Apakah ini takdir seorang wanita? Ketika dia tidak lagi dicintai, ia pantas dibuang layaknya sampah.
****
Setelah aku sampaikan semua yang telah terjadi padaku di sekolah, wajah ayah tampak menegang.
"Jadi kamu yang keluar dari tempat kerjamu?" tanya Ayah.
"Iya, Yah." Jawabku.
"Harusnya kamu bisa minta waktu kepada mereka untuk tetap mempertahankan kamu di sana. Setidaknya sampai kamu mendapatkan pekerjaan yang baru," sahut Ayah.
"Tidak, Rena tidak mau, Yah. Rena sudah terlanjur kecewa pada lembaga itu, bagaimana bisa mereka membiarkan ketidak-adilan ini terjadi? Jelas-jelas Kak Ray yang salah, ia bertindak semaunya. Dia sudah selingkuh tapi perbuatannya dianggap sesuatu yang wajar. Menurut mereka kalau laki-laki memiliki wanita yang lebih dari satu apalagi di masa puber keduanya itu adalah hal yang wajar, "
"Belum lagi tuduhan mereka atas Rena yang menganggap perbuatan Rena itu salah. Rena terlalu lancang karena telah berani membuka ponsel suami Rena. Padahal semua itu Rena lakukan tanpa sengaja. Rena saja tak mengizinkan anak-anak menyentuh ponsel ayahnya. Lalu untuk apa Rena bermain dengan ponselnya Kak Ray?"
"Saat itu Rena membuka pesan karena Rena merasa khawatir ada pesan penting yang masuk untuk Kak Ray. Mengingat nama siswanya tertera di ponsel itu. Apalagi pesan itu berbunyi berkali-kali. Di tengah malam pula. Selain itu, sebelumnya Kak Ray sendiri cerita kalau ada siswanya yang masuk rumah sakit. Jadi, Rena takut apa yang pernah dialami murid Rena yang meninggal secara tiba-tiba juga terjadi pada muridnya Kak Ray. Itulah sebabnya Rena memberanikan diri membuka ponsel itu. Namun siapa yang menyangka isi pesannya di luar dugaan Rena," ucapku menahan segala sesak di dada saat mengingat kejadian hari itu.
"Semuanya bagi mereka adalah salah Rena. Rena juga dianggap sebagai istri yang tidak taat, padahal mereka tidak tahu sama sekali berapa banyak kesedihan yang sudah Rena tahan untuk menjaga ketaatan Rena pada suami Rena," menghela nafas berat.
"Bahkan ayah tahu sendiri waktu Mama sakit, Rena sampai tidak menjenguk Mama selama sebulan karena Kak Ray tidak memperbolehkan Rena keluar tanpa seizinnya. Rena ikuti. Lalu ketika Rega harus menjalani dua kali operasi dan lagi-lagi Rena tidak diizinkan oleh Kak Ray, Rena ikuti,"
" Dan entah sudah berapa banyak lagi yang mungkin Mama dan Ayah sendiri juga tahu permintaan Kak Ray yang bertentangan dengan nurani Rena yang harus Rena ikuti. Bahkan, Rega dan Reni sampai menganggap kalau Rena hanya mementingkan keluarga kecil Rena dengan Kak Ray dan tidak peduli dengan keluarga ini, hiks, hiks, "
"Kalian juga tahu betapa otoriternya Kak Ray dalam kepemimpinannya. Tapi apakah Rena membangkang? Rena hanya mengeluh dengan harapan agar Kak Ray berubah, tapi dia sama sekali tak pernah sama sekali mau berubah, "
"Lalu apakah Rena yang meminta talak kepadanya? Tidak, Ma, bahkan Rena pernah sampai bersumpah demi anak-anak bagaimana pun Kak Ray menyakiti Rena, Rena tidak akan pernah meminta cerai kepadanya. Akan tetapi kenyataan sekarang, semua tuduhan ditunjukkan kepada Rena. Rena dianggap sebagai istri pembangkang sehingga membuat Kak Ray berpaling kepada wanita lain. Wanita yang sebenarnya saat itu telah bersuami. Sungguh menjijikan. Dia mengagung-agungkan istri yang telah mengkhianati suaminya sendiri. Sementara istri yang menemani dia di saat susah dan sulit sama sekali tidak dianggap,"
"Apakah mereka tidak punya nurani Ma? Istri mana yang mengharapkan suaminya memberi talak apalagi sampai talak tiga? Istri mana yang rela dicerai lalu dipisahkan dengan kedua buah hatinya?" ucapku penuh sesak dengan air mata mulaiengalir di pipiku.
"Ma, Rena sudah tidak tahan menerima tuduhan mereka. Itu sebabnya Rena putuskan untuk keluar saja dari tempat itu. Mereka tidak layak mendapatkan pengabdian Rena, tidak layak, hiks hiks," ucapku melihat ke arah Mama yang sedari tadi ikut menangis bersamaku.
Mama yang memahami perasaanku, tak kuasa menahan air matanya.
"Benar, Yah. Tindakan Rena sudah benar. Keluar dari tempat itu lebih baik daripada masih bertahan dengan menahan sesak, " ucap Mama memberi dukungan kepada keputusanku dan ayah hanya bisa menghela nafas panjang.
"Lalu, apa rencana kamu setelah keluar dari sana Rena. Apa kamu masih ingin mengambil
hak asuh anak-anakmu dari Rayhan?" tanya Ayah.
"Rena akan tetap melakukan itu, Yah. Rena bisa kehilangan semua harta atau pun pekerjaan Rena, tapi Rena enggak mau kehilangan mereka." Jawabku.
"Tapi sekarang kamu tidak sedang bekerja! Lalu bagaimana kamu bisa menafkahi dan memberi uang jajan pada mereka," ucap Ayah yang seolah ingin menyadarkan agar aku menyerah dalam memperjuangkan nasib anak-anakku.
"Rena masih memiliki sedikit tabungan, Yah. Selain itu, Rena juga akan berusaha keras mencari pekerjaan baru untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bila perlu Rena akan berhenti jadi guru dan menjadi buruh kontrak saja untuk bisa membiayai mereka, yang penting Rena bis bersama mereka," ucapku penuh penekanan, berusaha meyakinkan Mama dan Ayah agar mau membantuku mendapatkan anak-anakku.
"Maaf, Rena, tapi kali ini Mamah setuju dengan ayahmu. Ikhlaskan mereka dan biarkan mereka bersama ayahnya saja," sahut Mama.
"Mah, please, hiks hiks hiks! Tolong ngertiin Rena, Ma! Mama juga seorang ibu kan? Apa Mama rela
kehilangan anak-anak Mama? Kehilangan Rena?"
"Apa Mama tahu? Sejak perceraian itu Rena merasa seperti manusia yang tidak punya arti apa-apa. Orang yang Rena percaya untuk menjaga Rena, malah memperlakukan Rena tak ubahnya seperti sampah yang tidak ada harganya, dibuang begitu saja, tanpa apa pun yang tersisa,"
"Ma, Rena rela kehilangan apa yang sebenarnya menjadi hak Rena sebagai istri seperti rumah, harta benda, tapi tidak untuk anak-anak," ucapku menekan kata terakhir.
"Tapi Rena.. Pikirkan sekali lagi," pinta Mama.
"Ma, Rena ini sudah memikirkannya. Rena seorang guru yang separuh hidupnya dipakai untuk mendidik anak-anak dan akan sangat ironis ketika Rena mampu mendidik anak orang lain, sedang buah hati Rena sendiri tak mampu Rena didik.
"Tapi kalau Mama sama ayah berkeras untuk tidak mau membantu Rena mengambil anak-anak, maka Rena mungkin akan pergi dari sini. Rena ingin menenangkan diri. Rena juga enggak mau merepotkan Mama sama ayah terus. Rena akan pergi jauh dari sini sampai Rena bisa melupakan semuanya," ucapku berjalan masuk ke dalam kamar menutup pintu rapat-rapat dengan derai air mata yang membanjiri wajahku.
Di atas ranjang itu aku hanya bisa menangisi nasibku.
“Ya Allah, kenapa ujian yang harus aku jalani begitu berat? Apakah aku masih bisa hidup tanpa kedua buah hatiku?" (batinku)
****
Dua hari kemudian
Berbagai pikiran dan perasaan menyatu dalam benakku. Rasa marah, kecewa, sedih, dan tidak percaya bahwa dirinya mampu dikhianati oleh orang yang selama ini menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Aku sama sekali tidak menyangka bahwa laki-laki yang bahkan nyawa saja rela aku pertaruhkan agar bisa melahirkan keturunan darinya bisa melakukan perbuatan begitu hina seperti itu. Apakah laki-laki ini tak punya nurani?
Belum cukupkah talak yang telah menginjak harga diriku sebagai wanita. Talak yang menghancurkan mimpiku dan kedua buah hatiku. Mimpi akan kerinduan keluarga yang harmonis. Mengapa? Mengapa lagi-lagi laki-laki yang dipanggil ayah oleh anak-anakku mengkhianatiku. Padahal aku telah berlapang dada untuk memaafkan pengkhianatan nya dengan wanita laknat itu.
Memaafkan semua kesalahan di masa lalu dan bersedia menganggap dirinya sebagai teman, meskipun hati ini telah disakiti olehnya berkali-kali. Tapi kabar apa yang selanjutnya aku dapatkan, hanyalah KECURANGAN.
Saat ini aku dan Bang Reno kini sedang berada di halaman depan pengadilan agama Cibinong. Setelah kami memarkirkan motor yang kami kendarai, kami melangkah masuk ke gedung itu. Keadaan pengadilan saat itu cukup ramai, membuat aku harus mengantri untuk mendapatkan tujuanku.
"Silakan Bu, ada perlu apa?" tanya seorang petugas pengadilan kepadaku saat aku sudah sampai di depan lobi informasi.
"Emm, maaf, pak, saya mau menanyakan perkara sidang perceraian atas nama Muhammad Rayhan," tanyaku.
"Boleh tau nomor pengajuannya, Bu?" tanya petugas itu.
"Maaf, saya tidak tahu karena waktu itu yang mengajukan gugatan perceraian bukan saya, Pak" jawabku.
"Boleh pinjam KTP atau buku nikah Ibu," tanya petugas itu lagi.
"Iya, Pak boleh. Ini KTP dan buku nikah saya," ucapku sambil memberikan kedua barang itu kepada petugas tadi.
"Sebentar ya, Bu," sahut petugas itu sambil mengetik komputer untuk mencari data yang aku butuhkan.
"Sidangnya sudah selesai Ibu dan akta cerainya pun sudah keluar dan sudah bisa Ibu ambil," sahut petugas tadi
"Apa??!! Secepat itu? Kok, bisa Pak? Kenapa sebelumnya saya sama sekali tidak pernah mendapatkan surat panggilan sidang dari pengadilan? Bukankah proses perceraian baru bisa terjadi setelah adanya sidang?" tanyaku terkejut.
"Sidang? Ada, kok Bu, kami selalu mengirimkan surat panggilan pengadilan sebelum sidang dilaksanakan baik itu kepada pihak tergugat maupun penggugat," jelas petugas tadi.
"Tapi saya tidak pernah mendapatkan surat panggilan tersebut sama sekali Pak, dan mantan suami saya pun tidak pernah memberi tahukan itu kepada saya. Padahal, kami bekerja di tempat yang sama dan hampir bertemu setiap hari," keluhku sedikit emosi.
"Memang Ibu tinggal di mana selama ini? Kenapa Ibu sampai tidak mendapatkan surat panggilan tersebut?" tanya petugas tadi.
"Di rumah orang tua saya, Pak. Itu karena mantan suami saya tidak mengizinkan saya untuk tinggal di rumah saya, setelah ia mengantarkan saya ke rumah orang tua dan mengucapkan talak 3 nya kepada saya," ucapku sedih.
"Apa sebelumnya Ibu sama sekali tidak punya firasat tentang hal ini? Biasanya wanita itu sangat kuat firasatnya?" tanya petugas tadi.
"Ada, sih Pak, itu sebabnya saya berkali-kali menghubungi Ketua RT dan Ketua RW setempat agar saya diberi tahu jika ada surat panggilan pengadilan untuk saya. Namun selama ini, setiap kali saya tanyakan, jawaban mereka itu tidak pernah ada, "
"Saya juga pernah meminta izin mantan suami agar saya bisa tinggal di rumah kami untuk sementara waktu sampai dia mengurus perceraian kami secara resmi. Sedangkan, dia untuk sementara tinggal di rumah orang tuanya saja dulu. Tapi ya, dia malah menghina saya dan saya dianggap wanita yang tak tahu malu karena sudah ditalak tapi masih ingin tinggal di sana. Padahal, saya hanya ingin berjaga agar situasi seperti ini tidak terjadi. Karena saya tahu KTP saya masih di sana," ucapku.
"Berarti memang suami Ibu itu jahat. Dia merencanakan ini semua dan dia sepertinya memang sengaja berniat menyembunyikan hal ini dari Ibu," ucap petugas tadi menekan kata 'jahat'.
Kata yang membuatku sadar seperti apa rupa mantan suamiku selama ini. JAHAT itulah kata yang tepat untuk Rayhan.
Aku memang bodoh. Mengapa aku tidak melakukan gugatan lebih dahulu? Mengapa ia masih mengharapkan jalan damai atas pembagian harta gono gini dan hak pengasuhan anak.
Aku memang terlalu naif. Harusnya setelah aku melihat perselingkuhan suamiku itu, merasakan firasat bahwa Rayhan akan berbuat kecurangan seperti itu. Aku seharusnya mengikuti firasatku. Aku seharusnya bertindak lebih dulu. Tapi, mengapa aku masih berpikir bahwa Rayhan pria baik.
Aku seharusnya sadar bahwa Rayhan tidak mungkin mau berlama-lama menduda. Sementara ada wanita yang menyodorkan diri untuk menjadi pasangannya.
Padahal aku dengan berani telah merobek kertas perceraian yang disodorkan Rayhan kepadanya. Hanya demi tujuan agar Rayhan tidak bertindak semaunya dan merampas semua hakku dan anak-anakku secara paksa, tapi sekarang mengapa dia bisa salah jalan?
Mengapa aku bisa salah mengambil langkah? Apa gunanya lagi bukti-bukti perselingkuhan Rayhan yang ia simpan rapat-rapat agar Rayhan tak bisa bertindak semaunya? Sidang sudah selesai, itu akhirnya ia sudah kalah sebelum berperang. Rayhan memang laki-laki licik, sangat licik. Bahkan, sekarang ia harus kehilangan pekerjaan yang begitu dicintainya gara-gara ini.
Aku mengusap air mataku. Aku akan membongkar kebusukan Rayhan di depan Bambang Hartawan.
"Pak, boleh saya tahu tanggal berapa saja sidang perceraian kami dilaksanakan," tanyaku.
"Sebentar ya, Bu," ucap petugas itu kembali menatap layar komputernya.
"Sidang pertama tanggal 18 Februari, sidang kedua tanggal 15 Maret, dan terakhir putusan perkara tanggal 24 Juni kemarin," sahut petugas tadi.
"Baik, Pak, terima kasih infonya. Oh ya, Pak, tapi kok bisa sidang tetap dilaksanakan padahal istrinya tidak pernah ada selama persidangan?" tanyaku masih penasaran.
"Bisa, Bu, itu disebut putusan verstek, putusan sidang tanpa dihadiri pihak termohon. Dalam hal ini Ibu sebagai pihak termohon dianggap tidak diketahui keberadaannya dan termohon dianggap lalai karena tidak mengindahkan panggilan pengadilan, " jawab petugas tadi.
Apa? Sungguh konyol. Tidak dihadirkan karena dianggap tidak diketahui keberadaannya, padahal jelas-jelas kami hampir bertemu setiap hari (Pikir Rena).
"Tapi teman saya pernah bilang, katanya biasanya surat panggilan pengadilan itu dikirim langsung oleh kurir yang memang ditugaskan oleh pengadilan ini dan harus dipastikan bahwa surat itu diterima oleh yang berhak menerimanya," sahut Rena.
"Iya, biasanya memang seperti itu, Bu " sahut petugas tadi.
"Berarti ada indikasi tanda tangan saya dipalsukan, Pak?" tanyaku.
"Bisa jadi, dan kalau memang Ibu ingin lebih jelas, Ibu bisa saja mengusut masalah ini dengan datang ke kantor polisi, dan melaporkan perkara pidana ini untuk menyelidiki apakah benar ada pemalsuan tanda tangan atau tidak," jawab petugas itu.
Aku terdiam mendengar penjelasan dari petugas tadi. Lalu aku menatap sekilas ke arah Reno, abangku, aku ingin bertanya padanya apakah pendapatnya tentang masalah ini? Apakah aku harus melanjutkan kasus ini sampai ke tangan polisi atau tidak?
"Terima kasih atas penjelasannya, Pak, dan bisakah saya meminta salinan persidangan dari kasus perceraian saya?" tanyaku.
"Bisa, Bu, silakan Ibu ke loket sana dan isi formulir serta beberapa persyaratan yang diminta," sahut petugas itu menunjuk ke arah loket yang ada di ujung sebelah kanannya.
Aku dan Bang Reno mengikuti arah yang ditunjuk petugas tadi. Aku berjalan menuju loket tersebut dan mengantri kembali seperti tadi. Setelah cukup lama mengantri, aku pun mendapatkan apa yang diinginkannya, akta cerai dan salinan persidangan perceraiannya.
"Rena, apakah kamu serius akan melaporkan mantan itu suamimu ke kantor polisi?" tanya Reno, mengeluarkan pertanyaan yang sedari tadi ingin ia tanyakan pada adiknya itu.
Sebelum menjawab aku menghela nafas panjang.
"Entahlah, Rena masih bingung dengan itu, Bang. Di satu sisi Rena tidak terima dengan perlakuan Rayhan, namun di sisi lain sejahat apa pun dia, dia tetaplah ayah anak-anak Rena. Rena tidak mungkin tega melihat ayah dari anak-anak Rena harus tersangkut masalah dengan kepolisian gara-gara tuntutan Rena tersebut. Bagi Rena sekarang adalah memikirkan cara bagaimana mendapatkan anak-anak Rena kembali" ucapku.
***
Bersambung
Jangan lupa like, vote, dan komen terbaiknya ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Opung Boru Caroline
wanita sekalu salah
2022-01-28
3
Siapa aku?
Laki-laki egois
2021-12-02
3
Rena
Ada bawang ya.. 🤧
2021-07-04
4