Tiara dan Aela berpisah di depan restoran karena ibunda Arnold sedang ada urusan dadakan. Gadis itu melepas kepergian nyonyanya dengan napas lega.
“Akhirnya selesai juga,” lirih Tiara sambil mengusap keningnya.
Lalu gadis itu mulai mencari taksi untuk pulang, saat melihat seseorang yang tak asing. Tiara segera berlari ke dalam restoran, dia harus sembunyi karena orang tadi adalah bawahan pamannya.
Jadi, Tiara kini menyimpulkan. Bahwa tempat tinggal Arnold memang tak jauh dari rumah pamannya, Tiara jadi takut.
“Aku harus bagaimana?” tanya Tiara pada diri sendiri. Dia memilih duduk di salah satu kursi dalam restoran.
Tiara mengintip lewat pintu kaca, saat tak lagi melihat orang tadi, dia segera keluar dengan tergesa. Menyetop taksi yang lewat dan langsung masuk saja.
“Pak, anterin ke kompleks eksklusif paling mahal di kota ini,” pinta Tiara. Dia mendadak lupa alamat rumah Arnold.
Dasar Tiara bodoh! Umpatnya dalam hati.
Sepanjang jalan Tiara hanya menghembuskan napas kasar, hidupnya malah jadi serumit ini. Sungguh Tiara lelah dengan semua masalah yang menghampiri dia, ingin mengakhiri tetapi tidak tahu caranya.
Hampir saja dia ketiduran kalau sopir taksi tak mengagetkan dia. Segera Tiara keluar dari mobil setelah membayar. Kini dia harus masuk kompleks dan mencari rumah Arnold. Tanpa harus lelah, juga dia bisa menemukan cepat. Karena rumah pria itu paling besar, mewah dan tentunya bangunan paling beda sendiri.
Baru saja akan membuka pintu utama, Tiara sudah dikagetkan dengan kemunculan Arnold secara tiba-tiba di ambang pintu.
“Dari mana?” tanya pria itu dingin.
“Nemenin calon mertua, eh, Nyonya maksudnya,” jawab Tiara sambil menampar pelan mulutnya karena salah bicara.
Pria itu malah menyipitkan mata, seolah-olah tak percaya dengan ucapan Tiara. Bodoh amat, Tiara tak ingin berlama-lama lagi, gadis itu segera masuk dan melalui Arnold begitu saja.
“Nggak sopan!” sentak Arnold.
“Haduh Tuan, berantemnya bentar dulu ya. Tiara capek banget, butuh istirahat dan mandi buat nyegerin tubuh,” ujar Tiara dengan wajah memelas.
“Siapa kamu berani ngatur saya?” tanya Arnold masih dengan wajah sama, dingin.
“Pembantu!”
“Memangnya pembantu bersikap begitu?”
“Tuan bawel deh. Iya-in aja napa sih! Kok ribet banget,” omel Tiara.
Tiara langsung pergi dari sana menuju kamarnya. Gadis itu benar-benar sudah tak punya tenaga lagi untuk berdebat dengan Arnold, dia lelah seharian menemani Aela ke sana kemari.
“Woi! Dasar pembantu kurang ajar!” teriak Arnold.
Di dalam kamar, Tiara langsung menjatuhkan tubuhnya di kasur. Pandangannya fokus pada langit-langit kamar, dengan wajah gusar. Bawahan pamannya itu sudah berkeliaran di tempat-tempat yang sering dia kunjungi, itu pasti akan sangat membahayakan nyawanya.
“Masa iya aku harus berdiam di rumah ini saja. Tapi, itu cara yang aman,” lirih Tiara.
“Di luar aja aku frustrasi karena Tuan kejam itu, apalagi harus di rumah aja. Bakalan ketemu dia terus di hari libur.”
Tiara menggaruk kepalanya dengan kasar. Dia ingin menangis saja rasanya, karena permasalahan hidup yang tak henti-henti mengganggu dia terus menerus.
Niat hati ingin membersihkan diri, Tiara malah ketiduran di kasur karena terlalu lelah. Wajah gadis itu masih terlihat gusar, sesekali dia meringis dengan mata terpejam.
**
Pukul 22.00 malam, Tiara akan masuk ke dalam kamar karena sudah jadwal untuk tidur. Namun, langkahnya terhenti ketika Arnold menghadang dengan tangan bersedekap dada.
“Kita perlu bicara,” cetus Arnold memandang Tiara dengan tajam.
Menghembuskan napas kasar, Tiara meminta pria itu untuk lebih dulu pergi ke depan. Karena Tiara ingin mengambil minum di dapur.
“Jadi, apa yang ingin Tuan bicarakan?” tanya Tiara setelah kembali dari dapur.
“Kenapa Mamah bisa memberi kamu hp?” Arnold balik bertanya, tangannya masih setia berada di dada.
Masalah itu, Tiara mendadak tertawa dengan keras. Membuat seorang Arnold bingung sendiri, berpikir bahwa pembantunya sekarang sudah gila.
“Oh, masalah itu,” ucap Tiara masih tertawa.
“Masalah itu kamu bilang! Hey, hp itu mahal. Mamah nggak akan beri percuma, kalau kamu tidak memintanya,” tandas Arnold membuat Tiara tercengang.
“Lagian Tuan, mana mungkin aku berani minta begituan. Orang Nyonya sendiri yang kasih kok,” sahut Tiara berusaha membela diri.
“Ya kalau kamu nggak minta, gak bakalan di kasih.” Arnold pun masih terus bersikukuh menyalahkan Tiara.
“Kalau Tuan bawel lagi, benaran deh aku bakalan bungkam mulut Tuan!” ancam Tiara karena terlalu gemas dengan sikap Arnold.
“Berani kamu?”
“Siapa juga yang takut sama Tuan? Selama ini aku tuh, cuma ngehormati aja makanya diam,” jawab Tiara.
“Dasar kambing!”
“Tuan kejam!
“Kambing!”
“Tuan kejam!”
Keduanya malah saling mengejek, tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah. Akhirnya, mbak Yuni yang keluar dari kamar, segera melerai keduanya.
“Tuan, Neng Tiara, sudah ya jangan berdebat lagi,” ucap mbak Yuni sambil menarik Tiara.
“Diam!”
“Pergi Mbak!”
Mbak Yuni langsung terdiam ketika mendengar layangan protes dari keduanya. Mata wanita paruh baya itu, meneliti sang tuan dan Tiara dengan perlahan.
“Cepat kembalikan hp itu!” pinta Arnold sembari menengadahkan tangannya.
“Enak aja Tuan! Sudah dikasih juga, kenapa malah diminta lagi,” lawan Tiara.
“Rakyat jelata nggak cocok dapat hp mahal begitu,” cemooh Arnold.
“Hilih. Entar baper sendiri. Rakyat jelata juga manusia, mana cantik dan bohay lagi,” ucap Tiara sambil tersenyum sinis.
“Kamu itu kepedean banget jadi orang? Yang mau sama kamu juga siapa? Tuh makan kambing!”
Arnold langsung berlalu dari sana, meninggalkan Tiara dan mbak Yuni saja. Kedua wanita itu saling pandang, lalu Tiara mengedikan bahunya.
“Jangan tanya Mbak, aku nggak tahu. Kayaknya ni ya, Tuan Arnold itu punya masalah jiwa.”
“Hus, Neng! Nggak boleh gitu,” nasihat mbak Yuni. Tiara hanya nyengir saja.
Mbak Yuni segera mengajak Tiara untuk kembali ke kamar. Lalu keduanya berpisah di kamar mereka masing-masing. Tiara membaringkan tubuhnya, berusaha memejamkan mata untuk segera tidur karena jam terus berputar, dan hari semakin malam.
“Gara-gara Tuan nggak jelas itu, aku jadi nggak bisa tidur lagi,” omel Tiara sambil meninju udara dengan kesal.
Tangannya kini beralih ke wajah, mengusap dengan tatapan sendu. Sepertinya Tiara mengakui, bahwa sekarang dia sering marah-marah.
“Bentar lagi aku pasti bakalan tua, karena marah-marah terus,” lirih Tiara masih dengan tatapan sendu.
Kepalan tangan Tiara semakin cepat bergerak meninju udara. Dia menangis sambil mengusap wajah, kakinya juga ikut menendang-nendang kasur karena kesal.
Bayangan wajah Arnold dengan senyum mengejek itu, membuat Tiara sebal parah. Entah kapan dia akan membalas perbuatan pria itu, karena selama ini ucapan Arnold tak bisa dia kalahkan.
“Dasar Tuan gila! Aku benci! Benci!”
Teriakan Tiara menggema, untung saja kamar ini dibuat kedap suara, jadi semua orang tak mendengar teriakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Vita Zhao
ayo sering2 bertengkar biar tambah sayang😅😅😅
2022-04-08
2