Meja yang semula berdiri dengan empat kaki, kini malah terbalik. Kursi tak lagi berada di tempatnya, bahkan ada beberapa yang patah. Lemari yang biasa saya duduki serta di pakai untuk menyimpan hasil karya seni siswa kini jatuh dalam posisi terbaring.
Hasil lukisan abstrak yang terbingkai dan digantung di dinding terlepas dan pecah berjatuhan di atas lantai. Tirai besar yang tinggi terlepas dari tiangnya. Sisanya, saya melihat para kepolisian berlindung di antara meja-meja dengan tubuh yang gemetar ketakutan.
Mereka menilik, menatap sekeliling lalu menyadari tentang suatu keanehan. Dimana lukisan milik saya masih berada tepat di tempatnya, tanpa bergeser sedikit pun. Itu bukan hal yang mengejutkan, karena posisi saya berada tepat di atas lukisan tersebut. Tentu saja ia tak menerima efek berlebih dari tenaga aneh yang keluar. Karena sepertinya, titik dari kekuatan penghancur tersebut adalah saya.
Mereka saling melirik dan menahan pandangan. Tak perlu membaca isi hati, saya pun sudah menyadari kalau mereka semua menganggap ini sebuah kejadian mistis. Gempa bumi? Angin kencang? Jangan bercanda, itu mustahil terjadi di satu ruangan saja.
Saya terdiam bingung. Air mata bahkan masih berlinang dan mata saya gunakan untuk menatap kedua tangan sendiri. Menatap kedua tangan pucat yang membuat saya tak percaya telah melakukan semua ini. Tubuh saya menjadi lemas dan lunglai, bahkan tubuh yang mengambang tak jauh dari lantai, kini terbang dua kaki di atas lantai. Volume tubuh saya berkurang tampaknya.
Kepala kepolisian menelan ludahnya. Ia yang pertama berdiri di antara yang lain. Ia tak melirik sekeliling, karena terlalu fokus pada sebuah lukisan, milik saya.
Ia berjalan mendekat, menunduk dan mengusap lukisan yang sedikit kotor karena noda darah yang mengering, serta percikan debu dan serbuk kayu akibat kekuatan dahsyat tadi. Ia sudah berkali-kali menyentuh lukisan itu, dan tanda yang saya berikan di belakang dan sisi lukisan pun telah ia abadikan melalui kamera. Tapi penglihatannya kali ini menjadi beda, seolah yakin kalau terjadinya semua ini ada hubungannya dengan saya. Saya masih ada?? Itu yang ada di pikirannya.
"Pa.. Pak, a.. apa yang terjadi?" tanya para bawahannya, kaget, bingung dan terlalu ketakutan untuk memahami situasi.
Kepala kepolisian tak bergeming, ia menahan pandangannya pada lukisan yang saya buat. "Nak.." sapanya, membuat saya menilik. "Apa kau, ada di sini?" lanjutnya. Pertanyaan kepala kepolisian itu membuat saya terbelalak bukan main, bahkan para bawahannya mengernyitkan dahi. Bisa-bisanya ia menanyakan hal semacam itu, dan membuat bawahannya bergidik.
"Pak, a.. apa maksud anda?" bawahannya masih tak mengerti, atau bahkan menolak untuk mengerti.
"Nak.." sapanya pelan, lagi. "Apakah ada suatu hal yang ingin kau tunjukkan pada kami?? Kami datang ke sini untuk mencari keadilan dan menghentikan semua ini. Apakah kau ingin keadilan itu muncul??" pertanyaannya membuat bawahannya saling melirik. "Tak ada gempa bumi atau angin topan, kerusakan ini.. apakah berasal dari amarahmu? Amarahmu yang menuntut keadilan? Yang marah karena pekerjaan kami terlalu lamban? Atau kau marah, karena telah membuat wanita yang kau sayang menderita?"
Mereka terdiam, sebagaimana saya pun ikut terdiam. Apa dia sungguhan?? Berbicara pada saya tentang hal ini??? Atau ada maksud lain dari pertanyaannya. Mungkin saja, ia ingin membuktikan sesuatu?? Apakah saya mati ataukah masih hidup??
"Kalau kau menginginkan semua itu.. tolong berikan tanda kalau kau memang ada di sekitar sini. Jatuhkan sesuatu sebagaimana kau menghancurkan tempat ini " pintanya lagi. "Aku memang tak mungkin bisa mengalahkan orang itu sendirian, tapi.. jika bersamamu.. aku yakin bisa melakukannya. Kau masih ada di dunia ini kan?? Kalau benar, tolong..." Ia menahan napasnya yang tercekat, "Tolong beri tanda kalau kau masih ada di sini. Kalau kau mendengarkan perkataanku ini, dan kalau kau.. ingin semua ini segera berlalu, tanpa adanya korban jiwa lagi. Tolong, jatuhkan sebuah benda, atau geser lukisanmu ini." suaranya terdengar berat, seolah-olah tak sanggup lagi untuk menghadapi segalanya sendirian.
Saya terdiam. Lebih memilih berpikir ketimbang melakukan apa yang ia inginkan. Saya tak ingin bertindak ceroboh seperti tadi. Meskipun tadi adalah ketidaksengajaan, tapi saya tak harus melakukannya lagi. Pun saya tak mau larut dalam perasaan yang mereka buat. Para kepolisian ini memang bukan aktor sinetron yang pandai berakting, tapi.. mereka jago dalam permainan mental dan psikologis. Dan apakah mereka mengira, saya yang masih berumur enam belas tahun bisa di percaya oleh keinginan mereka? Oleh angan-angan kosongnya?
Secara logika, apa yang akan mereka lakukan ketika saya benar-benar menjatuhkan barang dan menyatakan kalau saya benar-benar ada? Pasti mereka hanya ingin memastikan kehadiran saya, bahwa benar adanya kalau saya sudah mati dan akan menyampaikan informasi ini pada Yuk Arsya agar mereka berhenti mencari. Dan mungkin saja, mereka akan melakukan pembersihan tempat karena takut akan kemampuan saya yang tiba-tiba muncul dari mana. Mereka juga pasti tak ingin hal ini bisa mengganggu pelajar yang lain. Atau bahkan membuat kekacauan lebih parah.
Kalau pun mereka benar-benar ingin membantu saya, kenapa mereka mengabaikan saya ketika masih hidup? Menganggap saya 'bocah cacat bicara' yang seenaknya? Kalau sejak awal mereka membantu saya, maka keinginan pak kepala kepolisian ini akan saya turuti. Tapi, kembali lagi pada sifat manusia. Mereka bertindak begitu, hanya karena ada keuntungan sepihak.
Ingin menghentikan pencarian, dan ingin membersihkan seluruh tempat.
Kalau tempat ini di bersihkan, kemana saya akan pergi??
Kepala kepolisian ini terdiam sambil mengamati sekeliling dengan lirikan matanya. Posisinya masih berjongkok, namun seperti siap siaga jikalau saya memberikan ultimatum pada mereka.
"Tak ada tanda-tanda kehadirannya? Apakah tadi itu sungguhan gempa bumi, ataukah ada sesuatu yang lain? Aku harus memastikan apakah ada makhluk halus yang mungkin mengganggu pelajar di tempat ini. Kalaupun memang ada, aku harus memberitahu hal ini pada Wanto untuk mengadakan pembersihan." gumamnya dalam hati.
Saya mendengkus mendengar batinnya. Ternyata benar kan apa yang saya duga. Tak perlu membaca isi hatimu pun saya sudah tahu kalau kau berniat melakukan hal seperti itu.
Itu hal yang wajar. Kalau saya jadi dia pun saya akan melakukan hal serupa, melihat ulah saya ini menyebabkan kerusakan yang lumayan parah di seluruh ruangan. Bukankah menyeramkan, melihat benda-benda hancur oleh makhluk tak kasat mata? Jujur, itu sebenarnya menyeramkan.
"Pak, sepertinya tidak terjadi apa-apa. Mungkin saja memang gempa bumi. Atau bangunan ini bergeser karena fondasinya tidak kuat, dan menyebabkan benda di atasnya berguncang dengan hebat." tukas salah satu polisi, bawahannya.
Kepala kepolisian ini terdiam. Ia tak merasa kalau tindakannya tadi konyol setelah mendengar ucapan bawahannya. Karena ia.. sepertinya yakin kalau sejenis saya memang benar-benar ada. Tentu saja ia yakin, ia sudah menangani kasus ini lumayan lama, dan tentu saja akan merasakan kejanggalan yang sama. Kesurupan, di ganggu kala penyelidikan, sampai pada kematian.
Tapi jika ia ingin menyingkirkan saya, maka saya tak akan tinggal diam. Ini adalah kediaman saya. Tempat tinggal saya yang sekarang! Kalau saya di usir, kemana saya akan tinggal?? Hidup bersama Tamusong?? Aaah, membayangkannya saja sudah melelahkan.
Kepala kepolisian mendengkus, berharap betul kalau saya akan melakukan sesuatu. Tapi pada hakikatnya, manusia tak akan mengerti dunia hantu dan para roh. Bahwasanya kami ini menembus gaib, dan mampu mendengarkan segala isi hati.
Dan entah kenapa, suara hati kebusukan manusia terdengar paling nyaring di antara yang lain. Apakah sebenarnya, isi dalam hati manusia itu tidak ada yang baik?
Ia beranjak sambil memperhatikan sekeliling tempat. "Kita biarkan ini berantakan dan berikan laporan, kalausanya ada sesuatu yang menyebabkan ini semua terjadi." ucapnya.
Para bawahannya mengernyit. "Ma.. maaf, pak. Tapi, menurut saya, sebaiknya kita menyembunyikan semua ini. Bapak masih ingat, kan.. bagaimana para orang tua berbondong-bondong mendesak kita karena tahu mengenai penumbalan dan iblis? Kehancuran tempat yang tiba-tiba akan memberikan keyakinan pada mereka, bahwa hal itu bukan sekedar rumor, melainkan kebenaran. Sebaiknya kita tutupi saja seperti sebelumnya, kalau para siswa dan orang tua tau, tentu ini akan semakin merepotkan saja." saran bawahannya.
Kepala kepolisian terdiam. Merenung sedih di dalam hatinya. "Itu memang benar. Baiklah, kalau begitu kita bereskan semua ini seperti sedia kala agar tak ada yang mencurigainya." sahutnya menyetujui.
Cukup lama mereka membersihkan tempat ini. Mereka mengubah tata letak hiasan dinding dan hasil prakarya tidak pada tempatnya. Tentu saja, mereka tak akan hafal mengenai ruangan ini kecuali saya. Di tambah lagi, mereka tetap memasang lukisan tanpa kaca di atas sana, hanya terlindung oleh bingkai saja.
Para bawahan kepolisian khususnya saya menatap lekat ke arah si kepala. Ia menatap lekat lukisan saya lalu menatap lemari yang baru saja mereka angkat dan susun barang-barang ke dalamnya.
Lemarinya jebol. Mungkin karena ulah saya tadi. Dengan perlahan, kepala kepolisian meletakkan lukisan itu di dekat lemari.
"Semuanya sudah selesai. Mari kita keluar dari tempat ini, dan kembali lain waktu. Berikan informasi asli hanya kepada Nona Arsya, apapun itu. Jangan tutupi sedikit hal pun darinya. Dia memiliki kekuatan besar dan mampu mempengaruhi masyarakat. Kalau sampai kita bohong, habis lah sudah. Siang nanti kita bantu keluarga yang terus melapor adanya berita kehilangan, dan bantu Nona Arsya menyebarkan poster si anak kecil itu." tukasnya.
Selepas kepergian mereka, saya hanya bisa celingak-celinguk di atas lemari sembari menggoyangkan kaki. Saya takut bergerak dan menghancurkan seisi ruangan lagi. Kalau itu terjadi, saya tak bisa membersihkannya seorang diri.
Waktu terasa melambat. Suara adzan terdengar jauh dari ruangan seni di lantai tiga. Sedikit menyakitkan dan seperti ada hal yang terlewat. Biasanya saya akan segera berwudhu dan mendirikan shalat, tapi kali ini saya harus menutup telinga sekencang-kencangnya karena suara itu membuat telinga berdengung dan terasa menyakitkan.
Saya tak dapat melihat keluar. Tenaga saya mendadak melemah ketika menangis hingga membuat tempat ini hancur. Saya lebih memilih duduk terpaku dan beristirahat di atas sini. Sumpah, rasanya seperti habis lari berkeliling lapangan seratus kali.
Tulang-tulang saya linu. Dagingnya pegal-pegal. Kulitnya terasa memar. Dan rasanya mirip seperti menderita sakit malaria. Meriang dan dingin di dalam tulang.
Seharian saya berada di tempat ini sampai pagi datang lagi. Di Minggu pagi saya mulai merasa pulih, tapi masih memilih untuk tak banyak bergerak.
Beberapa jam setelahnya, saya mulai mondar-mandir di depan pintu, menyentuhnya dengan telunjuk, apakah sudah bisa tembus atau belum. Saya lihat hari ini sudah malam, jadi pasti bisa keluar, kan?
Ketika saya sudah bisa keluar, saya langsung melesat cepat menuju Tante muka gosong. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan dari kemarin, tapi karena rasanya seperti demam.. jadi saya mengurungkan niat itu. Lebih baik tak keluar kemana pun.
Saya keluar melewati jalur pelalu, melintasi lapangan bola gersang, lalu menyebrang jalan untuk sampai ke pemahkaman.
Dari kejauhan, pemandangan kuburan terlihat jelas. Langit masih belum gelap sempurna, dan saya tahu kalau ini adalah selepas Maghrib.
Di antara banyak hantu yang sembunyi, hanya Tamusong yang terlihat duduk di atas nisan, yang letaknya paling dekat dengan gerbang utama menuju ke pemahkaman. Ia seperti sedang menunggu atau menantikan seseorang.
Saya menghampirinya, dan ia menatap saya dari kejauhan. Ia beranjak bahkan sebelum saya sampai ke tempat. Raut wajahnya ambigu, seolah panik dan ketakutan.
"Hei Tamusong, ada hal yang ingin.."
"Kau!!" Ia menyeru, membuat saya terdiam. "Bagaimana bisa kau mengeluarkan energi sekuat itu dalam satu waktu? Kau mau terkapar selama seminggu?!" lanjutnya membentak.
Saya terkesiap dan mengerjap. "Tamusong.. tahu tentang hal itu?" sahut saya. Sebenarnya memang hal itu yang ingin saya bahas, tapi.. besar sekali kekuatan itu, hingga jarak seperti ini bisa di rasakan pula olehnya.
Ia mendecakkan lidahnya. "Siapa yang mengajarimu melakukan itu? Apa kau bertemu dengan hantu yang suka bermain-main?"
Saya menggeleng. "Tak ada yang mengajari. Itu keluar dengan sendirinya." sahut saya polos.
"Jangan lakukan itu lagi!! Itu berbahaya sekali!"
Saya kembali mengernyit. "Apa yang membuatnya berbahaya? Apakah itu akan mengundang para hantu untuk datang karena merasakan kekuatannya? Atau ada hal lain yang lebih buruk?"
Ia mengangguk. "Ada hal yang lebih buruk." tukasnya dengan raut wajah ketakutan. Ia melirik sekeliling dan mengecilkan suaranya. "Kau akan menarik manusia yang memiliki kemampuan supranatural, yang biasa menggunakan kekuatan magis itu untuk melakukan keburukan pada manusia lain."
Saya terkesiap. "Apa yang Tamusong maksud adalah dukun?"
Ia mengangguk lagi. "Ya. Tapi dalam artian yang lebih buruk daripada itu. Karena tak semua dukun ingin melakukan hal buruk pada orang lain. Manusia-manusia ini, adalah penyembah ilmu hitam. Dan mereka..."
"Suka berburu hantu dengan kekuatan supranatural luar biasa. Dan kemungkinannya, kau sudah mulai di incar sekarang."
.......
.......
.......
.......
...Bersambung.......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Teni Fajarwati
ahh,mewek😭
2024-09-23
0
Elisa Girlz
Kun dalam bahaya,,
2022-06-04
4
Candra Candra
keren author runut bgt ceritanya
2022-05-27
2