Begitulah hari-hari Hana lalui, belakangan ini dia hidup dalam kegelisahan dibayang-bayangi pelakor. Semua itu terjadi tepat setelah pernikahan sang ayah. Tak ingin terjerumus ke dalam rasa curiga, Hana pun menyusun sebuah rencana.
"Sayang, aku berangkat, ya. Aku berangkatnya naik taksi. Capek nyetir sendiri," tutur Hana. Dia yang sudah rapi menghampiri Bagas yang sedang duduk di balkon. Suaminya itu sedang cekikikan sembari memegang ponsel.
"Aku tidak perlu ikut, 'kan?" tanya Bagas. Dia bersikap tenang saat melihat Hana di depan.
"Soalnya aku lelah sekali. Ingin istirahat hari ini," lanjutnya yang dibalas Hana dengan senyuman kecil.
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Lagi pula ini acara perempuan dan tidak nyaman jika ada laki-laki," balas Hana. Dia melirik ponsel Bagas yang bergetar. "Kamu berbalas pesan sama siapa?"
"Sama penanggung jawab tender." Bagas menjawab singkat, setelah itu menyipitkan mata. "Jangan tanya lagi siapa namanya, atau tender apa karena percuma, aku jelaskan pun kamu tidak akan paham."
Mata Hana membulat. Diberi ucapan ketus seperti itu menyisakan sakit juga di hatinya. Dulu, dia tidak akan mempermasalahkan karena berpikir suaminya memang begitu. Bicara blak-blakan bertanda nyaman dan sayang. Akan tetapi, setelah insiden kancing baju, dia mulai sensitif.
Hana menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Semua itu dia lakukan demi menentramkan hati yang mulai tak karuan.
"Kenapa diam?" ketus Bagas yang keheranan melihat Hana melamun kala mereka bersitatap.
Hana pun menggelengkan kepala. Lengkungan kecil menghiasi bibirnya yang ranum. "Tidak. Aku tidak akan bertanya. Ya sudah, aku pergi. Makan siang sudah aku siapkan di meja."
Seperti hari-hari lainnya. Jika keluar Hana akan mencium punggung tangan Bagas. Atau paling tidak izin via pesan. Baginya, izin suami sangat penting agar bisa melakukan kegiatan di luar dengan tenang. Namun, kini setiap kali pergi dia malah membawa sejuta kegundahan.
Setelah berpamitan, Hana pun masuk ke taksi pesanan yang sudah menunggu meski matanya masih menatap ke arah Bagas yang semakin mencurigakan.
"Ke mana tujuan kita, Bu?" tanya si sopir.
"Jalan dulu, Pak. Nanti akan saya tunjukkan arahnya."
Meski bingung, sang sopir pun melakukan apa yang di perintahkan. Hanya saja lelaki paruh baya itu berakhir mengernyitkan dahi ketika disuruh memutari komplek lalu kembali tak jauh dari rumah Hana.
"Bu?"
"Kita tunggu sebentar, Pak," potong Hana. Air matanya menetes. Tak luput pandangannya dari rumah sendiri yang masih tertutup, bangunan dua lantai yang menjadi saksi betapa bahagia pernikahannya bersama Bagas. Sekarang, kebahagiaan itu perlahan memudar digantikan dengan sikap abai Bagas yang kian hari kian parah.
Tak berselang lama, Bagas keluar dengan pakaian rapi, terlihat juga memainkan kunci di tangannya. Wajah pria itu menunjukkan kebahagiaan, tapi malah membuat hati Hana merasa nyeri. Tadi Bagas mengatakan lelah dan hanya ingin menghabiskan hari Minggu dengan bermalas-malasan. Namun kini ….
Hana menghapus air matanya yang terlanjur menetes. "Tolong ikuti mobil itu, Pak."
Perjalanan pun dimulai. Selama mengikuti Bagas, Hana bagai berada di bibir tebing. Air matanya terus saja mengalir karena pikiran buruk tentang pelakor merajalela di kepala. Dia ingin menampik, baginya Bagas adalah suami setia. Suami penuh cinta yang tidak mungkin berkhianat, tetapi setelah memikirkan dan mengingat keanehan pria itu belakangan ini, dia pun menelan ludah yang terasa pahit.
"Bagaimana jika Bagas benar-benar selingkuh? Harus bagaimana aku menghadapinya? Harus bagaimana aku bertindak? Haruskah memaki mereka? Ataukah bermain elegan dengan memberi wanita itu hukuman? Ataukah, melepaskan Bagas?" batin Hana bergejolak makin hebat. Cepat dia hapus air mata yang tak hentinya menetes.
"Tidak. Mungkin aku hanya berprasangka. Mungkin saja dia bertemu rekan bisnis?" batin Hana lagi.
Nyatanya, bukan mendapat ketenangan dia justru semakin gelisah karena sang suami memasuki parkiran sebuah restoran. Kenyataan lain juga membuatnya terbeku beberapa detik.
Hana terdiam, netranya yang bening semakin memanas ketika melihat ada seorang wanita menunggu suaminya di depan. Wanita yang sangat dikenalnya.
"Bunga ...."
Hana tergugu. Hatinya bagai dihantam palu tak kasat mata. Tak menyangka jika Bagas berani berkhianat dan parahnya melakukan dengan Bunga-adik tirinya. Hana merasa ditusuk dua orang sekaligus dalam satu waktu. Sakit, sesak dan engap begitu yang dia rasakan.
Tangan Hana yang gemetar sudah memegang handle pintu, hendak keluar dari dalam taksi tetapi urung ketika melihat Bunga dan Bagas bergandengan tangan. Keberanian untuk melabrak pun menciut. Apalagi melihat betapa besarnya senyum Bagas ketika menatap Bunga. Ulasan bibir yang rasanya sudah lama tidak dia lihat.
"Kalian ... tega sekali kalian seperti ini."
Hana meraung dan mengabaikan tatapan sopir serta pikiran pria paruh baya itu. Dia hanya menumpahkan kesal dengan menangis dan mengutuk Bagas. Dia terus menunduk menekuri kaki sendiri serta meratapi nasib diselingkuhi. Rasa cintanya pada Bagas amat besar dan dia tidak rela kehilangan.
Setelah puas menangis, Hana pun memutuskan menunggu. Dia akan memaafkan Bagas kali ini. Setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua, begitu pikirnya hingga satu jam pun berlalu dan Bagas keluar dengan wajah semringah. Lelakinya itu pergi tanpa sang adik tiri.
Mendapati hal itu, Hana pun bergegas turun dari taksi. Ia sengaja menghadang Bunga yang baru keluar dari restoran. Terlihat kentara kalau adik tiri yang merangkap menjadi selingkuhan itu sedang tidak nyaman karena kehadirannya yang tiba-tiba.
"K-kak Hana?" Lisan Bunga terbata, celingukan dia melihat sekitar. Takut kalau Hana tahu tentang hubungannya dengan Bagas.
"Tinggalkan Bagas dan aku akan memaafkanmu," tagas Hana. Netranya yang biasa teduh berubah drastis kali ini.
Alih-alih malu, Bunga justru tertawa. Gelagat itu membuat emosi Hana membuncah. Tanpa pikir panjang dia layangkan tangan ke pipi Bunga yang mulus.
"Jauhi Bagas!" sentak Hana lagi.
"Kalau aku tidak mau?" balas Bunga yang benar-benar diluar prediksinya.
"Kamu ...."
"Kami saling mencintai. Yang seharusnya pergi itu kamu. Kamu benalu."
"Bunga!" teriak Hana. Darahnya mendidih sampai ke Ubun-ubun. "Jangan kurang ajar. Aku kakak kamu dan Bagas itu suamiku."
"Tapi Bagas sudah melakukan itu denganku. Bahkan, dia memujaku. Memperlakukanku dengan manis. Sedangkan kamu, apa pernah dia mengatakan mencintaimu? Apa pernah dia memelukmu? Atau paling tidak, pernahkah kamu melihatnya tertawa melihat mukamu itu?"
Hana terdiam. Sebagai seorang istri sah harga dirinya terluka karena perkataan Bunga. Ya karena Bagas sudah tak pernah lagi seperti itu. Bahkan saat berhubungan suami istri suaminya itu kerap kali meninggalkannya bahkan sebelum memulainya.
"Jadi Hana, tau dirilah. Harusnya kamu yang pergi. Kamu harus mengaca! Lihat betapa buruknya bentuk tubuhmu itu. Paham!"
Tanpa sungkan, Bunga pun mendorong bahu Hana, lantas masuk ke mobilnya dengan gaya angkuh. Sebelum pergi dia juga sempat memberikan seringai jahat.
Hana yang melihat perangai Bunga terbelalak. Tak menyangka dia kalau Bunga yang cantik dan terlihat baik ternyata licik.
"Tidak, aku tidak boleh biarkan ini terjadi. Bunga harus disadarkan. Dia masih muda dan barangkali hanya khilaf saja," gumam Hana. Cepat dia hapus jejak kesedihan lalu kembali ke taksi. Dia meminta di antar ke kediaman ayahnya dan berencana mengadukan ini ke Tantri-ibu tirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Tutik Yunia
Hana , kamu harus sadar diri. Belum punya anak sudah gembrot apalagi kalau punya anak. Makanya ikuti saran suami, sekarang nyesel kan..
2023-03-23
2
나의 햇살
jangan jadi bodoh hanya karena mencintai
2023-02-01
2
'Nchie
berumah tangga itu bukan perkara cantik atau tampan tapi komitmen ...tak peduli seburuk apapun pasangan mu itu adalah pilihan mu dan seharusnya kamu jaga ..jika pasangan sudah tidak menarik bikin jadi menarik lagi bukan cari ganti nya ..karena sejatinya tidak akan ada habisnya jika hanya melihat fisik saja
2023-01-17
0