Di waktu libur, Arnold memilih untuk istirahat di rumah. Pria itu terus bersantai di depan TV sambil menikmati teh hangat dan kudapan yang baru saja mbak Yuni antar.
Lain halnya dengan Tiara, gadis itu mulai bosan berada di rumah terus. Padahal biasanya—saat dia tinggal di rumah pamannya tak pernah bosan seperti ini.
Tiara memilih duduk di kasur, ditangannya susah ada hp. Dia berniat untuk membuat akun media sosial, dan berselancar dia sana untuk melihat berita-berita tentang dunia maya.
Baru saja akan berselancar dengan hp, panggilan seseorang lewat telepon membuat Tiara harus menghentikan aktivitasnya. Gadis itu mendumal kesal saat melihat nama yang tertera di layar.
“Halo, Tuan?” sapa Tiara mencoba ramah.
“Cepat keluar!”
Perintah dari seberang, sontak membuat Tiara segera menjauhkan hpnya. Mendengar suara tegas Arnold, sangat tidak dia sukai.
“Ada perlu apa ya Tuan?” Tiara balik bertanya.
“Dasar pembantu! Cepat keluar dan jangan banyak bertanya!” perintah Arnold lagi.
“Baiklah.” Akhirnya Tiara mengalah, dia langsung memutuskan sambungan secara sepihak.
Kini dia turun dari kasur, menatap pantulan diri di cermin yang ada di kamarnya. Tiara harus memastikan bahwa dia lumayan rapi, agar Arnold tak bisa mengejeknya lagi.
“Ternyata jadi pembantu juga bukan pekerjaan yang enak. Di suruh ini dan itu, lelah sekali,” omel Tiara sambil berlalu dari kamar.
“Sabar Neng, lama-lama nanti Tuan juga pasti bakalan luluh,” ucap mbak Yuni yang juga melintas dari sana.
“Semoga aja Mbak. Biar dibalik, aku yang jadi Nyonya,” ujar Tiara sambil terkikik, diikuti oleh mbak Yuni.
Sebelum benar-benar menemui Arnold, Tiara mengintip pria itu terlebih dahulu. Masih dengan posisi tadi, duduk sambil menatap ke arah TV. Lalu, untuk apa Arnold memanggilnya? Pikir Tiara.
Malas berdebat dengan pikiran, dia langsung menghampiri pria itu. Tentunya pura-pura takut sambil menundukkan kepala.
“Maaf Tuan, ada apa ya memanggil saya?” tanya Tiara to the point ketika sudah sampai di dekat Arnold.
“Tidak ada,” jawab Arnold tanpa mengalihkan pandangan.
“Astaga,” gumam Tiara.
Gadis itu tak habis pikir Arnold akan mengerjai dia, Tiara pikir ada hal penting yang ingin pria itu bicarakan. Nyatanya, hanya memanggil dan tak ada pembicaraan.
Tiara langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa tunggal, lalu memijat pelipis yang terasa sakit. Matanya mengedar untuk melihat ke seluruh ruangan, lalu terhenti di wajah Arnold yang kini menatapnya.
“Ayo pergi.” Pria itu membuka suara, membuat Tiara mengerjapkan mata berulang kali.
“Pergi? Ke mana Tuan?” tanya Tiara bingung.
“Ke mana saja,” jawab Arnold asal.
Pria dengan balutan baju santai itu beranjak pergi menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Sedangkan Tiara masih terbengong dengan posisi duduk, matanya tak lepas menatap kepergian Arnold dengan mulut ternganga.
Lalu dia tersadar dan segera menepuk pipinya pelan. Tiara tak percaya itu, Arnold mengajaknya pergi? Tapi mau ke mana? Tiara terus berperang dengan pikirannya sendiri. Sampai dia tak sadar, bahwa orang yang ada di dalam pikirannya, sudah berdiri di dekat dia.
“Kenapa masih di sini? Cepat sana ganti!” Arnold yang sudah bertukar pakaian, melayangkan protes pada Tiara.
“Tuan benaran, ngajakin aku pergi?” tanya Tiara sekali lagi karena masih belum percaya.
Pria itu hanya mengangguk seraya berkata, “Aku tunggu dalam waktu sepuluh menit. Kalau kamu nggak keluar, gaji bulan ini tidak akan aku berikan.”
Mata Tiara melotot sempurna mendengar ancaman Arnold, dia langsung berdiri ingin melayangkan protes.
“Yang benar saja, sepuluh menit? Bahkan aku baru menyisir rambut,” tukas gadis itu.
“Urusan kamu. Aku tunggu di luar,” sahut Arnold. Dia berlalu dari sana menuju teras.
Tiara mengepalkan jemarinya, frustrasi. Dia langsung berlari dengan secepat kilat untuk masuk ke dalam kamar, mencari pakaian dan langsung mengenakkan. Tiara sudah tak punya waktu lagi untuk mandi, bahkan dia mengikat rambutnya dengan asal saja. Tak lupa memakai bedak dan liptin tipis.
Sampai di teras, Tiara mengedarkan pandangannya untuk mencari sang majikan. Ketika mendengar klakson, dia langsung berlari menuju mobil.
Gadis itu langsung masuk di kursi penumpang depan, dan mengabaikan tatapan Arnold.
“Sudah Tuan,” ucap Tiara dengan napas tersengal-sengal.
“Kamu ... aku tidak suka melihat gadis dengan rambut terikat,” kata Arnold.
Tiara kaget saat Arnold mendekatkan diri. Lalu tangan pria itu sudah berada di rambutnya, dan melepaskan ikat rambut itu dengan kasar.
“Aduh Tuan, apaan sih? Nanti baper tahu nggak,” ujar Tiara.
“Cih. Siapa juga yang baper sama kamu? Aku cuma membantu agar kamu tidak malu. Ni, sisir tuh rambut,” omel Arnold seraya mengangsurkan sisir pada Tiara.
Malas berdebat akhirnya Tiara menurut saja. Dia segera menyisir rambutnya dengan menggunakan hp sebagai cermin.
“Uda rapi belum Tuan?” tanya Tiara sambil memperlihatkan rambutnya yang baru selesai disisir.
“Lumayan. Tapi ... orang jelek tetap jelek,” timpal Arnold.
Hih! Tiara hampir meninjukan kepalan tangannya pada Arnold, tetapi harus terhenti karena sadar siapa pria itu. Akhirnya dia hanya bisa memendam kesal sendiri, sambil sesekali mendumal.
Mobil mulai bergerak meninggalkan halaman rumah Arnold, pria itu mengemudi dengan kecepatan sedang. Membela jalanan dan menyalip mobil lain yang berada di depan mereka.
Sebenarnya Tiara masih bingung, akan ke manakah mereka? Dan, kenapa tiba-tiba Arnold juga mengajak dia? Sepertinya ada udang di balik batu.
“Kita mau ke mana sih, Tuan?” Tiara membuka suara karena terlalu bosan diam saja.
“Rumah Mamah,” jawab Arnold.
Deg
Tiara melongo dengan napas tak beraturan. Apa pria itu bilang, rumah mamahnya? Yang benar saja? Sedangkan dia hanya memakai sweater dan celana jins panjang warna hitam, sangat tidak menggambarkan untuk bertamu.
“Kenapa tidak bilang dari tadi sih Tuan? Kan kalau tahu mau ke sana, aku bakalan pakai baju yang lebih baik,” protes Tiara.
“Lihatlah, sekarang aku cuma pakai celana jins sama sweater aja,” sambung Tiara masih dengan wajah khawatir.
“Sweaterku.”
“Bukannya Tuan sendiri yang bilang. Apa yang sudah aku pakai, Tuan enggan untuk memakainya kembali,” ujar Tiara.
Dia mengingat perkataan pria itu pada malam itu, di mana dia kedinginan dan Arnold memberikan satu sweater miliknya untuk Tiara pakai.
“Terserah!”
Arnold memilih untuk lebih fokus pada kemudi, sesekali dia mendesah kesal saat mobil di belakang menyalipnya. Sedangkan Tiara, gadis itu masih merutuki diri karena tak bisa memilih baju yang pas. Dan sekarang dia harus terima, jika mamah Arnold nantinya akan memandang dia dengan sebelah mata.
Ya ampun, ngapain juga aku harus khawatir begini. Bagus dong kalau mamah Tuan kejam ini memutuskan aku sebagai calon menantunya, jadi, aku nggak bakalan terus terikat sama mereka.
Tiara tersenyum setelah berkata dalam hati. Lalu dia mengangguk-anggukkan kepala membayangkan tatapan mamah Arnold nantinya.
“Kenapa? Ketawa-ketawa sendiri? Dasar omes! Ngehayalin aku kamu?” Arnold melirik Tiara dengan sinis.
“Dih, ngarep! Terlalu mahal otakku untuk memikirkan Tuan, lebih baik mikirin tukang bubur di depan kompleks. Lebih berbobot,” sahut Tiara sewot.
**
Selamat membaca Readers kesayangan❤️
Jangan lupa hadiahnya ya😂
Baca karya temen othor juga ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Vita Zhao
Arnold mulai tertarik ya sama tiara😅
2022-04-09
0