“Om, sebenarnya Icha sakit apa, Om?” tanya Nurul kepada Tuan Sudarsono. “Sejak kecil Icha selalu manja. Sedikit sakit kepala saja langsung minta dicarikan obat di apotik, walaupun sebenarnya tidak sedang benar-benar sakit kepala. Icha mungkin habis bertengkar dengan teman di sekolahnya, atau ada hal-hal yang mempermalukannya, hanya itu,” ucap Tuan Sudarsono.
Nurul yang sedikit banyaknya mengenal Icha membenarkan perkataan itu. Semenjak Icha dekat dengan Nurul, Icha mulai mengganti ketergantungannya terhadap obat dengan teh-teh herbal buatan Nurul. Sering kali Nurul hanya membuatkan teh-teh herbal ringan untuk memberi efek rileks saja.
“Icha bercerita ke Om kalau Nurul sering memberikannya teh dan mulai jarang minum obat-obatan kimia. Icha sakit di pertahanan tubuhnya, Nurul. Sejak tinggal jauh dari Nurul, kebiasaannya itu timbul lagi. Icha mudah sakit dan kelelahan dan mungkin Om akan membatalkan studinya di Timur Tengah. Icha tidak boleh jauh dari Om,” ucap Tuan Sudarsono.
“Tubuh Icha menolak semua jenis pengobatan medis, tidak bisa lagi mengonsumsi obat-obatan kimia, apalagi treatment secara kimiawi, secanggih apapun itu. Icha menderita kelainan di sel darah putihnya, Nurul. Hanya pengobatan alternatif yang bisa membantunya. Om yakin, pengobatanmu yang paling bisa Om andalkan,” lanjut Tuan Sudarsono.
Mendengar hal itu batin Nurul seakan teriris. Seakan ia baru saja diseret kembali ke masa-masa mediang ibunya kritis. “Nurul takut gagal, Om,” ucap Nurul tertunduk lesu. “Kepergian seseorang adalah takdir, tidak perlu menjadi beban bagimu. Yang pergi tidak akan kembali,” ucap Tuan Sudarsono. Mendengar itu, ayah Nurul terheran. Ayah Nurul mengangkat sebagian alisnya. Apakah Tuan Sudarsono baru saja menyindir Nurul terhadap mendiang ibunya?
Ayah Nurul tahu betul percakapan di antara Tuan Sudarsono dan Nurul. Seakan mereka berdua sudah saling berkomunikasi selama ini tentang kepergian wanita itu. Tidak dengan Nurul. Nurul terhenyak. Mengapa perkataan Tuan Sudarsono bisa sebegitu tepat? Nurul memandang ayahnya lalu Tuan Sudarsono. Apakah selama ini di belakangnya, ayahnya diam-diam membicarakan hal itu? Perkataan Tuan Sudarsono sudah membuat masing-masing menaruh kecurigaan yang berbeda.
Menunggu sanggahan Nurul yang tak kunjung keluar dari mulutnya, Tuan Sudarsono pun melanjutkan bujukannya. “Apapun… Apapun akan Om lakukan demi Icha. Ustadz, saya bisa menaikkan berlipat-lipat donasi saya kepada yayasan ini. Bahkan uang kuliah Nurul bisa saya tanggung. Demi Icha,” ucap Tuan Sudarsono tegas.
Ayah Nurul dan Nurul pun membulatkan mata mereka dan saling tatap. “Emh, memang kasih sayang orang tua tidak ada yang mampu membelinya, tidak ada harga bagi materi sebesar apapun demi kasih sayang itu. Bagi kami, materi itu bukan menjadi alasan utama untuk membantu Icha. Nurul pun sudah menganggap Icha sebagai saudarinya sendiri, Icha bagi saya adalah anak saya juga,” ucap ayah Nurul.
“Jadi, kita sudah sampai kepada kesepakatan kita?” ucap Tuan Sudarsono dengan sumringah. Nurul mengangguk dan ayahnya memandangi Nurul sambil tersenyum. Bagi Nurul, ini juga adalah kesempatannya memberi jalan keluar atas permasalahan keuangan di pondok pesantren ini. Apalagi Nurul punya keinginan untuk kuliah. Akan begitu kesulitan kalau hanya mengandalkan pemasukan orang tuanya itu untuk membiayainya kuliah.
“Maaf, Icha. Bukannya aku pamrih. Tapi aku sedang membutuhkan bantuan dari keluargamu juga,” batin Nurul.
“Jadi kita berangkat besok pagi, ya?” ucap Tuan Sudarsono. “Emh, apa Bapak ndak istirahat dulu saja di sini? Perjalanan sampai ke sini saja baru sampai tadi,” bujuk ayah Nurul. “Tidak ada waktu lagi. Saya khawatir dengan kondisi Icha,” ucap Tuan Sudarsono. “Baik, Om. Jam berapa kira-kira kita berangkat? Biar saya segera berkemas kalau berangkatnya pagi-pagi benar,” ucap Nurul. “Tidak pagi-pagi benar. Takutnya saya belum bangun. Jam sepuluh saja,” ucap Tuan Sudarsono. “Saya sudah mengatur penerbangan tepat waktu ketika sudah sampai di Surabaya,” lanjutnya.
Nurul dan ayah Nurul bernapas lega. Masih ada waktu untuk Nurul tinggal lebih lama di tempat ini. Bagaimanapun di antara Nurul dan ayahnya itu sama-sama merasa berat hati untuk berpisah.
*
Waktu berlalu. Nurul masih melakukan aktivitas di masjid ketika waktu subuh seperti biasa. Seorang pekerja bagian dapur mendekati Nurul.
“Kabarnya, kamu mau pergi ke Jakarta ya?” ucapnya panik. Wanita gemuk itu merasa kehilangan apabila Nurul pergi sejauh itu. Perkataan wanita itu telah menarik perhatian teman-teman junior Nurul yang lain.
“Ssst… Memangnya Bhibbik tahu dari mana?” ucap Nurul dengan suara pelan setelah menarik wanita gemuk itu menyepi. “Njek penting, Rul. Tapi benar kan?” ucap wanita itu. “Iya, benar. Nanti jam sepuluh Nurul berangkat,” jawab Nurul. “Ya, Allah… Nurul. Mak de iyye? Bhibbik sedih, Rul. Nanti Bhibbik siapkan jajanan kesukaan kamu buat kamu bawa, ya?" ucap wanita gemuk itu.
“Jangan repot-repot, Bhik! Nurul soalnya mau naik pesawat. Di sana nanti diperiksa, ga boleh bawa makanan atau barang terlalu banyak,” ucap Nurul. “Woh, naik pesawat! Bhibbik belum pernah tuh naik pesawat. Hebat kamu, Rul,” ucap wanita gemuk itu.
“MBAAK… MBAK NURUL… “ panggil santriwati lainnya kepada Nurul. “YAA…?” Nurul melambaikan tangan setelah menyahut. “Pokoknya nanti kalau mau berangkat pamit dulu sama Bhibbik, ya, Rul,” ucap wanita gemuk itu mengakhiri percakapannya.
*
Waktu itu pun tiba, di mana Nurul akan berangkat bersama Tuan Sudarsono dan supir sewaannya. Orang-orang pesantren mengerubungi Nurul. Suasananya persis sama dengan orang-orang yang mengantar keberangkatan jamaah haji atau umroh. Nurul adalah sosok yang begitu populer dan disukai di pesantren ini, khususnya di kalangan para santriwati.
Tak luput pula ada beberapa masyarakat sekitar di luar komplek pesantren yang mengantar Nurul hingga ke mobil sewaan Tuan Sudarsono. Setelah mencium tangan ayahnya, Nurul pun mengucapkan salam dan melambai pergi. Tampak kehilangan dari raut wajah ayahnya yang coba disembunyikan.
“Masya Allah. Kenapa jadi didramatisir begini? Nurul kan pergi hanya sebentar, paling cuma satu bulan. Kenapa saya jadi melankolis begini?” batin ayah Nurul. Ayah Nurul pun tertawa kecil dan melambai kepada Nurul, menunjukkan bahwa kepergian Nurul itu tidak membuatnya terlalu sedih.
*
Mobil pun melaju. “Ya ampun… Ternyata begitu ya kalau ada orang kampung yang mau pergi. Iring-iringannya heboh sekali,” ucap Tuan Sudarsono. Istilah ‘orang kampung’ menarik perhatian Nurul dan ia langsung memandangi Tuan Sudarsono. Sepertinya Tuan Sudarsono tidak sesombong itu sebelumnya.
Melihat Nurul yang tiba-tiba menatapnya dari balik cermin di langit-langit dalam mobil, Tuan Sudarsono terkekeh. Maksud Om, di kota-kota besar sudah tidak ditemui lagi tuh yang seperti tadi. Mengharukan juga ya kalau di sini,” ucap Tuan Sudarsono yang mencoba memperbaiki ucapannya di depan Nurul. Tapi, tetap saja nada dan ekspresi Tuan Sudarsono masih begitu terlihat angkuh.
*
Nurul pun untuk pertama kalinya naik pesawat, lalu ia berjalan di bandara yang besar. Begitu besar dan berisi toko-toko penjual souvenir, makanan, dan fasilitas-fasilitas yang menyerupai sebuah mall. Nurul menahan rasa kagumnya. Ia tidak mau terlihat kampungan di depan Tuan Sudarsono yang semakin menunjukkan sikap angkuhnya sebagai orang kaya itu.
Perjalanan yang melelahkan terbayar ketika supir pribadi Tuan Sudarsono menjemput mereka dan membawa mereka menuju kediaman Tuan Sudarsono. Di kiri dan kanan jalan terdapat barisan gedung-gedung tinggi. Nurul tidak menyangka bisa menyaksikan langsung pemandangan ibukota metropolitan yang selama ini hanya dilihatnya dari televisi.
Perjalanan pun berakhir di sebuah mansion megah. Nurul turun dari mobil dan langsung disambut oleh para pembantu yang kemudian membawakan barang-barang bawaan Nurul. “Selamat datang, Nurul!” Seorang wanita bergaya sosialita menyambutnya. “Terima kasih, Tante. Boleh saya menemui Icha sekarang?” tanya Nurul tanpa memperdulikan siapa yang ada di hadapannya itu.
Wanita itu dan Tuan Sudarsono saling berpandangan. “Mas? Mas ga ngomong kalau… “ ucap wanita itu ragu-ragu. “Dimana Icha? Tante? Om?” tanya Nurul sekali lagi masih dengan senyumannya. Melihat kedua orang di depannya itu tidak juga menjawabnya, justru saling memakai bahasa isyarat raut wajah, Nurul pun curiga. “Di… mana… I… cha… “ ucap Nurul memelankan suaranya sambil mengerutkan dahinya.
Sebenarnya rahasia apa yang sedang dimainkan oleh kedua orang ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
🎤༈•⃟ᴋᴠ•`♨♠Echa🐞Jamilah🍄☯🎧
konfliknya bikin penasaran euy..
2022-03-18
2
👏RIRI💕🏚️ᴄ͜͡ʀ7
semangat up kk
2022-03-18
0
🎯™ꨄ᭄⃟™Suci Anatasya❀⃟⃟✵🅠🅛
semoga nurul tidak diapa2kan, aduhh perasaan jadi tenang ini thor😓
2022-03-07
1