Sebulan setelah kepergian mommy dan Daddy. Belum ada yang bisa bicara selain dari Anjani pada Sonia. Itupun selalu dijawab dengan irit sekali.
Remaja mungil yang biasanya ceria itu sekarang jadi pendiam kalau dirumah.
Setiap sore ia punya kebiasaan baru, selalu berjalan kaki menyusuri trotoar tanpa mempedulikan penampilannya.
Anak perempuan yang dulunya mengaku sebagai Diamon princes itu, sekarang seakan lupa kalau ia seorang perempuan,
jangankan nyalon seperti biasa, ngoles bedak kemuka saja ia lupa. Kini kulit putih bersihnya nampak kecoklatan dan kasar. Bahkan jerawat kecil- kecil mulai berani menyentuh pipi yang biasa mulus itu.
Sudah sebulan juga ia tidak pergi sekolah. Mengurung diri dikamar kalau pagi. Setelah sore barulah ia pergi mejeng, tanpa
tertarik diantar oleh sopir dengan salah satu mobil mewah yang berjejeran diparkiran istana keluarganya.
" Yah...bicaralah pada mimi...Tiap hari bu guru nanya terus mengapa ia belum masuk juga." Usul Bahar teringat ceramah panjang guru wali kelas, setiap kedua remaja putra itu memberi alasan Mimi mereka belum bisa sekolah karna masih berkabung.
Boy menarik nafas berat sembari menatap wajah sendu adik kecilnya dari layar ponsel yang terhubung dengan kamera CCTV yang ia pasang dikamar sikecil.
Melihat Ayah masih diam, Bahripun menimpali." Hidup terus berjalan yah...bagaimana bisa Mimi terus bermenung. Sebagai Ahli psykologi, tidakkah ayah ingin menyembuhkan adik sendiri? " tantang Bahri pada Boy.
" Iya nak..Ayah tentu takkan diam saja membiarkan kesedihan Mimi Kalian. Tapi luka yang berdarah kadang lebih mudah disembuhkan ketimbang Luka dalam tanpa bekas yang jelas." Ucap lirih Boy sembari berfikir.
" Jadi luka Mimi terlalu dalam ya yah...Hingga tangisnyapun tak keluar. " tanya selidik Bahri.
" Iya nak...Tapi sejauh yang ayah selidiki, Mimi kalian tidak melakukan hal yang menyimpang untuk membuang sedihnya. " Ujar Boy sembari memeluk pundak kedua putranya.
" Iya yah...Kalau menyimpang tidak! tapi ia melupakan kalau ia masih anak sekolah, sekarang ia malah hobby jalan sore dengan tampilan gadis gembel. " Sungut Bahar teringat Sonia yang sering
keluyuran sore dengan berjalan kaki.
" Iya nak...ayah tahu itu. Tapi ayah lihat ia jalan- jalan sembari berbagi makanan dengan anak jalanan. " Jelas Boy yang sudah memata- matai kegiatan sore adiknya.
" Tapi kapan Mimi balik sekolah yah?Gimana cara kami membujuknya." Rengek Bahar yang sudah merasa malu tiap hari dapat ceramah dari wali kelas mereka.
" Tak usah membujukku! Besok aku mulai
sekolah. " Ujar suara lantang datang
dari arah pintu.
Boy tersenyum melihat keterkejutan kedua putranya, sedang ia sendiri sudah melihat adiknya berjalan menuju ruangan ini.
" Benarkah Mimi !!! " teriak serentak Twins Boy sembari berlari mengejar Sonia dengan maksud memeluk tubuh kecil sang Onty yang mereka panggil Mimi.
" Jangan rebutan Ah! Biasakan budaya Antri." Ujar sang Mimi dengan senyum tipis.
" Ok' Bos! " ucap patuh Bahri sedikit menyingkir untuk membiarkan Bahar sang Abang memeluk duluan.
" Akhirnya senyum princes kembali walaupun irit . " Ucap senang Bahar sembari mengurai dekapannya.
" Iya mi...senyuman Mimi obat sakit gigi Abang. " Seloroh Bahri dengan buru- buru mendekap sang Mimi.
" Sakit gigi lebih ngeselin dari sakit hati lho mi... Melihat Mimi mayun terus, ulat gigiku pada blingsatan. " Timpal Bahar kemudian.
" Apa hubungannya senyumku dengan gigimu! Masalah gigimu , salah sendiri malas gosok gigi sebelum bobok, rasain tuh gigi diopok opok sama ulat jorok. " balas Sonia.
" He...He. Adalah...Senyum Mimi rasa saingan bagiku, kalau Mimi rajin senyum , akupun akan semangat gosok gigi. " Ucap sembarang Bahar.
" Terserah mulah...yang nanggung sakit bukan Mimi! " Ucap Sonia dengan mencibir.
" Pokoknya senyum dong...tanpa senyummu dunia hampa. " Rayu Bahri yang langsung dapat jitakan dari sang Mimi.
" Jangan mencederai otak berhargaku ini lho Mimi. " protes Bahri dengan wajah dibuat memelas , diusapnya kepalanya itu berulangkali.
" Makanya jangan banyak bacot kamunya! Simpan gombalanmu itu, sampai ketemu gadis pilihanmu dikemudian hari. " ujar Sonia sembari bersiap hendak pergi.
" Bisakah kami ikut denganmu Mimi? " tanya Bahar setelah sang Onty berjalan beberapa langkah
" Kalian hanya boleh jadi pengawal disekolah, kalau dunia luar, biarkan aku melebarkan sayapku sendiri." Sarkas Sonia yang spontan membuat kedua ponakan cucumutnya surut bak kucing ditabok tuannya.
" Sudah Ayo kita tanding main badminton! ! soal Onty tenang aja, ada orang suruhan ayah yang selalu mengawalnya dari jauh. "Ajak sang ayah dengan berbisik.
Kedua remaja itu manggut- manggut, lalu mulai bersiap ganti baju , mengambil Raket andalan masing- masing untuk menjawab tantangan sang Ayah dilapangan bulu tangkis keluarga.
Sedang Sonia mulai lagi dengan pertualangan sorenya. Disaksikan sinar Surya yang mulai meredup dengan warna jingga yang berangsur- angsur menepi ke keufuk barat, Sonia melangkah santai menyusuri pinggiran jalan.
Sepanjang trotoar ia terus berfikir, bagaimana ia mengisi hidupnya kedepan, agar ia bisa mendapatkan tempat meluapkan kasih sayang pada mommy dan Daddy yang masih terbengkalai.
Sonia berjalan kemana kakinya membawa, sekilas terlihat gadis mungil itu seperti OSB ( Orang stres Baru )
Tapi setelah orang bertegur langsung dengannya, barulah orang tahu, remaja ini memiliki kepribadian yang uniq.
Apa yang terlihat aneh dan tidak enak dipandang matanya, ia akan segera memeriksa. Jika ada sampah atau halangan dijalan, ia akan mengutipinya.
Bila melihat ada orang yang perlu dibantu, ia takkan segan menyingsingkan lengan baju untuk menolong , tak peduli kalau tubuhnya akan kotor dan wajah putihnya berubah kemerahan.
Semakin sering ia berjalan, semakin banyak kejanggalan dan ketidak seimbangan kehidupan di Ibukota yang ia
temukan, membuatnya makin merasa hidupnya selama ini terlalu mewah, apapun yang diinginkan bisa didapatkan dengan mudah.
" Aku seharusnya bersyukur, hidupku dan keluarga jauh dari kata susah, hanya mommy dan Daddy saja yang sudah tiada, selebihnya apapun bisa kudapatkan dengan mudah." batinnya.
Sonia bertekad untuk sekolah lebih baik lagi. Ia teringat pula dengan kegiatan sosial yang selama ini Mommynya kelola. Ia mulai mengunjungi panti setiap balik dari sekolah.
Melihat para lansia yang dititip dipanti kadang terlihat sedih dan butuh teman bercerita, Niapun memutuskan untuk lebih dekat dengan mereka.
" Aku tak punya kesempatan merawat mommy dan Daddyku karna mereka pergi dalam berkesehatan, maka aku akan menganggap mereka dipanti sebagai tempat membagi kasih sayang yang belum tersalur ini. " tekad hati Sonia.
Suatu malam, Usai makan malam bersama. Sonia menarik nafas panjang sebelum menyampaikan keinginannya.
" Bagi Sonia warisannya bang... Sonia mau meninggalkan rumah ini. " ucapnya pelan namun bernada mantap.
Boy tersenyum sembari menatap Sonia dengan lembut. Sedang yang lain pada mengerutkan dahi.
" Apaan si Mimi, masih kecil sudah berani minta warisan segala. " Batin Bahar, ia menatap miminya dengan kedua Alis menaut.
Sedang Bahri santai saja, melihat cahaya muka ayahnya yang biasa.
" Sonia...adik masih lima belas tahun lho, belum bisa menerima tanggung jawab, belum boleh lepas dari pengawasan kami sebagai penyambung kasih Mommy dan Daddy. " Ucap Bella masih bingung dengan permintaan tak terduga Sonia.
" Adik mau ke Sebrang atau kepanti? " tanya Boy membuat yang lain makin bingung.
" Aku mau kepanti bang..Sejak mommy tiada, panti tidak terkelola dengan baik. Aku ingin tinggal disana sekalian bantu kelola. " Ucap mantap Sonia.
Boy berfikir sejenak, lalu senyum lembut terukir dari bibirnya.
" Tak perlu membicarakan warisanmu dulu. Abang akan memperbaiki fasilitas disana, Abang juga akan memberikan black Cart untukmu yang bisa digunakan kapan dibutuhkan, tapi awas! hanya boleh dipakai untuk keperluan penting." Ujar Boy santai.
" Apa Sonia yang masih kecil sudah bisa diberi kartu itu sih yang? Gimana kalau ia gunakan untuk hal yang tak pantas, mengingat usia remaja adalah usia yang labil. " Ujar Bella mengingatkan suaminya.
Boy menatap istrinya, tangan kanannya meremas jemari Bella, Bella tertunduk karna semua mata terarah pada mereka.
" Sonia memang masih kecil sayang...tapi ia akan berada dilingkungan
anak yatim dan Lansia, otomatis ia akan belajar dewasa, karna ia tinggal dilingkungan tak biasa." jawab santai Boy.
" Heran juga mengapa ni anak malah milih kepanti ketimbang dirumah. Padahal sikapku selaku kakak ipar ngak keras amat. " Batin Bella bertanya- tanya.
" Tapi Nia masih kecil yang...Gimana boleh dilepas tinggal ditempat para Jompo itu, daripada disitu mending dimansion mami, di Bandung atau disebrang kalau ngak betah disini." Ucap Bella masih tak rela adik kecilnya mengasingkan diri.
" Mending jaga mami dan papi aja dirumah! " usul Willi yang baru tiba dengan Anjani.
Sonia segera turun dari kursi makannya, lalu melangkah lebar untuk menyambut Anjani dan Willi sembari menyalami keduanya.
" Sonia akan bagi waktu untuk mami dan papi sekali seminggu, tapi mami dan papi
harus datang buat bantu Sonia dipanti tiap hari minggu. " Pinta gadis kecil itu dengan senyum semanis mungkin.
Orang - orang terdiam, mendengar permintaan sonia, tapi tidak dengan Willi, ia malah menjawab dengan santai.
" Apa salahnya, kalau Sonia sanggup hidup dipanti tiap hari, bagaimana papi dan mami tak bisa tinggal seminggu sekali. " Jawab Wiliam
Sonia tersenyum lebar, akhirnya ia bisa mulai mewujudkan keinginannya tanpa ada keraguan. Saking senangnya ia menciumi Anjani dan William. dengan berjinjit. " Benarkah? Nia tunggu mami dan papi dengan senang hati. " ucapnya dengan wajah cerah.
Boy senang melihat senyum adiknya telah kembali.
" Pokoknya sekolah tetap yang utama! " tegas Boy kemudian.
" It, s Ok' Mr.." Jawab mantap Sonia.
Sonia berlari kecil menuju kamarnya, disusul oleh mami dan papi, mereka membantu Sonia berkemas untuk esok.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Henri Gunawan
lanjut..
2022-05-16
5
Nadia Afriza
lanjut bosku
2022-04-26
3
Nadia Afriza
semagat
2022-04-26
3