Hana mendongak mantap gedung Kelana Grup. Ulasan bibirnya begitu manis, rasa harunya belum hilang. Dia benar-benar tak percaya bisa diterima setelah melewati tahap demi tahap seleksi yang rumit, dan bisa mengalahkan hampir seratus orang kandidat. Sekarang gelar sekretaris sudah dia sandang.
Dengan langkah mantap Hana memasuki gedung itu. Hanya saja ada yang sedikit mengusik kesenangan hatinya. Tersiar kabar yang tak mengenakkan kala dia melakukan wawancara kemarin.
Katanya, Kelana Pramudya sang CEO sekaligus atasannya ini memiliki penyimpangan seksual, pria itu tidak menyukai wanita. Semua orang yang pernah bekerja menjadi sekretaris Kelana tidak pernah ada yang awet bekerja. Mereka memilih mengundurkan diri dan tidak ada yang bertahan lebih dari lima bulan.
"Tidak, aku tidak boleh takut. Aku butuh uang. Lagi pula kalau dia penyuka sesama jenis bukankah itu bagus. Jadi dia tidak akan macam-macam denganku," batin Hana menghibur diri sendiri.
Hana kembali mengayunkan langkah. Tak peduli dengan apa pun yang akan menghadang, dia akan tetap bertahan. Uang dan tujuannya balas dendam bisa dia dapatkan sekaligus. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.
"Baiklah semua, perkenalkan namanya Hana Prameswari. Mulai sekarang dia yang akan menjadi sekretarisnya Pak Kelana," ucap seorang wanita paruh baya, berkacamata dan bersanggul di depan karyawan yang duduk di meja kerja masing-masing.
Ucapan selamat dan tepuk tangan pun menggema menambah euforia yang ada. Belum lagi begitu banyak karyawan pria yang mengatakan kalau Hana itu cantik. Mereka juga melayangkan gombalan-gombalan receh. Hana jadi kikuk sendiri, dia bahagia dan malu di sambut seheboh itu.
Tiba-tiba suara dehaman dari belakang mengagetkan semua orang. Ruangan itu seketika senyap. Mereka menunduk segan karena orang yang menginterupsi dengan dehaman itu ternyata adalah Bagas. Sosok manager HRD yang disegani di sana.
"Apakah sudah selesai acara perkenalannya?" tanya Bagas. Suaranya datar tapi penuh penekanan.
Hening, tak ada yang menyahut.
"Kalau tidak ada hal yang penting lebih baik lanjutkan pekerjaan kalian. Awali pagi dengan bekerja, bukan bergosip apalagi merayu karyawan baru," tutur Bagas lagi dengan setengah tegas.
Tak ayal, karyawan yang tadinya semangat menyambut kedatangan Hana pun diam. Mereka kembali duduk dan pura-pura sibuk, dalam hati mereka mengutuk Bagas.
"Ya sudah, Hana. Sebentar lagi Pak Kelana tiba, jadi buatkan dulu beliau kopi. Ingat, takarannya satu sendok munjung gula dan satu sendok kopi."
Hana mengiakan perkataan wanita yang menjabat sebagai wakil manager HRD itu lalu berlalu. Sebelum itu dia sempat bersisian bahu dengan Bagas. Namun, Hana pura-pura tidak melihat. Bagas jadi keheranan. Sejak kapan Hana jadi berkharisma dan penuh percaya diri seperti itu. Aura Hana begitu berbeda saat masih menjadi istrinya.
Ketika Hana tiba, sosok laki-laki berpakaian rapi berjas abu-abu tua sudah duduk di belakang meja. Lelaki itu menatap nyalang Hana yang datang dengan sebuah nampan.
Hana sedikit gemetar kala matanya bersitatap dengan sosok laki-laki yang baru pertama kali dijumpainya itu. Lelaki berwajah tegas yang sudah Hana yakini bernama Kelana. Rumor mengatakan Kelana sangat tampan, dan lelaki yang ada di depannya ini memang sangat tampan.
"Tapi sayang G-A-Y," batin Hana. Dia letakkan kopi buatannya ke meja. "Ini Pak, kopinya."
"Kenapa tangan kamu bergetar begitu? Apa kamu sedang melihat hantu?"
Berat dan datar suara Kelana. Hana kaget dan cepat-cepat menggeleng. Bisa tamat riwayatnya jika Kelana marah.
"Maaf, Pak, saya hanya belum terbiasa."
"Biasakan mulai sekarang! atau jika tidak terbiasa juga kamu bisa pergi. Pintu keluarnya masih di sana." Telunjuk Kelana membuat Hana ketar-ketir.
"Maaf, Pak, saya akan mulai membiasakan diri."
Kelana cuma berdengkus. Lelaki berusia tiga puluh dua tahun itu membolak-balik kertas yang ada di depannya, lantas manggut-manggut.
"Apa kamu yang bernama Hana Prameswari? Usiamu dua puluh sembilan tahun dan berstatus janda."
Glug! Hana telan ludahnya yang terasa kelat.
Baru kali ini dia mendapat pertanyaan seperti itu. Pertanyaan biasa tapi mengintimidasi.
Namun, karena harus profesional dia pun mengangguk mengiakan. Ya, walaupun agak terhina dengan nada yang Kelana ucapkan barusan.
"Apa salahnya jadi janda? Janda itu lebih terhormat daripada perawan rasa janda. Apalagi perawan yang memilih jadi pelakor."
Mendadak Hana geram sendiri. Dia mengepalkan tangan ketika teringat dengan sosok Bunga. Kelana yang melihat itu jadi keheranan dan menggetok meja dengan empat buku jarinya.
"Kamu melamun?" Pertanyaan bernada tudingan itu membuat Hana tersentak. Cepat Hana menggelengkan kepalanya lagi.
"Baiklah, aku tidak peduli dengan statusmu. Jika mereka sudah menerimamu itu artinya kamu layak jadi sekretarisku. Tapi ingat, masa percobaanmu hanya satu bulan. Jika kinerjamu tidak bagus bersiaplah minggat."
Kembali Hana menelan ludah. Dia bagai didorong ke ujung tebing. Berhadapan dengan Kelana dia seperti masuk ke rumah hantu. Horor.
"Baik, Pak. Saya paham dan juga hari ini ...." Hana membuka buku kecil hendak membacakan jadwal pertemuan kelana hari ini, tetapi Kelana menginterupsi dengan dehaman dan tatapan dingin.
"Cancel semua jadwal saya hari ini!"
Hana keheranan. Bukankah seorang CEO itu dituntut untuk sibuk? Tanggung jawab seorang CEO bukankah besar? Lalu ....
"Semuanya, Pak?"
"Iya semuanya. Hari ini aku lelah dan hanya ingin beristirahat. Jadi tugas kamu hari ini berjaga di depan pintu. Jangan biarkan siapa pun masuk ke sini, karena aku mau pura-pura sibuk bekerja, mengerti!" lanjut Kelana yang tak ingin bantahan.
Hana pun mengangguk paham, lantas memutar tumit pergi. Baru kali ini dia berhadapan dengan orang seperti pria itu.
Satu jam.
Dua jam.
Hampir jam makan siang tapi Kelana tak kunjung keluar. Sementara Hana, sudah meliuk-liuk menahan bosan. Embusan napas panjang entah sudah berapa ribu kali keluar dari mulutnya itu.
Namun, dari arah lorong tiba-tiba datang seorang wanita tua berpenampilan elegan. Terlihat juga tas tangan branded di pergelangannya. Melihat itu Hana sedikit terkesiap dan langsung berdiri menyambut.
"Apa kelana ada di dalam?" tanya wanita tua itu bernada angkuh. Wanita itu bernama Dinar-ibunya Kelana.
"Maaf, Bu. Pak kelana sedang tidak ingin diganggu," balas Hana sopan. Dia sama sekali tidak mengetahui kalau Dinar adalah ibu dari Kelana.
"Ya sudah!" Dinar hendak masuk, tapi ditahan oleh Hana. Sebagai sekretaris tentulah dia harus melakukan apa yang diperintahkan Kelana.
"Apa-apaan kamu!" sentak Dinar bernada geram, matanya yang keriput menatap nyalang Hana. Akan tetapi Hana tak mau kalah dan tetap menahan pergelangan tangan wanita itu yang masih saja mencoba mendorong pintu ruang kerja Kelana.
"Sekali lagi tanpa mengurangi rasa hormat pada Ibu, Pak Kelana tidak ingin diganggu dulu."
"Jadi kamu kira saya pengganggu!" sentak Dinar, nadanya menggeram kali ini.
"Maaf, Bu. Saya hanya disuruh dan Pak Kelana bilang dia ingin istirahat dan tidak ingin diganggu siapa pun."
Merasa harga dirinya terluka Dinar pun dengan beringas melayangkan tamparan tepat di pipi kiri Hana. Tak hanya itu, dia juga menuding muka Hana dengan telunjuk.
"Kamu, beraninya kamu melakukan ini kepadaku! Apa kamu tidak tahu kalau aku...."
Lisan Dinar tergantung karena pintu ruang Kelana terbuka. Kelana pun sedikit terkejut melihat memar di pipi Hana. Dia tahu kalau itu pastilah ulah sang mama. Hanya saja pria itu memilih diam.
"Kenapa mama ke sini?" tanya Kelana yang seketika juga membuat mata Hana terbelalak. Dia tak menyangka dan tidak tahu kalau wanita yang ada di hadapannya ini, wanita yang emosional ini adalah ibu sang atasan.
Akan tetapi, bukannya menjawab Dinar justru mendengkus dia menyipitkan mata kala melihat Hana yang menunduk.
"Pecat dia! Sekretaris tidak becus!" ujarnya, setelah itu langsung masuk ke ke ruangan sang putra.
"Maaf, Pak. Saya tidak tahu kalau beliau ibunya Bapak," tutur Hana yang masih menunduk. Pandangan matanya mulai terpecah dan air mata mulai berdesakan.
"Tidak apa-apa. Kamu pergilah ke klinik dan obati pipimu," balas Kelana datar, lantas menutup pintu.
Sekarang Hana tahu, kalau dua orang itu adalah satu keturunan. Keturunan berdarah dingin.
Hana pun pergi dari sana sembari menahan dongkol dan malu. Langkahnya gontai menuju klinik perusahaan. Setelah mendapat obat dan kompres, dia pun hendak kembali ke meja kerja tapi tidak sengaja berpapasan dengan Bagas.
"Hana kamu kenapa? Kenapa pipimu merah?" tegur Bagas kampret sok peduli.
Hana diam saja, sengaja dia mengabaikan sang mantan suami. Bagas yang tak senang menarik lengannya dan menuntun ke salah satu lorong yang jarang dilewati karyawan.
"Kita harus bicara," katanya lagi.
Hana tak punya pilihan, sembari mengompres pipi dia menatap Bagas yang masih saja terlihat tampan dan rupawan.
"Apa yang kamu inginkan?" tanya Hana ketus.
"Aku hanya ingin tahu kabarmu," balas Bagas. Hana mendengkus, tapi demi balas dendam dia pun mengulas senyum.
"Aku baik-baik saja."
"Ya, memang sepertinya kamu baik-baik saja. Kamu bisa merawat diri dan kamu jadi lebih cantik." Bagas tanpa sungkan menatap padanya. Hana tentulah menahan dongkol. Sekarang dia sadar kalau Bagas memang mata keranjang.
"Bagaimana dengan kalian? Apa kalian sudah memiliki anak?"
Bagas menggeleng, terdengar helaan napas putus asa dari hidungnya. "Dia tidak mau hamil, katanya takut badannya melar."
Hana diam, lamat dia menatap mantan suaminya yang brengsek itu.
"Oiya, apa kamu tidak ingin menjenguk ayahmu? Tidak lama lagi mereka akan merayakan anniversary pernikahan, selama ini kamu tinggal di mana?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Naraland
kepeeett.. kayaknya ini yg buat sekertaris yg dulu2 pada gak betah 😅🤣🤣
2023-06-25
2
Naraland
yaiyalah beda.. waktu sama lu hana sibuk ngeramut lu da rumah lu.. lu nya aja yg gak tau diri
2023-06-25
1
'Nchie
dasar mata keranjang lihat yg bening pindah haluan...
2023-01-17
0