Icha sudah tinggal di pesantren demi mengenyam pendidikan agama selama beberapa lama. Ia begitu bersemangat walaupun secara akademis nilai-nilainya masih berada di daftar bawah. Semua berkat hari-harinya yang diisi dengan ceria bersama Nurul.
Dari Icha yang dulu tidak mau mendekati kolam ikan lele karena berbau amis, lalu berkembang menjadi Icha yang memberanikan diri untuk berpartisipasi saat ada pengurasan kolam tersebut. Icha berteriak-teriak karena takut untuk memegang ikan lele. Sempat ia salah dalam caranya menangkap ikan lele sehingga tangannya terluka. Dengan manjanya Icha merengek-rengek karena luka kecil di tangannya.
Keseruan berlanjut dan ia semakin menikmati apa yang ada di lingkungan pesantren. Ia tidak lagi jijik berkotor-kotoran dengan lumpur, digigit nyamuk sewaktu berkebun, walaupun malam harinya merengek-rengek melihat kulit mulusnya yang bentol-bentol. Semua dapat teratasi dengan adanya Nurul di sisinya. Ketelatenan Nurul memberikan obat oles kulit sampai menguatkan telinganya mendengarkan ocehan dan rengekan Icha yang bagi orang lain akan terasa begitu mengganggu.
Suatu malam di kamar, Icha terlihat murung setelah ia mengobrol dengan papanya via videocall. “Loh, habis kangen-kangenan kok malah murung gitu?” sapa Nurul yang sedang menyetrika pakaian. “Memangnya kamu ga denger apa gimana aku ngobrol sama papa?” ucap Icha ketus. “Dengar sih, tapi kadang nyimak kadang enggak. Ini, aku kan dari tadi dengerin radio pake headset,” ucap Nurul melepaskan headset nirkabelnya yang hanya sebelah saja. “Oh, gitu. Kirain ikutan nguping,” ucap Icha.
“Terus kenapa murung gitu?” tanya Nurul. “Papa kayanya ga peduli deh sama aku,” ucap Icha. “Loh, kok gitu? Justru papamu itu peduli banget sama kamu, Cha. Dia udah milihin pendidikan buat kamu sampai sejauh ini,” ucap Nurul. “Aku malah curiganya papa mondokin aku buat ngebuang aku,” ucap Icha. “Astafirullah, Icha! Kamu ga boleh berpikiran seperti itu!” ucap Nurul.
Icha pun menceritakan papanya kepada Nurul. Tuan Sudarsono, papa Mirsha, adalah seorang pebisnis yang dekat dengan dunia persaingan yang jahat. Beberapa kali Mirsha mendapati papanya dimuat di media bahwa ia tertuduh bekerjasama dengan politisi yang kini sudah dipenjara. Sejak mama Mirsha meninggal, papanya itu bekerja dengan membabi-buta, terkesan terlalu berambisi dalam dunia persaingan bisnis.
Dulunya Tuan Sudarsono begitu dekat dengan keluarganya. Ia selalu menyempatkan diri makan bersama di rumah, berlibur bersama setiap akhir pekan bahkan bersenda gurau di halaman belakang kediaman mereka hampir setiap sore. Icha ingat betul masa kecilnya sebelum papannya berubah menjadi sok sibuk itu.
Kini Tuan Sudarsono lebih memilih minum sampai mabuk seorang diri daripada menghabiskan waktu luang bersama anaknya. Dulunya Icha selalu diantar sekolah oleh papanya, selanjutnya rutinitas itu digantikan oleh supirnya. Segala bentuk kegiatan non akademik di luar jam sekolah dibatasi oleh papanya. Di satu sisi papanya itu terlihat tidak peduli dengan Icha, di sisi lain juga mengekang anaknya. Kemana-mana selalu harus bersama supir, tidak diijinkan keluar bersama teman-teman sesama remajanya, dan sebagainya.
Papanya begitu protektif kepadanya, terutama mengenai urusan berhubungan dengan teman laki-laki. Papanya itu selalu menanamkan pemikiran bahwa setiap pemuda yang mendekatinya itu jahat. Ia pernah mempermasalahkan ketidak-sengajaan anaknya saat bersama laki-laki padahal itu adalah urusan tugas sekolah.
“Papamu punya alasan berbuat seperti itu. Ia pasti menyayangi kamu, Cha, cuma caranya saja yang bikin kamu ga suka,” sanggah Nurul. “Ya, aku jadi ga bisa berkembang dong, Rul! Selama ini aku cuma jadi anak rumahan, sementara temen-temen cewek yang lain udah kemana-mana. Nongki-nongki bareng, hunting-hunting kesukaan bareng,” ucap Icha.
Pandangan mengenai pergaulan bagi Nurul dan Icha berbeda. Nurul lebih nyaman berada di lingkungan perkampungan, tidak banyak mobilitas apalagi nongkrong bersama teman-teman sebayanya di luar sana. Maka itu, Nurul tidak banyak mengomentari apa yang sedang dibahas Icha.
“Menurutku, papa mondokin aku ke sini, jauh dari Jakarta, dan tempatnya ini pesantren… yang bener-bener membatasi pergaulan aku, itu adalah cara papa buat ngurung aku. Tapi cara yang dia ga mau ribet, ga mau ngurus aku, ga perlu perhatiin aku. Papa cukup nyerahin aku ke pihak pondok. Iya, kan? Bener kan aku, Rul?” ucap Icha.
“Aku ga mau nebak-nebak kaya gitu, Cha. Su’uzon itu ga baik,” sanggah Nurul. “Nih, ya, kalau kamu dengerin tadi aku VC-an sama papa, aku bahas tentang kemajuan aku di sini dia kaya ga peduli gitu kan? Yang ditanya cuma sekitar apa aku betah atau enggak di sini, gimana fasilitas di sini, perlu ditransfer duit lagi atau enggak. Kan nyebelin banget. Iya, ga, Rul?” ucap Icha.
“Mungkin papa kamu kecapean habis kerja seharian,” ucap Nurul. “Ya masa kecapean terus? Masa ga mau ngeluangin perhatian dikit lagi aja buat anak semata wayangnya ini?” protes Icha. “Ya, aku cuma bisa ngingetin kamu buat bersabar aja, Cha. Suatu saat papa kamu bakal bangga sama pencapaian-pencapaian kamu. Kamu harusnya tertantang dong buat ngebuktiin kalau suatu saat nanti ada prestasi yang kamu pamerin dan itu hasil kerja keras kamu sendiri, tanpa campur tangan papa kamu,” ucap Nurul.
“Benar juga apa kata kamu, Rul,” ucap Icha.
*
Hari pun berganti. Di sebuah majalah dinding lingkungan pesantren, Icha menahan rasa girangnya. “Nurul! Sini, sini, sini! Buruan!” ucapnya yang berdiri di depan papan itu. “Apa sih, Cha?” ucap Nurul dengan raut wajah lelah. “Ini, kamu baca brosur ini deh!” ucap Icha sambil menunjuk salah satu kertas yang ditempelkan di papan itu. “Tahfidz Qur’an? Kamu mau ikutan ini?” ucap Nurul dengan wajah tak percayanya. Bagaimana ia percaya, sedangkan untuk menghafal juz 27-30 saja Icha sangat bermalas-malasan.
“Aku harus bisa, Rul! Aku mau membuktikan ke papa kalau aku punya prestasi,” ucap Icha. Nurul yang tahu betul kemampuan dan sikap Icha yang suka uring-uringan dalam belajar membuat dirinya menyengir kuda dan menggaruk-garuk punuknya. Nurul pun menghela napas. Bagaimanapun apa yang dilakukannya adalah sebuah amal kebaikan. Semenyebalkan apapun Icha, selama perjuangannya itu menuju ke arah kebaikan, maka Nurul akan membantunya.
Acara Tahfidz itu akan dilakukan dalam beberapa gelombang. Target Icha adalah ia harus bisa mengikuti gelombang kedua yang akan diselenggarakan empat bulan lagi. Segagal-gagalnya targetnya itu, maka akan ada kesempatan terakhir ya itu di gelombang terakhir yang diselenggarakan delapan bulan lagi.
Setiap hari pun Nurul selalu membimbingnya untuk belajar menghafalkan ayat demi ayat. Seperti dugaannya, Icha akan sulit diajak kerjasama, padahal usaha ini adalah demi kebaikannya sendiri. Sering kali justru Nurul yang memaksanya untuk disiplin melatih hafalannya.
“Arapa’ah ba’en, Rul? Tak biasanya kelihatan kesal begitu?” ucap ayah Nurul. Nurul dan ayahnya sedang berada di kamar ketua yayasan itu. Kali ini Nurul merawat ayahnya yang tiba-tiba demam. Nurul jadi harus bolak-balik mengurus ayahnya lalu kembali ke komplek santriwati selama beberapa hari.
“Kanca sengkok, Pak. Nurul sedang sebal dengan dia. Setiap hari bikin emosi Nurul naik turun,” keluhnya. “Siapa? Teman sekamar Nurul?” tebak ayahnya. “Ya, Bapak tahu sendiri Icha orangnya gimana. Cita-citanya bagus sih, Pak. Nurul juga sebenarnya senang bantuin dia, tapi sifatnya itu kok ga berubah-berubah,” keluh Nurul.
Ayah Nurul pun memberikannya kata-kata yang menenangkan. Curhat dengan ayahnya itu memang tidak pernah mengecewakan baginya. “Kalau Icha berhasil di ajang itu, justru kamu yang bikin Bapak bangga, Nak. Ngomong-ngomong, apakah Tuan Sudarsono sudah tahu kalau anaknya berniat ikut dalam ajang itu?” ucap ayah Nurul.
“Sepertinya belum, Pak. Katanya sih Icha mau kasih kejutan ke papanya kalau dia bisa ikut Tahfidz Qur’an itu,” ucap Nurul. “Loh, ga bisa begitu, Nak. Itu kan acaranya di luar kota. Perlu surat izin kalau mau mobilisasi ke sana,” ucap ayah Nurul.
Nurul pun terdiam. Ia ingat dengan cerita Icha bahwa papanya itu tidak akan sembarangan melepas anaknya pergi kemana-mana. Bisa-bisa Icha tidak diijinkan keluar dari lingkungan pesantren. Sebab, dulu Icha bercerita bahwa kegiatan non akademik saja yang itu masih dalam naungan sekolahnya, papa Icha tidak mengizinkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
🎤༈•⃟ᴋᴠ•`♨♠Echa🐞Jamilah🍄☯🎧
semangat echa..e.eh..icha dink..hhh
2022-03-17
0
Seledri
semangat kak
2022-03-15
2
wwevideos collector
Icha malang
2022-03-15
1