan suara berat, nyaris tak terdengar.
Sesaat setelahnya, ia jatuh terkulai di hadapan saya. Tepat di hadapan lemari dan linangan darah yang telah mengering.
Ia terisak dan mencium darah saya dengan bibirnya, sebelum pingsan dan tak sadarkan diri.
Ketika ia melakukan hal tersebut, tiba-tiba saja roh saya bergeming. Bergoyang bagaikan gelombang air, yang lantas tersedot dalam dimensi aneh, dan terlempar pada sebuah ruang kosong berwarna hitam-putih.
Saya mengernyit bingung, karena perpindahan tempat ini begitu signifikan. Dari gudang, ke ruangan kosong. Lalu, tempat apa ini?? Kenapa saya bisa berada di sini??
"Yeni... huu.. huuu.. Yeni.."
Suara itu terdengar lagi. Saya terbang dan mencari asal muasalnya. Di antara ruangan gelap serupa rumah petak berdinding hitam, ternyata, saya kembali melihat sosok Ibu-ibu tadi, tapi anehnya kali ini ia seolah ikut menatap saya.
"Siapa kamu?" tanyanya, tentu saja saya tersentak dan menoleh sekeliling.
"Saya?" tanya saya sambil menunjuk diri sendiri.
"Kamu siapa? Kamu teman Yeni? Kamu datang kesini untuk menyelamatkan Yeni? Iya kan? Kamu mau menunjukkan dimana Yeni berada? Sekarang dimana dia? Ada di belakangmu? Atau sedang bersembunyi untuk memberikan kejutan?" Ia terus melempari saya dengan banyak pertanyaan.
Saya menggeleng. "Kamu sendiri pun tahu, Tante.. kalau Yuk Yeni sudah tidak ada di dunia ini." tukas saya. Keterlaluan kah? Tapi lebih baik berbicara jujur dari pada membohonginya.
"Jadi.. jadi anak tante meninggal? Dia benar-benar meninggal?" suaranya nyaris tak terdengar. "Siapa.. siapa yang membunuhnya? Siapa yang tega melakukan rentetan kasus ini? Siapa yang telah memakan banyak tumbal termasuk Yeni? Siapa?!" Ia memekik, dan menatap saya penuh kehancuran.
Perasaan saya bergeming, seolah tertampar ketika tahu kalau Tante ini benar-benar tersakiti karena Ayah saya sendiri.
Saya menunduk dan terbang ke arahnya. "Saya tahu siapa pelakunya.. Tante, saya mohon tenang.. dan tunggu lah. Kebenaran pasti akan selalu menang, meski saya pun tak tahu kapan. Tapi tenanglah, saya berjanji.."
"Saya berjanji kalau saya bisa menemukan dan menangkap si pembunuh itu. Saya janji akan menghentikan kasus ini. Saya berjanji, dan saya mohon.."
"Ingatlah wajah saya ini. Saya tak akan berbohong dan akan memegang janji ini. Saya akan menangkap pembunuh itu, dan mengakhiri semuanya."
"Saya, yang akan melakukannya sendiri."
.......
.......
.......
.......
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Ira Resdiana
woooo...janjinya adam, nitis ke agam ... 2 wujud anak laki²
2024-11-04
0
Aliz
kasian kun😟
2023-04-28
1
Mrs.Helio Tropium
saking sayang nya sama Agam,anaku yg ke 2,ku kasih nama Agam 😍
2023-02-03
0