Hampir lima jam Panji menunggu, hingga Kika benar-benar selesai dengan perawatannya, matanya tak berkedip sedikitpun saat melihat seorang gadis dengan rambut sepingang, tanpa kaca mata menghampirinya.
Gadis berdress warna putih tulang setengah lutut, dengan rambut tergerai indah tengah tersenyum kepadanya, senyuman itu mampu menghipnotis seorang Panji yang tak pernah memikirkan tentang wanita. Dihidup laki-laki itu hanya belajar dan berlajar, agar bisa lulus dan membanggakan Om Alan. Bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi orang yang mengadopsinya selama ini.
Dengan susah paya berjalan karena high hels yang tak pernah ia pakai sebelumnya, akhirnya Kika sampai di hadapan Panji yang terus menatapnya tanpa berkedip.
"Jangan liatin gue sampai segitunya, Ji! Gue malu," tegur Kika.
Panji gelagapan sendiri, saat tersadar Kika sudah berada di depannya, ia nyengir tanpa dosa. "Gila ternyata lo secantik ini Ka, gue berani bertarung, Virgo bakal jatuh cinta sama Lo."
"Jangan sebut dia Ji, gua masih takut setelah nampar dia kemarin. Gimana kalau seandainya dia nyari gue terus masukin gue ke penjara?" tanya Kika dengan bibir sedikit manyun, tangannya bertender indah di pundak Panji agar bisa berdiri.
Dengan sigap Panji menyentil kening Kika. "Berapa kali gue bilang, stop takut dengan siapapun apa lagi dengan Virgo! Kalau bisa kita balas dendam sama dia. Lihat, sekarang lo bukan Kika yang dulu, sekarang lo cantik dan punya segalanya. Satu lagi, jadi diri sendiri, gue tau lo bukan cewek pendiam, dari yang gue perhatikan selama setahun, lo itu sebenarnya gadis cerita dan ramah, tetapi lingkungan di sekitar lo yang membuat lo jadi seperti ini."
Kika tak menyahut dan hanya sibuk mengusap keningnya yang lumayan sakit.
Sepanjang jalan menuju parkiran, Kika terus menempel pada Panji, bahkan ia mengamit lengan laki-laki itu agar bisa menyeimbangi langkah lebar Panji. Jujur saja mereka berdua sedikit menjadi pusat perhatian, karena terlihat seperti pasangan yang sangat serasi.
Panji mengulum senyum, saat menyadari Kika kesusahan berjalan, ia belok kearah kiri tidak jadi menuju parkiran, kini mereka menuju sebuah toko sepatu.
"Panji, bukannya jalan keluar di sana ya?" tanya Kika.
"Iya, tapi lo yakin sanggup jalan pakai itu?" Melirik high hles hitam di kaki Kika. "Kaki lo sakit kan?"
Kika mengangguk.
"Nah makanya kita beli sepatu, tadi gue kebanyakan milih high hels buat lo."
Akhirnya mereka sampai di toko sepatu, menyuruh Kika memilih sepatu yang menurutnya nyaman di kakinya. Panji juga memilih beberapa sepatu pengeluaran terbaru.
Keasikan berbelanja tak terasa hari mulai gelap, sebelum pulang mereka makan malam dulu. Sesampainya di rumah, mereka di sambut beberapa pelayan untuk membawakan belanjaan yang begitu banyak, padahal Kika sudah menolaknya, karena sebelum berangkat ia melihat banyak pakaian di lemari, buat apa semua baju itu? Tetapi Panji mengatakan itu perintah Om Alan, akhirnya Kika menurut saja.
Baru saja akan membaringkan diri setelah mandi, suara ketokan pintu bersamaan munculnya Panji membuat Kika menghela nafas panjang. Laki-laki itu seperti kakak atau ayahnya, mengurusi semua kebutuhannya selama pindah kerumah ini. Ia mengernyit ketika Panji membawa kotak berukuran sedang juga beberapa map di tangannya.
"Itu apa?"
"Ini?" Mengangkat kotak persegi. "Ponsel buat Lo dari Om Alan," jawab Panji. "Dan ini." Memperlihatkan beberapa map coklat. "Akta kelahiran juga surat pindah lo."
Kika merebut salah satu map di tangan Panji, lalu memeriksanya.
"Naziah Putri Maulana?" gumam Kika.
"Hm, itu nama lo sekarang, agar tidak ada yang mengenali, nggak papa kan?"
Kika hanya menggangguk, toh dari dulu ia memang ingin terbebas dari masa lalunya, terutama kenangannya di SMA Nuri mantan sekolahnya.
"Terus panggilan Gue apa? Putri?"
Panji seketika tertawa. "Putri terlalu pasaran, Gimana kalau Ziah?"
"Ziah?"
"Hm."
"Nama yang bagus," sahut Ziah dengan senyuman.
"Panji, gue boleh nanya sesuatu nggak?
"Waktu dan tempat di persilahkan Nona."
"Istri sama anak om Alan di mana? Dan kenapa harus gue yang di pilih padahal masih banyak anak-anak di luar sana." Akhirnya pertanyaan yang beberapa hari ini ia pendam keluar juga, semoga ia mendapat jawaban yang memuaskan dari Panji.
"Anak dan istri Om Alan meninggal karena musuh om Alan sendiri, tau sendiri pekerjaan Om Alan gimana, itusih yang gue dengar. Dan tentang Om Alan milih kita, itu karena kita anak sebatangkara, jadi bergabung dengan Om Alan tidak akan membahayakan siapapun, seperti keluarga yang di incar misalnya."
Ziah menggangguk mengerti. "Tapi anak sebatang kara sangat banyak di luar sana."
"Iya banyak, tapi nggak punya otak jenius kayak lo sama gue. Om Alan tuh butuh orang pintar buat bantu dia, makanya kita di suruh sekolah dan belajar dengan giat, biar bisa masuk universitas di bidang IT. SMA Nuri sekolah yang susah di jangkau dengan beasiswa dan lo berhasil masuk, makanya om Alan ngajak lo bergabung, sama kayak gue dulu."
Usai menjawab pertanyaan Ziah, Panji memberikan ponsel pengeluaran terbaru pada Ziah, mengajari cara mengoperasikan benda pipih itu. Lagi dan lagi Panji di buat tertawa dengan perntanyaan-pertanyaan konyol Ziah. Ia dulu tak senorak Ziah karena memang berasal dari keluar berada tapi bangkrut dan kedua orang tuanya meninggal karena sakit.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ramadhani Kania
nmanya juga polos bang...😂😂
2022-02-26
4
Ichy
lanjut
2022-02-24
1
NadyaKim
Next Thor semangat
2022-02-24
0