Sekembali Nurul dari kejadian yang Icha sebut-sebut penculikan itu, Nurul lebih sering terlihat termenung sendiri. Nurul memang seorang gadis yang tidak banyak bicara, tapi di sela-sela waktunya itu pasti ada yang selalu dilakukannya. Entah itu membaca, merapikan barang, menyimak seseorang berbicara dan sebagainya.
Perjalanan menuju hotel bukan perjalanan yang panjang, tapi Icha menghabiskan waktunya untuk memejamkan mata. Bukankah sebenarnya tadi yang begitu mengantuk adalah Nurul? Sekembali Nurul seakan Nurul baru saja dirasuki hantu yang tidak mengijinkan matanya terpejam. Ia memandang ke luar jendela selama mobil bergerak mengantarnya.
Malam yang gelap tapi lampu-lampu di jalanan menghiasinya. Tidak seperti kejadian tadi, di mana hanya ada remang sinar bulan yang setidaknya membuat Nurul bisa melihat seraut wajah yang menyenangkan baginya. Nurul pun jadi punya kesempatan untuk dipandangi dengan cara yang ia suka.
Pohon-pohon kota berjajar rapi dengan jarak yang beraturan dan bentuk yang hampir seragam. Tidak seperti tempat tadi, begitu menyeramkan, pohon rimbun dengan jarak tak beraturan. Di sela-selanya dipenuhi belukar. Tapi, bukan justru menjadi tempat yang Nurul dan Tommy hindari. Justru menjadi tempat yang cukup nyaman untuk menghabiskan waktu berdua.
Seandainya mereka berdua ada di sana lebih lama lagi. Seandainya seseorang tidak menelepon Tommy. Seandainya hantu-hantu hutan terus menahan mereka terjebak di dalam sana, di hutan, atau tersesat tak bisa keluar dan hanya berputar-putar di dalamnya saja. Hal-hal yang Nurul takuti, Nurul benci, tapi jauh di dalam hatinya itu mungkin yang Nurul inginkan.
"Astaghfirullahal adziim," Nurul mengerjapkan mata lalu mengalihkannya ke pemandangan putri tidur yang ada di sisinya. Ia bagai seorang bayi, tenang sekali. Begitu pulas, tanpa suara dengkuran. Melihat wajah polos yang sering kali menyebalkan itu, Nurul tak menyisakan setan bertengger sedikit pun di antara mereka berdua. Tidak ada iri, dengki, dan memang Nurul bukan tipe gadis yang membiarkan pikiran buruk atau su'uzon menguasai dirinya. Nurul begitu menyayangi Icha, sebagaimana ia menganggap Icha sebagai adiknya sendiri.
*
Perjalanan memang tidak terlalu jauh, tidak terlalu lama. Mereka berjalan di dalam kota. Kalaupun ada hambatan itu hanya lampu rambu lalu lintas yang menjeda mereka. Keramaian yang minim selain aktivitas malam. Keheningan meneduhkan, hanya ada suara-suara laju kendaraan di jalanan. Tidak ada riuh siang orang-orang, pabrik, peluit petugas, atau musik-musik dangdut para pekerja jalanan.
Sesekali Nurul melihat ada warung-warung yang masih buka, pedagang makanan dengan lampu-lampu patromak dengan tikar di atas rumput, atau kursi-kursi plastik berkaki-kaki rendah. Kalau jendela mobil itu dibuka, Nurul pasti bisa mencium aroma dari kepulan asap para pengipas arang. Mereka mambakar jagung, ada juga uap-uap kacang rebus. Melewati kota di malam hari sebegitu menyenangkan rupanya. Tidak seperti biasa, pada jam seperti ini Nurul dan teman-temannya seharusnya sudah ada di dalam asrama.
Kebebasan terkadang memang menggiurkan. Apakah Nurul menginginkan kebebasan? Tidak. Nurul hanya belum terbiasa. Kenyamanan baginya selalu ketika berada di kamarnya, atau kebun-kebun obat miliknya. Tanpa lampu warna-warni yang berkelip di malam hari. Tanpa aroma obrolan-obrolan santai orang-orang di malam hari, atau tawa-tawa lepas mereka yang memecah malam.
Suatu saat mungkin Nurul akan keluar dari zona nyamannya, tapi belun sekarang. Sekarang Nurul hanya ingin nyaman di tempatnya. Ia takut di luar kata orang begitu berbahaya untuk anak perempuan.
*
Nurul dan Icha pun sampai di hotel. Icha begitu malas membersihkan diri, ia langsung menghempaskan tubuhnya begitu saja ke ranjang yang super empuk, lembut dan harum itu. Bahkan kerudung dan kaos kakinya belum sempat dibukanya.
Sementara Nurul, ia akan membersihkan dirinya dengan air hangat. Bathup pun disiapkan. Sambil menunggunya terisi, Nurul melepas pakaiannya dan bercermin di kamar mandi. Ia memperhatikan wajahnya, hampir-hampir ia jatuh cinta kepada bagian-bagian yang ada di wajahnya sendiri. Sebuah minat yang tak biasa. Semua ini tidak lain karena apa yang telah terjadi padanya tadi.
Nurul memandangi matanya sendiri, mata itu yang ditatap lelaki asing yang begitu menarik hatinya tadi. Di bayangan dalam pupil matanya di depan cermin, ia melihat wajah pemuda tampan itu sedang menatapnya. Lalu pandangan Nurul beralih ke hidungnya. Ujung lancipnya tadi menyentuh ujung lancip pemuda itu. Mereka saling berbagi hembusan. Nurul masih ingat betul udara hangat yang terhirup ke dalam rongga hidungnya.
Pandangan Nurul lalu menurun, menuju pada bibirnya yang ranum. Bagian ini adalah bagian yang paling sensual dari semua yang ada di cermin ini. Bagian ini yang tadi membuat pemuda tadi mabuk. Tidak, bukan pemuda itu, melainkan Nurul yang mabuk. Semua hafalannya mendadak hilang, semua etika begitu kabur. Sampai kapanpun mungkin Nurul tidak bisa melupakannya.
“Astaghfirullahal adziim,” ucap Nurul mengerjap. Ia lalu memalingkan pandangannya dari cermin. Ia sangat ingin melupakan hal yang sangat berdosa ini. Ia beralih ke bathup. Nurul mencelupkan kakinya disusul dengan tubuhnya. Ia membaringkan dirinya. Menumpu kepala dan lehernya di ujung bathup yang mencekung itu. Nurul pun memejamkan matanya.
Hari ini begitu panjang. Terutama malam hari ini. Ada ketimpangan yang mengganjal pikirannya, ada juga kenikmatan yang coba ia tepiskan namun semakin membuatnya mabuk kepayang. Dalam matanya yang terpejam, ia membelai bibirnya sendiri dengan jemarinya yang mungil lalu bergerak ke leher hingga ke belakang telinganya.
Tidak ia temukan sensasi yang sama, sebab itu adalah tangannya sendiri. Berharap itu adalah tangan pemuda tadi. Maka, Nurul hanya bisa bergulat dengan khayalannya yang tak nyata. Oh, tidak! Setan berdatangan mengerumuni dirinya. Istighfar tadi ternyata tidak berpengaruh apa-apa, tidak menghindarinya dari pikiran liar semacam ini. Pikiran yang belum pernah menguasainya secara jorok.
Kehangatan air yang menenggelamkan tubuhnya tanpa balutan apapun itu membuat aliran darah Nurul mendidih. Sebenarnya bukan karena air di bathup itu, melainkan khayalannya yang liar. Seolah riak-riak kecil yang membelai sekujur tubuh Nurul dengan hangat bukanlah riak-riak air, melainkan tangan-tangan pemuda tadi. Siapa nama pemuda tadi? Tommy, tentu saja Tommy. Diam-diam Nurul memanggil nama itu dengan setengah berbisik sambil memejamkan matanya dan memainkan lidahnya sendiri di permukaan bibirnya.
Gairah semakin tak tertahankan, lalu yang kemudian terjadi adalah ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Chika£Hiats
ikut traveling😁
2022-03-22
2
🎤༈•⃟ᴋᴠ•`♨♠Echa🐞Jamilah🍄☯🎧
siap..otw ke karya sekretaris & Mr. arogant..
2022-03-17
0
wwevideos collector
weleh weleh
2022-03-15
0