"Kamu mau ke mana?" tanya Derya pada Sena sambil menggerak-gerakan tangannya yang masih kaku.
Sudah dua hari semenjak kejadian di kamar itu, kini Derya semakin lebih baik. Rasa nyeri di punggungnya juga sudah berkurang, lukanya pun sudah mulai mengering, meninggalkan sisa linu yang terkadang menjalar di bagian lengannya.
Sena menghampiri Derya, ia memakai gaun pendek berwarna pastel yang tampak anggun dengan sepatu tinggi.
"Ada pemotretan, aku akan memulai karirku lagi."
Senyum mengembang di bibir Derya. Sebagai seorang kakak, ia bahagia melihat adiknya yang kini punya semangat baru. Keterpurukannya yang lalu adalah momok yang mengerikan baginya hingga mengubah dirinya menjadi jahat.
Derya beranjak dari duduknya, mengelus pucuk kepala Sena dengan lembut.
"Percayalah, pasti akan ada laki-laki yang mencintai kamu dengan tulus."
Tak ada jawaban, Sena seperti memikirkan sesuatu yang membuat wajahnya suram.
"Aku pergi dulu."
Derya mengangguk lalu menatap punggung Sena yang berjalan menuju mobil.
Setelah mobil Sena menghilang di balik gerbang, Derya memanggil bibi yang ada di dapur.
Bibi berlari kecil mendekati Derya yng duduk di ruang makan.
"Mana makanan untuk Renata?"
Bibi mengambilkan satu piring nasi beserta lauknya dan segelas air putih.
Selama disekap, Derya yang terus memberikan makanan untuk Renata. Bibi pun mulai curiga, karena waktu itu tidak melihat kejadiannya, dan ia percaya begitu saja saat Derya mengatakan jika Renata sakit.
Derya membuka pintu. Sama seperti kemarin, pemandangan itu membuatnya berdecak kesal.
Dua piring nasi masih utuh, bahkan yang satu piring sudah berbau tak sedap.
"Kenapa kamu nggak makan?" ujar Derya ketus, kakinya menyenggol tubuh Renata yang bersandar di dinding.
Gelap menampar, mentari menerobos dari satu lubang ventilasi kecil menjadi penerang Derya satu-satunya bisa menatap rambut Renata.
Renata tetap pada posisinya, membenamkan wajahnya di antara lutut dan dadanya tanpa mengindahkan kehadiran Derya. Satu-satunya yang ada dalam otaknya saat ini bagaimana cara dia keluar dari rumah itu.
Praanggg
Suara piring pecah membuat Renata terkejut, ia mendongak pelan dan menatap Derya yang mematung di depannya, setelah itu menatap nasi yang berserakan di sisinya.
"Kamu mau membuatku marah?" ucap Derya sekali lagi.
Renata tertawa keras lalu berdiri di depan Derya hingga ia bisa menelusuri setiap jengkal wajah pria itu.
"Lalu kamu mau apa? Memukul ku?" tantang Renata, ia terus menepuk pipi kiri dan kanan berulang kali.
"Silakan, untuk apa aku hidup jika harus terus menerima penghinaan." Rasa takut yang sering menyelimuti itu menghilang begitu saja, semua keberaniannya terkumpul hingga menampakkan sebuah ketegaran.
Derya meletakkan piring dan kembali menghampiri Renata yang terlihat kacau. Dari lubuk hati yang paling dalam, Derya merasa iba, namun ia terus menepisnya begitu saja.
"Kalau kamu mati, aku tidak bisa memanfaatkanmu lagi."
Suara tawa Renata semakin menggema. Gadis itu bertepuk tangan hingga membuat Derya heran. Kemana Renata yang penurut dan selalu menunduk? Ke mana Renata yang berbicara halus dan ramah, dan ke mana Renata yang lugu dan pendiam?" Itulah yang menjadi pertanyaan Derya saat ini. Bahkan Renata yang ada di hadapannya seperti jelmaan monster yang menunjukkan keganasannya.
"Ternyata kamu menampungku hanya untuk memanfaatkan?" ulang Renata, ia memperjelas ucapan Derya.
Derya memutar tubuhnya dan menatap Renata yang mematung di belakangnya dengan kedua tangan yang saling melipat.
"Tapi maaf, sekarang sudah terlambat."
Seketika Derya meraih tangan Renata dan mendekapnya dari belakang.
"Lepaskan aku!" ucap Renata dengan gigi mengerat menahan rasa sakit di lehernya akibat cekikan Derya.
"Tidak ada kata terlambat bagi Derya, kamu harus jatuh di tanganku, tidak ada yang boleh memiliki kamu selain aku."
Apa maksud mas Derya, apa dia mau menjadikanku budak, aku tidak boleh tinggal diam.
Derya menarik baju Renata hingga robek di bagian pundak lalu mencium leher wanita itu dan beralih menyusuri lengannya yang nampak putih mulus.
Sialan, ternyata dia belum kapok juga.
Renata semakin geram.
Hening sejenak, Renata tak melawan, ia mencari cara untuk bisa lepas dari Derya, sedangkan Derya terus melanjutkan aksinya.
Disaat Derya sibuk membuka baju Renata, sang empu mengangkat satu kakinya dan menginjak kaki Derya.
Lagi-lagi pria itu meringis kesakitan dan merenggangkan pelukannya.
Setelah merasa sedikit aman, Renata kembali menendang senjata pamungkas milik Derya dengan lututnya.
Kedua tangan Derya menggenggam burungnya yang terasa berdenyut nyeri, wajahnya pucat menahan sakit yang luar biasa hingga ke ubun-ubun.
"Awas kamu!" ucap Derya menunjuk Renata yang tersenyum sinis ke arahnya.
Mata Derya berkunang-kunang, kepalanya terasa mau pecah karena rasa sakit itu. Kedua kakinya lentur tak bisa menopang tubuhnya hingga ia ambruk.
Renata ikut duduk di samping tubuh Derya dan mengelus pipinya dengan lembut.
"Aku pernah mengagumimu, Mas. Aku berusaha lembut dan baik pada semua orang, tapi aku selalu direndahkan. Kebaikanku tak pernah dihargai. Semua orang menganggapku lemah dan hina. Sekarang aku tidak mau ditindas, aku juga ingin bahagia seperti orang lain."
Meskipun kedua mata Derya terpejam, ia masih bisa mendengar ucapan Renata dengan jelas.
Renata mengusap air matanya lalu beranjak. Meskipun tubuhnya lemah, Renata tetap meninggalkan Derya yang tidak sadarkan diri. Tak ada lagi belas kasihan dan rasa peduli untuk orang lain yang ujung-ujungnya akan membuatnya terperangkap.
Renata keluar dari rumah Derya. Ia berjalan terseyok-seyok menyusuri tepi jalan.
Aku lapar
Renata mengelus perutnya, menatap ke arah kiri kanan. Semenjak dikurung, sedikit pun ia tak makan makanan yang diberikan Derya. Banyak orang yang menatapnya dengan tatapan aneh, namun itu tak dihiraukannya dan memilih cuek.
Berlalu lalang kendaraan yang melintas membuat Renata semakin pusing, namun ia berusaha untuk melawan rasa yang segelayar merambat membuat pandangannya semakin meredup.
Aku tidak boleh pingsan, bagaimana kalau aku tertangkap mas Derya lagi.
Renata kembali berdiri dan berjalan, namun setelah beberapa langkah kakinya lentur hingga ia jatuh pingsan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Apa!"
Sena membelalakkan matanya setelah mendapat telepon dari Bibi yang mengatakan jika Derya pingsan.
"Ada apa, Se?" tanya Omes, salah satu rekan kerjanya.
"Kakak pingsan," ucap Sena sembari memasukkan ponselnya ke dalam tas, ia panik dan langsung pergi begitu saja.
Omes menggeleng. Sebelum kembali beraktivitas, matanya menangkap sesuatu yang ada di meja.
Ini kan gelang Sena.
Seketika Omes berlari mengejar Sena yang masih nampak punggungnya dari kejauhan.
"Se, gelang kamu ketinggalan," teriak Omes.
Sena menoleh lalu menatap pergelangan tangannya dan beralih ke arah benda yang menggantung di tangan Omes.
"Iya, aku lupa," jawabnya dengan tersenyum tipis.
"Mau aku antar?" tawar Omes.
"Boleh." Sena menggeser tubuhnya dan mempersilakan Omes masuk ke tempat kemudi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
En
mantap
2022-11-07
0
🅶🆄🅲🅲🅸♌ᶥⁱᵒⁿ⚔️⃠
good job re
2022-04-11
0
wagi giyoux
lanjut
2022-03-16
1