Icha merencanakan bahwa dirinya akan mengikuti ajang Tahfidz Qur’an di Kota Jember. Ia berniat sungguh-sungguh dalam mempersiapkan keikutsertaannya.
“Ngomong-ngomong, apakah Tuan Sudarsono sudah tahu kalau anaknya ikut dalam ajang itu?” ucap ayah Nurul. “Sepertinya belum, Pak. Katanya sih Icha mau kasih kejutan ke papanya kalau dia bisa ikut Tahfidz Qur’an itu,” ucap Nurul. “Loh, ga bisa begitu, Nak. Itu kan acaranya di luar kota. Perlu surat izin kalau mau mobilisasi ke sana,” ucap ayah Nurul.
Nurul khawatir keinginan Icha akan terjegal oleh sikap protektif papanya yang cenderung melarangnya pergi kemanapun. Icha begitu dipingit sehingga ia tidak pernah diizinkan kenal dengan laki-laki seusianya atau laki-laki yang berpotensi untuk tertarik kepadanya.
“Jadi harus pakai surat izin ya, Rul?” ucap Icha menahan kepanikannya. Icha pikir karena berada jauh dari papanya dan ia telah diserahkan ke pihak pesantren, maka ia bisa dengan bebas mengikuti kegiatan atas tanggung jawab pihak pesantren.
“Duh, bantuin aku ngomong ini sama papa dong, Rul? Minta bantuan sama bapak atau gimana gitu biar aku diizinin ikut! Please… “ rengek Icha. “Iya, pikirku juga gitu, Cha,” jawab Nurul. “Jadi, kamu udah minta bapak buat bantu ngomong sama papa?” tanya Icha. “Belum, Cha. Memang kamu ga malu aku ceritain soal papamu yang protektif banget sama kamu itu ke bapak?” tanya Nurul.
Icha terdiam. Ia memang merasa malu jika ada orang lain yang tahu tentang perlakuan papanya kepada dirinya itu. Tidak kunjung disanggah oleh Icha, Nurul pun melanjutkan ucapannya.
“Gini aja… Gimana kalau kamu ikut aku ketemu sama bapak besok pagi? Kita bicarain ini sama-sama biar dapat jalan keluar yang terbaik,” ucap Nurul. “Ta-tapi… “ Icha ragu-ragu untuk melakukan apa yang disarankan oleh Nurul itu. “Tenang aja, kan ada aku, Cha. Aku bantuin ngomong sama bapak besok,” ucap Nurul. Icha pun menyetujuinya.
*
Hari pun berganti. Pagi-pagi sekali, pukul 6, Nurul dan Icha datang ke tempat ketua yayasan, yang adalah ayah Nurul atau sering disebut sebagai ‘bapak’ itu. Setelah mengompres dan memberikan sarapan kepada ayahnya, Nurul pun membuka obrolan yang membahas tentang rencana Icha ikut serta dalam ajah Tahfidz Qur’an itu.
Icha menyampaikan keluh kesahnya. Ia merasa tidak diperhatikan oleh papanya, maka ia pun mencoba mendapatkan perhatian dari papanya melalui prestasi yang mungkin bisa diraihnya dari ajang tersebut.
Tanpa berlama-lama untuk menunggu esok hari, ketua yayasan langsung menelepon Tuan Sudarsono. Sambungan telepon melalui ponsel pun dimulai dengan mengaktifkan loudspeaker agar Nurul dan Icha bisa ikut mendengarkan.
“Aduh, kapan itu acaranya, Pak Ustad?” ucap Tuan Sudarsono dengan nada mengeluh. “Masih tentatif, Pak Sudarsono. Kalau lolos dalam waktu dekat, Icha bisa ikut di bulan Mei ini, tapi kalau belum lolos mungkin September,” ucap ketua yayasan. “Apa tidak bisa dipastikan, Pak Ustad? Karena saya harus menjadwalkan kedatangan saya ke sana,” ucap Tuan Sudarsono.
Ayah Nurul pun menjelaskan mengenai prosedur keikutsertaan. Icha adalah santriwati yang belum pernah mengikuti ajang seperti itu. Kemampuan hafalannya selama di pesantren pun masih perlu ditingkatkan lagi karena ia belum tahu kemampuan para saingannya dalam seleksi.
“Begini, Ustadz Arif. Saya akan bicarakan ini dulu dengan anak saya,” ucap Tuan Sudarsono. “Nah, kebetulan Icha sedang bersama saya sekarang, Pak Sudarsono,” ucap ketua yayasan kemudian mengalihkan obrolan tersebut kepada Icha.
“Icha yakin mau ikut-ikut begituan?” tanya papanya. “Iya, Pa. Icha yakin banget kalau Icha bisa juara di sana. Papa tahu ga, nilai-nilai hafalan Icha di sini selalu naik. Kalau dibandingkan dengan kemampuan Icha yang dulu… “ ucap Icha tanpa terselesaikan. “Bagaimana kalau Icha gagal? Apa tidak akan justru jadi malu-maluin?” potong papanya.
“Pa, Papa ga perlu datang kalau Papa sibuk. Biar kalau Icha gagal Papa ga bakal jadi malu-maluin,” ucap Icha. “Ga bisa! Itu di luar daerah, Cha, bukan sama-sama di Madura tempatnya. Papa ga bisa ngelepasin kamu pergi sendiri seperti itu,” ucap papanya. “Icha ga pergi sendiri, Pa. Ada peserta lain yang sama-sama dari sini juga. Nurul aja ikut kok,” bujuk Icha.
“Nurul ikut?” tanya Tuan Sudarsono. “Permisi, maaf, Pak. Bapak ga perlu khawatir dengan Icha. Akan ada official dari sini juga yang berangkat,” tambah Nurul. “Oh, begitu,” ucap Tuan Sudarsono mengganti nada suaranya menjadi lebih tenang. “Icha, lain kali kalau bicara dengan papa, kamu jangan loadspeaker HP kamu seperti ini,” ucap Tuan Sudarsono.
“Saya mau bicara sama Ustadz Arif,” pinta Tuan Sudarsono. Obrolan pun beralih kembali. Kali ini Tuan Sudarsono ingin ponsel itu tidak diaktifkan loadspeaker-nya dan percakapan ini hanya antara dirinya dan ketua yayasan.
“Begini Ustadz, Ustadz sudah tahu sendiri sejak saya memasukkan putri saya ke pesantren Ustadz saya sudah banyak berdonasi dan itu saya lakukan secara rutin, bukan?” ucap Tuan Sudarsono. Ketua yayasan mengerutkan dahinya saat mendengarkan ucapan itu. Ia curiga akan ada suatu hal yang diinginkan Tuan Sudarsono karena sudah mengungkit-ungkit statusnya sebagai donatur besar yayasan.
Kalimat pembuka seperti ini beraroma ancaman bagi ketua yayasan. Kondisi pesantren ini sebelumnya memang sudah cukup memprihatinkan karena kurangnya dana. Sejak Tuan Sudarsono mendaftarkan anaknya di sini, kebutuhan dana itu bisa tercukupi dan pesantren memang cukup bergantung dari donasi yang ia lakukan secara rutin. Ditambah dengan hubungan antara pemilik yayasan dan Tuan Sudarsono yang cukup dekat. Hal ini membuat ketua yayasan mau tidak mau menjaga bagaimana caranya agar Tuan Sudarsono tidak mencabut donasi rutinnya.
“Iya, Pak Sudarsono?” sahut ketua yayasan. “Semua itu saya lakukan juga untuk putri saya tercinta, Ustadz. Jadi, kalau Icha benar-benar bersikeras untuk mengikuti ajang seperti itu di luar daerah, saya sangat berharap dia tidak akan gagal,” ucap Tuan Sudarsono.
“Tidak akan gagal? Emh, maksud Pak Sudarsono ini bagaimana, ya? Karena, itu adalah acara yang diselenggarakan setingkat provinsi. Kita tidak bisa campur tangan di sana, Pak Sudarsono,” ucap ketua yayasan.
“Justru itu. Baik sekali kalau acara itu adalah acara tingkat nasional. Kalau putri saya berhasil, saya bisa dapat nama juga di sana. Tapi kalau gagal justru akan menurunkan pamor saya di sini. Media akan meliput kegagalan putri saya. Karena, pasti ada nanti yang sengaja mengorek-ngorek kehidupan pribadi saya dan menayangkannya di media,” ucap Tuan Sudarsono.
“Jadi, maksud Pak Sudarsono ini bagusnya bagaimana?” tanya ketua yayasan. "Begini. Saya yakin kemampuan Nurul pasti sangat mumpuni dalam ajang itu. Kalaupun gagal tidak akan jauh memalukan dibandingkan Icha. Saya tahu kemampuan Icha, Ustadz. Maka itu, bagaimana kalau Nurul juga ikut dalam acara itu tapi… “ ucap Tuan Sudarsono lalu mengganti nada suaranya. “Nama Nurul dan Icha ditukar,” lanjutnya dengan separuh berbisik.
Mendengar ide licik Tuan Sudarsono itu, ketua yayasan pun…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
❤️⃟Wᵃfᴍ᭄ꦿⁱˢˢᴤᷭʜͧɜͤіͤιιᷠа ツ
aduh kenpa ortunya gitu.. semangat up kk flo
2022-03-22
19
☠ᵏᵋᶜᶟ𝕸y💞 ZY ᵇᵃˢᵉR⃟✇⃟ᴮᴿ⸙ᵍᵏ
hadeh pa sudarsono lucik juga yh
2022-03-20
1
Chika£Hiats
Haduh orang tua kok begituh
2022-03-20
2