"Kau, sedang apa di kamarku? Kenapa tidur seranjang denganku !" bentak Ali dengan sorot mata elangnya.
"Kamarmu ? ini kamarku," Ara bergumam dengan masih setia mengucek matanya.
"Kau bilang, kamar ini milikku. Kenapa sekarang kau ada di sini?" tanya Ali dengan rasa dongkol.
Apa sebenarnya mau gadis ini, semalam dia bilang Ali tidak boleh masuk kamarnya tanpa izin. Tapi sekarang, dia justru masuk ke kamar Ali tanpa izin. "Dasar, gadis Ca*ul !" sarkas Ali dengan menunjuk Ara.
"Gadis C*b*l, kau benar-benar menghinaku ya, Ha !! Gadis Ca*ul. Mati aku," Lagi-lagi, Ara menepuk keningnya sebagai rasa kesalnya karena menjadi seorang pelupa.
Setelah sadar dengan kesalahannya, Ara membuka matanya lebar-lebar. Di lihatnya Ali menatapnya dengan tatapan sengit.
"Kenapa, tidurku nyenyak sekali ya?" gumam Ara, heran dengan dirinya yang biasanya tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak. Saat ini justru terlalu nyenyak tidur di pelukan suami yang tidak mencintainya.
"Cepat bangun ! sudah masuk waktu Subuh. Aku bisa telat beribadah jika meladeni gadis c*bul sepertimu," Ali berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim.
Setelah Ali menghilang dari pandangannya, Ara segera bangun dari ranjang. Berlari menuju kamar miliknya, dengan cepat membersihkan dirinya juga. Karena tidak paham dengan ucapan Ali tadi, Ara memutuskan untuk kembali ke kamar Ali.
"Tadi, Danish, bilang apa ya. Sudah masuk waktu apa tadi, aku benar-benar lupa?" Ara mengoceh seraya berjalan menuju kamar sang suami.
Setelah sampai di depan pintu, Ara mengetuk pintu karena pintu itu sudah di kunci oleh Ali.
Suara ketukan pintu, mengganggu aktifitas Ali yang sedang menggelar sajadah.
Dengan malas, Ali membuka pintu itu agar tidak mengganggu ibadahnya.
"Mau apa lagi, sih?" tanya Ali ketika melihat Ara berdiri di depan pintu kamarnya.
"Tadi, kamu bilang, sudah masuk waktu apa?" Ara memberanikan diri untuk bertanya pada laki-laki di depannya.
Ali menghembuskan nafasnya kasar, wanita ini benar-benar tidak tahu tentang ibadah. Atau hanya berpura-pura.
"Kau, Muslim kan?" Ali menanyakan status Ara karena baginya, ibadah bukan mainan, juga tidak bisa untuk ajang bercanda.
"Di semua berkasku, aku Muslim. Memang kenapa ?" Ara menjawab dengan tatapan semakin bingung. Kenapa Ali bertanya masalah itu.
Ali semakin dongkol, dia pikir Ara sengaja membuang waktunya. Dengan rasa jengkel, Ali meninggalkan Ara dengan pintu yang sengaja dia buka lebar. Agar Ara melihat sendiri apa yang di lakukan olehnya.
Melihat Ali masuk dan berdiri di atas sebuah sajadah, Ara duduk di ranjang dan memperhatikan apa yang di lakukan oleh Ali. Sejak Ali melakukan takbir, rukuk, sujud, hingga salam. Semua itu tidak lepas dari pandangan Ara.
Setelah selesai melakukan dua rokaat subuhnya, Ali duduk bersila dengan tangan mengadah. Ara tidak tahu apa yang Ali ucapkan, hanya saja, Ara dapat mendengar satu nama yang di ucapkan oleh Ali.
"Kau, benar-benar berharga untuk dia Sil. Bagaimana caranya aku mendapatkan hatinya? jika kamu masih memenuhi ruang hati Danish," Ara bergumam sendiri.
Ali melipat sajadah miliknya, dan menyimpannya dalam lemari. Laki-laki yang sudah beristri itu, mengambil setelan baju untuknya bekerja. Namun, kegiatannya terhenti karena Ara masih diam di ranjang miliknya.
"Kenapa, malah melamun di sini? Kau tidak menjalani kewajinanmu sebagai wanita Muslim?" Ali bertanya dengan nada kesal.
"Maksudmu, melakukan yang seperti kamu lakukan barusan?" Ara justru bertanya tanpa menjawab pertanyaan Ali.
"Iya, kau tidak sholat. Atau selama ini, kau memang tidak pernah sholat?" Ali menebak ekspresi Ara yang bahkan tidak tahu apa yang dia lakukan barusan.
Ara menunduk, semakin hilang rasa percaya dirinya untuk mendapatkan hati suaminya.
"Aku tidak pernah belajar ilmu Agama, Danish," Ara menjawab tuduhan Ali dengan lirih.
"Apa? Kau tidak pernah belajar ilmu Agama? Kau ini Muslim Ara !" bentak Ali pada Ara.
"Daddy, tidak pernah mempunyai waktu untuk mengajariku. Danish," Ara meneteskan air matanya, gadis itu semakin insecure untuk menjadi istri dari Ali.
"Kau, pasti tidak punya mukenah kan? Nanti beli mukenah. Kau ini Muslim, Ara, seharusnya lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebelum kau mati !"
Karena melihat Ara meneteskan air mata, Ali mendekat, duduk di sebelah sang istri.
"Sudah, jangan menangis ! Nanti aku yang akan mengajarimu," ucapan Ali membuat Ara mendongak, menatap dalam mata suaminya.
"Kamu, benar akan mengajariku? Apa kamu sudah mulai perduli denganku, Danish?" Ara pikir, Ali akan mengajarinya karena sudah membuka hati untuk Ara.
"Jangan terlalu besar kepala, aku mengajarimu, karena aku tidak mau menanggung dosamu. Ara," Ali memperingatkan Ara bahwa tidak secepat itu dia bisa membuka hati.
"Baiklah, nanti aku beli. Apa tadi ? Mukenah ya," Ara menghapus air matanya. Bagi Ara, ini adalah hal positif yang akan mengubah hidupnya dan mendekatkan dia pada sang suami.
"Sudah, sana keluar. Aku mau bersiap untuk ke kantor," Ali berdiri, dan berjalan menuju kamar mandi. Ara juga beranjak dari ranjang itu, menatap pintu kamar mandi yang di dalamnya berisi suami tercinta.
"Terima kasih, Asila, kamu sudah memberiku suami yang baik. Yang bisa membimbing aku ke jalan yang benar," Ara keluar dari kamar Ali, menuju dapur untuk membuatkan kopi pertama yang akan dia berikan pada suaminya.
Di dapur, Ara melihat bi Ani sedang memasak untuk sarapan majikannya. Ara mendekat, dan segera mengambil gelas.
"Nona Ara mau apa? Biar Bibik yang buatkan," Bi Ani mencegah, agar Majikannya tidak perlu repot melakukan tugas yang seharusnya adalah pekerjaannya.
"Tidak Bi, Ara yang akan membuat kopi untuk suami Ara. Bibi jangan khawatir, Ara kan sudah biasa di dapur," Ara tetap melakukan apa yang ingin di lakukannya.
"Tapi, saya merasa tidak enak Non. Saya di bayar kan untuk bekerja,"
"Bi Ani, Ara menyuruh Bibik di sini. Untuk menemani Ara, bukan hanya untuk bekerja," ucap Ara dengan lembut.
Ali menuruni tangga, menuju tempat makan. Dia mendudukkan dirinya di kursi, Ara mendekat dengan kopi panas di tangannya. Ara meletakkan kopi itu di depan suaminya.
"Ini kopi untuk kamu, Danish. Tapi mungkin rasanya tidak seenak buatan Ibu," ucap Ara merendah.
Ali meniup kopi bikinan sang istri, lalu menyicipi bagaimana rasa kopi buatan gadis culun yang sekarang sudah menjadi istrinya.
Setelah meneguk sedikit, Ali terdiam. Dia terkejut ternyata gadis culun putri konglomerat itu, bisa membuat kopi yang pas dengan seleranya. Bahkan, rasanya persis dengan buatan Ibu Salma.
"Kenapa enak sekali?" Ali hanya berkata di dalam hatinya.
Karena melihat Ali diam saja, Ara menepuk bahu suaminya. "Tidak enak, ya, maaf. Biar Bibik buatkan lagi," tawar Ara karena mengira, Ali diam sebab kopi buatannya tidak enak. Ara membalikkan tubuhnya, untuk kembali ke dapur.
"Tidak perlu, ini sudah pas. Tapi masih panas," cegah Ali, tanpa sengaja Ali menarik tangan Ara hingga gadis itu oleng dan akan terjatuh.
BERSAMBUNG...
Thanks For Reading, maaf ya updateku lama. Selain menulis, saya juga menjahit. Jadi harus bisa bagi waktu untuk semua kegiatanku.
Tapi aku usahakan akan lebih rajin Update kok.
Terima kasih dukungannya ya.
_Nurmahalicious_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 182 Episodes
Comments
Anonymous
Bukannya wkt nikah mad kawinnya sepetangkat alat solat ya. Kan ada mukenanya
2023-11-03
0
Fadilah Onika
Next kak, 2 pekerjaan sekaligus،,, Semangat kak
2022-04-17
1
vivinika ivanayanti
Maksih upnya kak .. lanjutkan 🥰💪
2022-04-11
1