Krieeet... Kriiieeet..
Suara gesekan kuku pada lemari berwarna coklat yang merupakan jalur keluar masuk si iblis Ludira kini malah saya gunakan untuk bertengger di atasnya.
Saya masih bingung dengan ini, pun ini menjadi momok yang sedikit menakutkan bagi saya. Pertanyaannya sederhana tapi sulit sekali untuk percaya.
Apakah...
Apakah saya benar-benar sudah mati??
Lalu di mana saya sekarang? Kenapa saya.. saya berada di ruangan seni yang tampak berantakan?
Sesungguhnya ruangan berantakan ini sudah menjadi bukti kuat, kalau kejadian pembunuhan yang di dalangi oleh Ayah itu sungguhan terjadi.
Saya mati, dan pembunuhnya adalah Ayah saya sendiri. Sama seperti dugaan saya sebelumnya.
Cakaran kuku saya terhenti, kini bibir pun terasa bergetar ketika berusaha menerima semua ini. Kesakitan menjelang maut kemarin tak bisa saya katakan sebagai mimpi. Itu nyata, dan saya...
Telah mati??
"Apa.. apa yang harus saya lakukan?"
Suara itu terdengar lirih. Sesak dan penat berkumpul di dalam relung hati, dan saya masih bisa merasakan sakit. Kalau saya betulan roh, apakah roh bisa sakit??
Kepalan tangan pucat saya tempelkan pada dada, berusaha menahan segenap rasa. Tapi satu lagi tamparan keras yang menyadarkan saya, kala mengetahui tak ada lagi debaran keras di dalam dada.
Tunggu!! Kemana jantung saya?? Kemana debarannya?? Mati?? Saya bisa mati kalau dia berhenti??
Saya panik dan merogoh dada saya, lagi-lagi hal ini kembali membuat kalang-kabut. Dada bahkan perut saya tak naik turun atau kembang kempis? Saya meletakkan telunjuk ke bawah hidung, tak ada hembusan angin berarti. Sama sekali tak ada perasaan itu sama sekali.
Sulit untuk mengatakan rasanya, tak ada debaran jantung dan napas. Tak ada nadi yang berdenyut. Tak ada darah yang mengalir ke seluruh tubuh. Tak ada!! Semua itu tak ada!
Kemana?? Kemana perginya fungsi paru-paru? Kemana perginya fungsi Jantung?? Kemana??
Sambil terus menekan dada dan perut, saya merasa kalut dalam kepanikan. Saya bahkan memukul dada agar jantung ini terkejut dan berpacu.
Mana?? Kenapa saya tak bernapas?? Kenapa dalam kegugupan ini jantung saya tak berdebar? Harusnya napas saya berderu, naik turun! Sebagaimana air mata yang telah berkumpul di pelupuk mata dan bersedia jatuh. Setiap menangis, paru-paru harusnya kembang kempis.
Kenapa??
Kenapa???
Kenapa ini terjadi??
Apakah ini rasanya mati?? Kenapa?? Kenapa jadi seperti ini?? Dan kenapa saya tak di tempatkan ke alam lain? Sebanyak apa dosa saya? Apakah semasa hidup, amalan saya tak cukup? Atau.. atau mulut ini selalu menyakiti perasaan orang lain?
Apa jangan-jangan, akhirat itu wujudnya seperti ini?? Seperti dunia? Lalu, di mana para malaikat??
Saya mendongak ke atap plafon yang berjarak lima senti dari atas kepala. Bukankah tadi ada seorang wanita di atas? Apakah malaikat wujudnya seperti itu??
Saya menggeleng keras. Jangan konyol Adam!! Kamu tahu agama dan dia jelas-jelas semacam jin kafir yang menyerupai manusia, atau roh yang gentayangan? Tak ada rupa malaikat seperti mereka.
Di atap lemari ini terasa gamang. Saya memang menapak dan duduk di atasnya, tapi rasanya seperti di awang-awang. Kulit tak menyentuh seluruhnya. Tubuh ini sungguh ringan, membuat saya harus menyesuaikan diri agar tak terbang tanpa batas dan melampauinya seperti tadi.
Saya menunduk, menyadari bercak darah yang bercipratan di beberapa bagian lantai ruang seni. Kanvas yang patah, kursi dan meja yang berhamburan.
Ini nyata. Sungguh nyata. Setiap melihat tempat berantakan ini, kerongkongan saya tercekat, teringat bagaimana saya di bunuh. Saya memejamkan mata sesaat dan duduk berjongkok memeluk lutut. Namun tiba-tiba...
"Gyaaaaaaah!!!" Saya meneriaki diri saya sendiri. "Baju partai apa yang saya kenakan ini?? Warna putih, lusuh dan sedikit kotor. Baunya seperti taik cicak yang masih basah. Huuek!!" Saya merutuki diri.
"Gyaaaaaaah!!" kali ini teriakan yang sama terjadi lagi. Bahkan saya telah lupa kalau sebelumnya hampir menangis. "Celana pendek apa ini?? Baju longgar? Celana pendek?? Baju longgar? Celana pendek??" Saya menggeleng untuk menghentikan ocehan. Kenapa juga saya berubah jadi kaset rusak??
Dalam kebingungan, saya merasakan sesuatu yang menambah keanehan. Tiba-tiba saya tersentak dan hidung ini menerima suatu aroma yang tak di ketahui.
Saya mengendus, berusaha mencari tahu apa yang telah tertangkap oleh indra penciuman. Aroma macam apa ini??? Wangi, seperti bau makanan. Liur saya tanpa sadar hampir menetes.
Kruyuuuk...
Perut saya berbunyi. Aneh? Mati tapi bisa kelaparan juga?? Tidak ada fungsi jantung, tidak ada fungsi paru-paru, tapi kenapa lambung masih bereaksi??
"Sudah pasti ini hanya mimpi, kihihihi.. UPH!!" Saya langsung membungkam mulut, ketika merasa aneh dengan suara tertawaan saya sendiri. "Kenapa?? Kenapa kihihihi??" gumam saya dengan kernyitan. Aneh, tapi terjadi sendiri.
Tap.. Tap.. Tap..
Suara langkah kaki terdengar mendekati ruangan. Semakin lama semakin jelas. Saya memejamkan mata untuk merasakan, dan memasang telinga lekat-lekat agar bisa mendengar dengan seksama.
Suara ketukan sepatu tebal berjalan dengan cepat dan gagah, begitu ramai. Siapa ini?? Kearah sini?? Mendekat ke sini??
Kriiiiieet...
Mata saya terbuka, seiring dengan pintu yang ikut terbuka. Beberapa orang berbadan besar, tinggi, dengan perut seperti orang hamil, wajah yang tegas dan dada bidang masuk berurutan ke dalam.
"Polisi gendut?!" pekik saya senang. Saya hendak beranjak menghampiri, tapi lagi-lagi saya lupa kalau tubuh ini begitu ringan.
"Gyaaaaaaah!!" Saya terbang melayang bagaikan balon besar yang di keluarkan anginnya. Kesana-kemari, tak tentu arah.
Bagaimana cara mengendalikan tubuh aneh ini??? Susah sekali, padahal saya ingin memberitahukan semuanya pada mereka. Pasti para polisi ini sedang mencari keberadaan Ayah dan juga saya.
Tapi bagaimana?? Tubuh ini terpental-pental bagaikan jeli yang di tabok centong nasi. Menghantam atap, lantai, dinding kiri, kanan, depan belakang, dan terus terjadi tanpa henti.
Konsentrasi!
Apa yang harus di lakukan dalam kondisi seperti ini??
Kalau balon besar itu di lepaskan anginnya, dan kalau layangan di putus talinya, mereka sama-sama akan melayang bebas. Cara untuk menghentikannya hanya satu.
TANGKAP DAN KENDALIKAN!!
Saya membuka mata seiring dengan teriakan, merasakan semacam rasa gamang yang aneh, seperti duduk di dekat benda bergetar cukup lama, lalu terhenti mendadak.
Zuuuummm!!
Saya terpaku usai membentak diri dalam hati. Bahkan karena itu, tubuh ini sungguh berhenti. Oke! Cukup bagus untuk permulaan. Terasa tak nyata dan membingungkan.
Saya menjaga keseimbangan, bagaikan berdiri di atas papan seluncur renang, tapi ini bukan air melainkan udara.
Kalau jatuh, saya tak akan tenggelam, tapi saya juga tak mau mencium lantai. Kalau para polisi sepatunya menginjak taik ayam bagaimana??
"Sepertinya dia sudah meninggal dunia."
Perkataan itu lantas membuat saya terkesiap usai sibuk sendiri. Saya menoleh, menatap para polisi yang menyebar ke sekeliling ruangan dengan posisi duduk, berdiri, bahkan jongkok, mengamati setiap kerusakan serta bercak darah yang di buat si iblis semalam.
"Apa? Secepat itu kamu bilang saya mati? Cari lah lebih dulu, banyak sekali hal yang saya tinggalkan sebagai bukti!" pekik saya, kesal.
Beberapa orang polisi datang dari luar dengan napas berderu. "Lapor Pak!!" Mereka memberi hormat pada seorang polisi yang perutnya paling besar. "Kami sudah mencari ke seluruh penjuru sekolah, di bantu Wanto, tapi tidak di temukan tanda-tanda keberadaan anak itu."
Nyuuuut!! Dada saya serasa tertusuk. Rasa panik dan sedih bercampur aduk. Baru kali ini saya bisa merasakan kepanikan yang sama seperti yang di rasakan orang lain.
"Tidak!! Lihat CCTV!! Lihat!!" Saya masih menyergah, melakukan hal konyol seolah-olah dapat di dengar oleh mereka.
Polisi gendut terdiam sejenak. "Sekolah yang di dirikan oleh Tuan Barend Otte ini telah menggunakan sistem canggih dari CCTV karena maraknya kehilangan siswi di sekolah serta kerusuhan yang terjadi di seluruh Indonesia, jadi.. segera periksa rekaman CCTV!" perintah si polisi gendut yang sepertinya adalah kepala polisi.
Saya sedikit lega mendengar perintahnya. Setidaknya dia tak berpangku tangan seperti yang sudah-sudah, dan dengan gamblang berkata para siswi mati setelah keberadaannya tak di temukan.
"Maaf, pak.. Tapi, terdapat kendala yang terjadi." sahut bawahannya.
"Kendala seperti sebelumnya?" tanya kepala polisi, dan mendapat anggukan dari anggotanya.
Apa?? Kendala macam apa yang mereka maksud?
Ia menghela napas pasrah. "Tim forensik polri apakah sudah sampai ke lokasi?? Segera bertindak sebelum matahari terbit!!" titahnya lagi.
Saya masih mengambang di tempat dengan harap cemas, melihat usaha mereka dalam pengungkapan kasus yang pada akhirnya terjadi pada saya.
Rasanya tak percaya, mati dan melihat orang-orang sibuk mencari saya. Padahal sebenarnya, saya berada di hadapan mereka.
Beberapa orang datang dengan baju hitam serta tulisan tim forensik berwarna kuning di belakangnya. Mereka membawa peralatan dan mulai memeriksa sekitar ruangan.
Saya hanya diam, karena bicara pun tak akan di dengar oleh siapapun. Saya berdoa setiap mereka melakukan pergerakan dan menyentuh barang-barang yang sudah saya isyaratkan sebagai bukti siapa pelaku pembunuhan.
Puncaknya, seluruh tim yang terbagi-bagi tadi datang dengan menyimpulkan hasil penyidikan, bahwa...
"Korban yang bernama Adam Suganda, dinyatakan tewas tanpa di temukan jasadnya. Sama seperti yang telah terjadi pada kasus-kasus sebelumnya. Jadi, hentikan penyelidikan ini." ucap kepala kepolisian.
Saya tersentak kaget. Air mata tak dapat keluar dan tertahan di dalam hati saya. Rasanya sakit dan melelahkan. Tercekat berat di antara kerongkongan.
Apa-apaan mereka?? Secepat itu menghentikan penyelidikan?? Saya baru saja memujinya karena masih berusaha melacak keberadaan, pada akhirnya nasib saya sama saja dengan para siswi yang meninggal.
Mati..
Hilang..
Dan di lupakan.
Saya terbang panik ke arah mereka, mendekati salah seorang polisi dan menatap harap ke wajahnya. "Tidak!! Saya di sini!!" pinta saya dengan suara bergetar.
"Tolong cari tubuh saya!! Kalau pun saya mati, setidaknya cari tubuh saya!" suara saya mulai terdengar berat. "Pasti karena itu saya masih berada di dunia ini. Saya tidak tenang!! Ayo cari tubuh saya!!! Saya mohon!!" Saya memelas, berteriak dengan nada suara yang sama sekali tak keluar.
Pada akhirnya, saya gugur dan turut menjadi korban karena berusaha ikut campur. Rasanya hancur dan menyedihkan. Saya memang terbiasa mengabaikan orang lain, tapi baru kali ini..
Baru kali ini saya menyesal karena tak bisa berinteraksi dengan orang lain.
Mereka...
Mereka tak mendengarkan ucapan saya? Mereka tak bisa mendengarnya. Ini alam yang berbeda?? Tapi kenapa saya masih bisa melihat mereka??
Sungguh, Al Qur'an itu benar adanya. Bahwasanya perbedaan antara dunia manusia dan dunia jin, hanya setebal kulit bawang. Dimana mereka tak dapat melihat, tapi saya bisa melihat mereka.
"Ayo, bereskan barang-barang kalian. Kita kunjungi Nona Arsya untuk memberikan informasi penyelidikan ini padanya dan tuan Barend Otte."
Saya menggeleng. Mulut saya mendower dengan air mata yang tiba-tiba menggenang. Bagaimana.. Bagaimana bisa semudah itu?? Kenapa mereka tak bersikeras sebagaimana saya yang bersikeras mencari dan menemukan bukti bahwa Ayah adalah pelakunya?
Ini adalah nyawa manusia, bukan kambing atau belalang kayu.
Kenapa?? Kenapa kebenaran selalu kalah?? Kenapa??
Saya memejamkan mata, dan merasakan aliran hangat dari air yang jatuh di pipi. Roh.. bisa menangis?? Dan tangisan ini, terasa sangat menyakitkan ketimbang semasa hidup.
Kriiiieeet....
Suara pintu terbuka, seiring dengan kedua mata yang ikut terbuka pula. Pencahayaan luar menerobos masuk ke dalam ruangan, tidak.. ini bukan cahaya lampu. Bukan sama sekali.
Terang, hangat, dan aromanya... begitu manis. Ketukan sepatu tepleknya mengingatkan saya pada seseorang.
Saya...
Terdiam?
Terdiam memandang wajah wanita yang sungguh saya kenal dengan baik. Pupil mata membesar, begitu juga dengan bingkainya. Saya terpaku dengan mulut menganga.
Ia datang, dengan rambut lepek dan berantakan, saya menatap wajahnya, tanpa polesan lipstick di bibir dan bedak di wajahnya, lagipun matanya sembab dan membengkak.
Kedua matanya melebar, menatap satu orang tapi terlihat kosong dan kacau.
"Mana?? Dimana adik saya?!" Ia memekik dengan air mata yang berjatuhan, berjalan cepat menuju kepala kepolisian dan menarik kerah bajunya
"Yuk Arsya?" Saya bergumam.
"DIMANA ADIK SAYA?!" suaranya memekik, dan saya merasakan kehancuran di dalam hati, melihat ia sekacau ini. "Dimana adik saya? Adik saya!!! Adam!!" Ia menangis sambil menarik dan menghentakkan baju kepala kepolisian, meski tubuh pria buncit itu tidak bergeming.
Polisi tersebut pasrah, begitu pula dengan ekspresinya. Ia memejamkan mata, seolah tak tega untuk mengatakan semua ini pada Yuk Arsya.
Polisi itu menarik napas dan menghembuskannya. "Mohon maaf, Adam.. telah menjadi salah satu korban menghilang tanpa jasad." Yuk Arsya menggelengkan kepalanya. "Kami telah memeriksa hasil rekaman CCTV, namun para anggota mengalami kesurupan massal di ruangan CCTV, untuk itu penyidikan kamera pengintai kami hentikan." wajah Yuk Arsya terlihat jelek dan masam.
"Kami telah meminta bantuan penjaga sekolah seperti biasanya, serta menyelidiki ke semua ruangan di sekolah ini, tapi tak di temukan tanda-tanda keberadaannya."
"Puncaknya adalah, tim forensik kami telah memeriksa darah yang berceceran di ruangan seni serta di kanvas dan beberapa bagian lantai. Di duga, darah ini telah keluar beberapa jam lalu, perkiraan kami adalah sekitar jam dua belas malam tepat. Kerusakan barang-barang di tempat ini juga menjadi tanda kalau telah terjadi penganiayaan atau pembunuhan di tempat ini. Jadi, mohon maaf.. Dengan sangat menyesal kami menyatakan.." Ia terdiam sesaat, seolah tak mampu untuk mengatakannya.
"Kalau Adam dinyatakan meninggal dunia dalam kejadian in-"
"Huaaaaaa!!!" teriakan keras memekik, menghentikan ucapan si polisi.
Saya terkesiap, ketika pekikan kuat Yuk Arsya serasa memecahkan telinga, begitu juga dengan yang di rasakan semua orang di ruangan ini, mereka menutup telinganya masing-masing. "Adikku!! Adikku, Adaaam!! Kamu di mana sayang?? Adaaaam!!" Ia memekik sejadi-jadinya membuat wajahnya memerah padam, hingga tubuhnya terkulai dan hampir jatuh.
"Nona, nona Arsya.. Berhati-hati lah. Anda sedang hamil besar. Tolong tenanglah." pinta mereka sambil menghampiri Yuk Arsya.
"Adaaaam... Adaaaam!! Adaaaam!!" Ia terus memanggil nama saya, membuat perasaan saya semakin hancur dan merasakan kesakitan. Para polisi panik dan menenangkannya.
Saya mematung. "Yuk Arsya.. jangan begitu.. Jangan berteriak begitu. Saya menyayangimu." gumam saya dengan suara aneh. "Maafkan saya yang pergi lebih dulu. Maaf.. Maafkan saya.. Saya gagal mengungkap dalang di balik semua ini."
"Maaf kalau telah membuatmu menangis dan hancur. Saya telah gugur, dan saya.."
"Saya.."
"Huaaaaa..." Saya ikut memecah tangis. Sungguh, saya tak bisa menahan perasaan ini. Sama sekali tak bisa.
"Saya tuntut kalian semua kalau tak menemukan adik saya!! Saya tuntut kalian semua!! Cari!! Kemanapun cari adik saya!! Dia masih hidup!! Kalau tak ada jasadnya, artinya dia masih hidup!! CARIIIIIII!! CARI DIAAA!!" pekikan suaranya bertambah kencang dan menjadi-jadi. Ia kini lebih terlihat seperti orang gila dan tak sadarkan diri.
"Ah?!" tiba-tiba saja Yuk Arsya terhenti, ia menahan perutnya dengan wajah yang pucat pasi. Darah keluar dari lantai yang ia duduki. Dan terus terang saja, aroma darahnya...
Sangat manis.
"AYUUUK!!" Saya memekik panik dan terbang ke arahnya dengan baik, padahal sebelumnya saya tak mampu melakukannya. Ketika hendak menyentuh Yuk Arsya, tiba-tiba saja...
Duuum!!
Saya mengerang kesakitan. Kepala saya pusing dan tubuh saya terhempas jauh dari tubuh Yuk Arsya.
Saya beranjak panik, menatap kedua tangan saya sendiri. Kenapa?? Kenapa tubuh ini?? Sakitnya seperti terikat kuat dan terbelit. Kenapa?? Kenapa saya tak bisa menyentuh Ayuk saya sendiri?
"Nona!! Nona Arsya pendarahan!! Bawa dia!! Bawa dia kerumah sakit!!" pekik anggota kepolisian yang lain.
"Adaaaaaam... Adaaaaaam..." Ia masih menangis dan memanggil nama saya.
Para anggota kepolisian keluar dari ruang seni dan bergegas menggendong Yuk Arsya. Dengan sekuat tenaga, saya beranjak dan terbang melesat menuju pintu yang terbuka. Ketika panik, saya tiba-tiba saja bisa terbang dengan baik.
Namun, saat hendak melewati ambang pintu..
Duuumm!!!
Tubuh saya terpental seolah menabrak dinding, dan saya jatuh terpelanting ke dalam ruang seni lagi.
"A.. apa-apaan ini?? Bukankah hantu bisa menembus dinding? Tapi kenapa, saya tak bisa melewati pintu yang terbuka ini??"
.......
.......
.......
.......
...Bersambung......
.......
.......
.......
...Note :...
Cerita ini berlatar pada tahun 1998, saat tragedi kelam terjadi di Indonesia. Kenapa sudah ada kamera CCTV? Indonesia sendiri mengenal CCTV sekitar tahun 1995, dan penggunaannya pun hanya pada kantor – kantor besar, tetapi setelah terjadi kerusuhan Mei 1998 penggunaan CCTV semakin banyak. Jadi si Barend Otte yang kaya raya Sultan tajir membahenol udah pake CCTV buat sekolah elitnya yuaaaaaa!!!
Dan kejadian pembunuhan ini, tepat pada tanggal 11 Maret 1998.
Sekian terima gaji!!! 🥰
Semoga shopee-mu gratis ongkir
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
FebrryAna
super wings dongsss😂😂
terbang tanpa batas dan melampaui nya✈️✈️
2025-03-04
0
Ira Resdiana
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2024-11-04
0
Teni Fajarwati
🤣🤣🤣
2024-09-22
0