Berniat mencari pembelaan. Namun, yang didapat Hana justru cibiran. Sang ibu tiri yang selama ini dia pikir baik ternyata juga sama seperti Bunga. Dari sini Hana menyadari, kalau Tantri selama ini hanyalah bersandiwara. Kebaikan, ketulusan serta tawa yang pernah terukir di antara mereka hanyalah kamuflase belaka.
"Tapi Bunga itu salah, Ma!" sentak Hana.
"Dan apa menurutmu kamu benar? Lihat penampilan kamu, Hana. Kamu itu sudah seperti tampungan air. Laki-laki mana yang betah bersama wanita seperti kamu?"
"Ma ...."
Tantri berdiri, bersedekap dia menatap Hana. "Jangan salahkan pelakor jika tampilan istri sah saja seperti pembantu."
Air mata Hana semakin tumpah. Sekarang dia menyadari, kalau yang menusuknya bertambah satu orang lagi.
Setelah mengatakan itu Tantri pun memutar tumit. Dia tinggalkan Hana yang terduduk di sofa ruang tamu. Hancur sudah harapannya untuk dibela.
Hana melangkah pelan menuju pintu. Kepalanya berat, hatinya perih, tenaganya perlahan lenyap dan tak mampu menopang berat badan. Wanita yang tengah rapuh itu akhirnya terhuyung di ambang pintu. Dia terisak makin hebat memikirkan bagaimana nasib rumah tangganya.
***
Sementara itu di rumah, Bagas sudah menunggu. Dia sudah mendengar dari Bunga kalau hubungan terlarang mereka sudah diketahui oleh Hana. Jadi, pria itu pikir tidak perlu lagi berpura-pura mencintai Hana karena sudah tidak ada rasa yang tersisa.
Setelah menunggu hampir satu jam akhirnya orang yang dinanti dengan hati bergemuruh tiba juga. Nyalang Bagas menatap Hana yang terhuyung limbung kala memasuki rumah. Dengan emosi meletup-letup dia memanggil Hana dan menariknya hingga terduduk kasar di sofa.
"Mas?"
Mata Hana yang memerah menatap lamat suaminya yang telah berselingkuh. Ada kemarahan yang tak bisa dia gambarkan di netra sang suami. Dan selama mengenal, baru kali ini Hana melihat sisi lain dari diri Bagas.
"Kamu kenapa?" tanyanya dengan nada bergetar. Dia benci Bagas karena berselingkuh, tapi tidak rela jika ditinggalkan karena cintanya begitu besar.
"Apa yang kamu lakukan ke Bunga?" tanya Bagas dengan nada bentakan.
Hana yang mendengar itu sontak melotot. Dia baru sadar kalau Bunga pasti sudah mengadu. Meski hatinya sakit, Hana pun berdiri, berpikir harus tetap menyadarkan suaminya. Dia yakin, Bungalah yang menyebabkan Bagas berubah. Dia pegang tangan dan mengabaikan tatapan Bagas yang seolah mampu menelannya bulat-bulat.
"Mas, aku akan memaafkan kamu. Asal kamu janji tidak akan mengulanginya. Aku juga tidak akan mengungkit ini. Tapi tolong, Mas. Akhiri hubungan itu. Aku istrimu. Kita ...."
Lisan Hana tergantung karena Bagas dengan beringas menepis tangannya. Wanita bertubuh gempal itu bahkan sampai terduduk kembali. Tenaganya benar-benar sudah terkuras habis.
"Aku ingin bercerai!"
Bak tersambar petir, Hana yang tadinya hendak berdiri kembali terduduk.
"Mas ...."
Bagas memutar tumit, dia ambil satu amplop dari dalam laci lalu melemparkannya ke Hana beserta pulpen. "Tandatangani itu! Aku tidak sudi memiliki istri gendut dan jelek yang tidak bisa merawat diri sepertimu!"
Hancur lebur. Kepingan hati Hana tak bersisa lagi tatkala menyadari semua sudah disiapkan oleh sang suami. Serpihan-serpihan kecil kenangan indah mereka berdua selama ini langsung sirna terbawa angin. Meski terseok, Hana tetap berusaha berdiri. Namun, Bagas dengan tak peduli menabraknya hingga kembali terduduk. Tangis Hana pun pecah di sana.
Sepeninggal Bagas, Hana yang masih meratapi nasib tiba-tiba dibuat tidak nyaman. Seperti ada sesuatu dalam perutnya yang berdesakan minta di keluarkan. Dengan langkah lebar dia pun berlari menuju kamar mandi. Di sana, tumpah ruah segalanya.
Hana menghapus air mata lalu menatap pantulan dirinya dari cermin. Setelahnya dia membuka laci yang tersedia di sana. Dengan tangan gemetar dia raih alat uji kehamilan yang selalu dia setok.
Air mata Hana kembali tumpah setelah melihat alat itu menunjukkan dua garis merah yang artinya sudah ada janin di dalam rahimnya.
"Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku menghadapi ini?" rintihnya yang semakin lama semakin terdengar pilu. Anak yang diharapkan setelah sekian lama akhirnya hadir, tapi sayang dalam keadaan rumah tangganya yang sedang kacau.
Hana berdiri, bergegas membasuh muka dan membenahi penampilan. "Aku tidak boleh lemah. Aku harus kuat. Ada anak dalam rahimku. Dia butuh Ayah. Aku yakin, anak ini adalah anugerah yang Tuhan berikan untuk aku memperbaiki pernikahan ini."
Dengan langkah panjang Hana keluar dari rumah. Dia abaikan rasa lapar dan tetap berkendara menuju rumah di mana Bunga tinggal. Dia tidak bisa pasrah ketika rumah tangga sedang berada di ambang kehancuran.
***
"Pergilah dari sini! Aku tekankan aku tidak akan meninggalkan Bagas!" sentak Bunga ketika melihat Hana berdiri di ambang pintu.
"Bunga, aku mohon. Lepaskan Bagas. Kamu masih cantik, kamu bisa dapatkan laki-laki mana saja. Tapi tidak Bagas. Dia suamiku. Terlebih lagi sekarang aku ... aku sedang mengandung anaknya," tutur hana. Lirih dan penuh kesedihan di suaranya itu.
Namun, Bunga yang sudah terlanjur terhina karena ditampar Hana pun bersedekap. "Berlututlah! Mungkin aku bisa mempertimbangkan permintaan kamu ini?"
Hana yang sudah putus asa pun berlutut. Air matanya merembes. "Tolong, putuskan hubunganmu dan suamiku."
Bunga yang memang tak berniat pergi dari hidup Bagas pun tersenyum penuh kemenangan.
"Maaf, aku tidak bisa. Jadi Hana, berhentilah melakukan hal sia-sia. Tandatangani saja surat cerai yang diberikan mas Bagas lalu pergilah dari hidup kami."
Setelah mengatakan itu, Bunga pun berbalik. Dia banting pintu dengan keras. Lantas, mengukir senyum jahat. "Aku, tidak akan biarkan kamu jadi penghalang, Hana. Tidak akan pernah."
***
Hana yang sedang hancur hatinya menghabiskan berjam-jam mengurung diri di kamar. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi dan tidak tahu harus bicara pada siapa.
Sang Papa sedang ada perjalan bisnis keluar kota dan akan kembali esok hari, sedangkan Bagas, terus saja mengabaikan panggilan telepon darinya.
Gelap, Hana merasa dunianya hancur dalam sekejap. Tidak menyangka Bagas begitu mudah memutuskan untuk menceraikan dirinya setelah mereka melewati semua. Biduk rumah tangga yang dia kira baik-baik saja hancur dalam sekejap.
Cinta yang dulu bertahta tinggi seakan tidak ada arti lagi di hati pria itu. Keterpurukan Hana juga semakin menjadi kala mengingat apa yang sudah dilakukan oleh adik dan ibu tirinya.
Saat sedang meratap seperti itu tiba-tiba terdengar ada suara berisik di luar. Bergegas Hana membenahi penampilan karena berpikir suaminya pulang. Dengan senyum terkembang dia berlari menghampiri arah suara yang berasal dari ruang tamu.
Nyatanya, bukan Bagas yang dilihat melainkan beberapa orang berpakaian serba hitam. Mereka memakai masker dan terlihat sedang mengacak-acak ruangan itu.
"S-siapa kalian?" tanya Hana terbata. Matanya bergerak liar mengamati tiga orang lelaki mencurigakan di sana. Ketakutan menyeruak ketika mendengar suara tawa dari orang-orang itu.
Keterkejutan Hana tak sampai di situ, tiba-tiba ada yang menghantam kepalanya. Hana limbung dan tumbang, kesadarannya mulai menipis, pandangannya juga mulai berkunang-kunang. Belum lagi, tendangan serta pukulan menerpa tubuhnya yang gempal.
Hana meraung, dia menjerit kesakitan dan minta dilepaskan. Dia memohon ampun, tapi mereka tidak peduli dan terus menghujani perut Hana dengan tendangan hingga akhirnya rintihan Hana hilang dari pendengaran mereka.
***
Samar-samar Hana mendengar suara orang berbicara. Mata yang berat dia buka perlahan dan silau lampu membuatnya kembali terpejam, setelah itu kembali melihat sekitar. Di ujung kakinya ada sosok laki-laki yang begitu dia cintai sedang menempelkan ponsel ke telinga.
"Sayang, tenanglah! Aku akan ke sana ketika dia sadar. Kamu jangan khawatir, aku tidak akan meninggalkan kamu. Aku mencintai kamu, Bunga. Jadi jangan cemburuan seperti itu."
Setelah itu terdengar kekehan kecil. Hati Hana kembali diiris. Perih, rasanya seperti di toreh ribuan belati. Suami yang dicinta memilih selingkuhan dibanding dirinya yang sudah banyak berkorban. Sakit hatinya melebihi sakit fisik.
"Hey, jangan merajuk. Aku tidak akan kembali padanya. Lagi pula dia juga sudah keguguran."
Kembali, Hana menitikkan air mata. Dia sentuh perutnya yang penuh lemak. Ketika mendengar suara isak dari belakang, Bagas pun membalik badan lalu memutus panggilan.
"Sudah sadar rupanya kamu," ketusnya lalu menuju nakas. "Aku semalam menemukanmu dan langsung membawamu ke sini. Aku tidak tahu kamu seceroboh ini sampai kita kerampokan, tapi syukurlah tidak ada benda yang hilang."
Hana merasa bagai diremas hatinya. Bagas sama sekali tidak peduli dengan keadaan dirinya.
"Aku mengandung anakmu, Mas." Bibir Hana bergetar mengatakannya.
"Tapi kamu sudah keguguran! Tapi bagus juga, lagi pula kita akan tetap bercerai."
Hana diam. Mata mereka bersitatap. Hana penuh air mata sedangkan Bagas penuh kebencian. Lelaki itu juga tanpa segan melemparkan amplop cokelat padanya.
"Tanda tangani itu!"
"Mas, aku mencintaimu."
"Tapi aku tidak lagi!
Hana menunduk. Pundaknya terguncang hebat.
"Tanda tangani saja itu. Aku beri kamu waktu tiga hari." Setelahnya Bagas tanpa peduli pergi dari sana.
Melihat punggung sang suami yang telah hilang ditelan pintu, Hana pun merebah di ranjang. Matanya yang merah dan berair menatap lampu. Bagas benar-benar sudah pergi, baik hati serta tubuhnya bukanlah miliknya lagi.
Tak berselang lama masuklah Arman. Lelaki tua itu berjalan mendekati ranjang Hana. Lantas, melihat keadaan anaknya yang sangat memprihatikan.
''Hana ...."
Hana duduk, dia peluk pinggang papanya dan menumpahkan semua rasa yang menyesakkan dada. Dari sekian banyak orang hanya papanya yang bisa dia harapkan.
Dengan derai air mata berlinang, Hana menceritakan semua yang dilaluinya kemarin. Menceritakan luka sama saja mengoreknya lagi. Namun, dia juga tak bisa diam saja.
"Jadi aku harus bagaimana, Pa? Apa yang harus aku lakukan," rintih Hana. Baju sang papa sudah basah karena air matanya.
Arman mengurai pelukan. Dari netra Hana dia sudah bisa menangkap bahwa benar-benar ada luka di sana, bahkan sangat dalam dan Arman mengerti itu.
Hanya saja hubungannya bersama Tantri baru dimulai. Dia mencintai Tantri dan tidak rela jika diceraikan juga. Lagi pun menurutnya Hana lebih baik bercerai saja dari Bagas. Bagas tidak menghargai jadi untuk apa dipertahankan.
Arman duduk, lantas menghapus air mata sang anak semata wayang. "Lebih baik kamu setujui itu."
"Pa...."
"Papa tidak bisa berbuat apa-apa, Sayang. Papa juga tidak bisa menghalangi Bunga dan Bagas. Mereka sudah dewasa dan pastilah punya banyak cara untuk melanjutkan hubungan mereka. Jadi saran Papa, lepaskan laki-laki brengsek seperti itu."
"Papa ...." Air mata Hana menganak lagi.
"Mendiang ibumu punya rumah peninggalan di luar kota ini. Saran Papa lupakan Bagas dan jalani hidupmu yang berharga. Mulailah dari sana. Jika Papa senggang, Papa akan menjengukmu. Lupakan dia, Sayang. Selingkuh itu penyakit yang susah disembuhkan. Jika dia bisa selingkuh, maka nanti pun juga bisa seperti itu. Air matamu terlalu berharga untuk menangisi dia."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Jeissi
kasihan sekali hana, sudah disakiti suami dan sekarang disakiti ayahnya juga
2024-11-12
0
Jeissi
heran deh di kolom komentar ada yang membenarkan tindakan bagas 😏
2024-11-12
0
Elvi Nopricha
aku gk ngerti kenapa wanita karir seperti hana bisa berpenampilan zeperti babu begitu,lh walau di rmah bae kn bisa sambil perawatan ,kita istri harus mnjaga penampilan harus taat dn patuh ,bila sdh semua suami ttp selingkuh ber arti dia mmg sampah dan lepas kan,seperti kata arman air mata terlalu berharga buat dibuang tuk org yg tak bernilai
2023-03-11
1