Kembali lagi tak ada jawaban dari mulut Tara, membuat Intan geram padanya.
"Sudahlah, tak perlu kamu pusing memikirkan untuk menikahiku secara resmi. Biar saja aku yang mengalah, untuk pergi dari hidupmu," Intan menghela napas panjang.
"Apa yang kamu ucapkan, sayang. Apa kamu nggak kasihan dengan anak yang saat ini ada dalam kandunganmu? masa harus hidup tanpa ada kasih sayang seorang ayah?" kata Tara.
"Sudahlah, tak usah kamu bersikap sok manis di depanku. Kalau ternyata selama ini kamu mendua," Intan menyudahi perkataannya.
Selagi sibuk berantem, tiba-tiba dari kamar Bu Mita teriak minta tolong.
"Intan, tolongin ibu," teriaknya.
Segera Intan berlari kecil ke kamar ibunya.
"Ya Allah, ibu kenapa jadi seperti ini?" Intan panik saat sampai di kamar ibunya, ternyata ibunya telah pingsan.
Tara segera menggendong ibu mertuanya dan di bawanya ke dalam mobil, lekas Tara melajukan mobilnya menuju rumah sakit terdekat supaya lekas mendapatkan penanganan.
Intan sangat panik, gelisah tak karuan. Bahkan dia melupakan pertengkarannya dengan Tara. Yang ada di pikirannya saat ini adalah kesehatan ibunya.
"Ya Allah, semoga ibuku baik-baik saja." Doa Intan dalam hati.
"Sabar ya, sayang." Tara merengkuh Intan dalam pelukannya.
Tak terbendung air mata Intan, dia tak bisa membayangkan jika terjadi sesuatu pada ibunya. Dia tak punya lagi tumpuan hidup.
Tak berapa lama, keluarlah dokter dari ruangan tersebut.
"Bagaimana kondisi ibu saya, dok?" Intan menatap dokter penuh penasaran.
"Anda tak usah khawatir, kondisi pasien saat ini telah membaik. Tekanan darahnya terlalu tinggi, yang membuat pasien pingsan." Dokter menjelaskan.
"Alhamdulillah." Intan melangkah ke ruang rawat ibunya.
"Ibu, tolong jangan seperti ini lagi. Aku sangat takut dan khawatir terjadi apa-apa pada ibu, karena hanya ibu yang aku punya di dunia ini." Intan memeluk Ibu Mita seraya menitikkan air matanya.
"Nak, sudahlah jangan menangis. Ibu nggak apa-apa, tadi tiba-tiba kepala ibu pusing sekali. Percayalah ibu akan panjang umur, karena kelak ingin menimang cucu ibu. Kamu jangan bersedih, ntar anakmu ikut bersedih." Ibu Mita mengusap surai hitam Intan.
"Intan sedih, bu. Ingin cerita ke ibu tapi khawatir membebani pikiran ibu.Intan sedang khawatir,bu. Kisah kelam masa lalu terulang lagi." Keluh kesah Intan dalam hati.
"Sayang, sudahlah. Tak perlu kamu menangis dan bersedih terus, ibu sudah baikan jadi apa lagi yang kamu tangisi? kasihan anak kita, pasti ikut bersedih." Tara berusaha menghibur Intan.
"Wajar, jika wanita hamil itu sensitif. Mudah sekali menangis, tapi kamu harus bisa mengontrol diri, jangan lepas kendali dengan sedikit-sedikit menangis." Ibu Mita mencoba memberi nasehat pada Intan.
Setelah mendengar nasehat ibunya, Intan mengusap air matanya. Dia mencoba kuat,tegar dalam menghadapi ujian hidupnya ini.
Ibunya di rawat inap satu hari untuk masa pemulihan. Pagi menjelang, Bu Mila di perbolehkan pulang.
"Maaf, ibu sama Intan naik taxi on line saja. Karena aku buru-buru, nggak apa-apa kan bu?" tutur Tara.
"Hem, iya nggak apa-apa." Jawab Bu Mita.
"Sayang, maafkan aku nggak bisa mengantar ibu dan kamu. Karena tiba-tiba ada urusan kantor." Tara berlalu begitu saja.
"Bagaimana aku nggak sedih, sikapmu padaku seperti ini?" batin Intan seraya menatap kepergian suami sirinya.
Selagi Intan dan Bu Mita menunggu taxi on line tepat di halaman rumah sakit, melintaslah Reno dan Saras.
Intan sengaja berpura-pura tak melihatnya, bahkan mengajak ibunya untuk pindah tempat dalam menunggu taxi on line, karena khawatir ibunya akan melihat Reno dan Saras.
Namun Saras sempat melihat Intan, dia sengaja mengajak Reno untuk menghampiri Intan dan ibunya.
"Ya Allah, untuk apa mereka malah kemari. Padahal aku sengaja untuk menghindari mereka. Karena aku nggak ingin membuka luka lama, dan nggak ingin ibu ikut merasakan sakit saat melihat Reno dan Sara," batin Intan.
"Eh ketemu Intan dan ibunya, bagaimana kabar kalian? lama juga ya, kita nggak bertemu." Saras menyeringai sinis.
Intan tak menjawab sapaan dari Saras, dia malah mengajak ibunya berpindah tempat. Namun Saras menghalangi langkah Intan dan ibunya.
Heh, kalian nggak ada sopan santunnya ya? ditanya bukannya jawab malah mau pergi begitu saja," tatapan Saras sinis.
Berbeda dengan Reno yang kini mulai terpesona lagi saat melihat paras Intan.
"Kenapa di usia Intan yang sudah tidak muda, malah terlihat sangat cantik. Bahkan seperti gadis kemarin sore," batin Reno seraya menatap Intan tak berkedip.
Saras melirik ke arah Reno, dan mengetahui jika saat ini suaminya sedang menatap mantan istrinya.
"Mas, kamu ngapain sih! menatap mantan istrimu sedemikian rupa! jangan bilang kalau kamu jatuh cinta kembali!" bisik Saras mencubit pinggang Reno.
"Aku punya mata, ya untuk melihat. Apa lagi yang ada di depan mataku adalah mantan istriku. Bagaimanapun dia pernah ada di hatiku, walaupun kini sudah tidak bersama lagi." Reno tak sadar dengan ucapannya seraya matanya terus saja menatap pada Intan.
Perkataan Reno membuat Saras semakin kesal dan marah. Hingga akhirnya menarik paksa Reno untuk pergi dari hadapan Intan.
"Pulang sekarang juga." Saras menyeret tangan Reno.
Reno mengikuti Saras secara terpaksa namun pandangan matanya tetap tertuju pada Intan.
Intan menatap Reno terus, dengan maksud ingin bertanya tentang kondisi putrinya.
"Jika kondisi ibu sedang tidak sakit, aku pasti akan mengejarmu Mas Reno. Bukan untuk menyatakan kalau aku masih cinta padamu, melainkan aku ingin tahu kondisi putriku. Ya Allah, harusnya tinggal selangkah lagi aku bertemu anakku, tapi malah keadaan tak memungkinkan," batin Intan seraya menghela napas panjang.
"Nak, kenapa tadi kamu nggak bertanya pada Reno tentang kondisi anakmu dan siapa nama anakmu?" Bu Mila tiba-tiba berkata.
"Entahlah, bu. Di depan mereka tiba-tiba bibirku kelu tak dapat berbicara, padahal hati ini sudah berniat bertanya tentang putriku," Jawab Intan berbohong.
"Maafkan aku, bu. Telah berbohong padamu, nggak mungkin aku beralasan karena ibu sedang sakit dan aku tak rela meninggalkan ibu sendiri hanya untuk mengejar mereka. Aku nggak mau ibu menjadi sedih dan berpikir yang macam-macam sehingga akan memperburuk kesehatan ibu," batin Intan seraya menghela napas panjang.
Tak berapa lama kemudian, taxi on line pesanan Intan telah datang. Dia menuntun ibunya masuk ke dalam taxi tersebut secara perlahan.
Pikiran Intan terbagi yakni sedang memikirkan putrinya dan sedang memikirkan suaminya.
"Aku tahu, saat ini suamiku sedang bersama Laras. Aku semakin ingin tahu, apakah yang di ceritakan suamiku benar, atau cerita Laras yang benar?" batin Intan.
"Aku ingin lekas menyelidiki suamiku, tapi aku nggak mungkin meninggalkan ibu sendiri, karena kondisinya masih belum sehat," Intan gelisah.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 219 Episodes
Comments