Malam berlalu dalam acara pesta yang menghadirkan teka-teki baru bagi kehidupan Tommy. Tommy semakin terpikat dengan perempuan yang Tommy tak begitu yakin itu adalah Nurul atau Maria. Hingga detik ini Tommy masih menganggapnya mereka adalah orang yang sama. Nurul yang membuatnya jatuh cinta dan Maria yang membuatnya bergelora.
“Lu ngapa bengong melulu, sih, dari tadi?” tanya Brian, temannya yang duduk menemaninya menyetir seusai mengikuti pesta. “Cewek yang tadi, Bro. Gua yakin dia adalah… “ jawab Tommy dengan arah pandang tegak ke depan. Entah sedang memperhatikan jalanan atau memikirkan Maria.
“Anaknya Tante Lupita itu? Astaga, lu masih aja mengira dia adalah cewek kampung yang pernah lu kenal itu,” ucap Brian. “Jangan bilang dia cewek kampung!” Tommy tersinggung dengan sebutan itu. “Oh, oke oke. Whatever-lah! Yang jelas menurut gua tu cewek, YANG NAMANYA MARIA ITU… “ Brian menegaskan nama perempuan itu. “Doi gak tertarik sama elu,” lanjut Brian.
“Ah, sotoy aja lu,” ucap Tommy. “Seriusan, gua! Gua lihat Maria ga enjoy dansa sama elu, sampai-sampai dia nginjak kakilu kan? Semua orang bisa lihat, Bro, kalau itu sengaja doi lakuin,” ucap Brian.
Perkataan Brian membuat Tommy terdiam. Ia mengingat-ingat kembali terakhir kali ia bersama Maria. Maria mengatakan bahwa ia suka bersenang-senang dengan tak hanya satu laki-laki saja. Cara Maria menggodanya dan menciumnya memang terkesan hanya untuk bersenang-senang saja. Mungkin perkataan Brian ada benarnya, Maria ataupun Nurul itu tidak tertarik kepadanya.
Mobil Tommy berhenti pada persimpangan jalan, menunggu lampu lalu lintas berganti warna. Beban pikiran di kepala Tommy membuatnya jengah. Ia membuka kaca jendelanya, mengambil rokok dan mulai menyalakan dan menghisapnya.
Sementara dari sisi jalan lainnya, seseorang memperhatikan Tommy dengan seksama dari dalam mobil yang tertutup kaca gelap. “Bukannya itu… “ gumam seseorang yang memperhatikannya itu, seorang perempuan yang sebaya dengan Nurul. “Ada apa, Beb?” ucap pacarnya yang duduk di sisinya dengan memegang kemudi. “Orang itu, kaya aku pernah lihat,” jawabnya.
“Itu kan Tommy, dia satu kampus sama aku,” ucap lelaki itu. Mendengar nama itu, mata perempuan ini pun membulat. Perempuan ini baru saja mengingat dimana ia pernah mengenal Tommy. “Di-dia adalah cowok yang pernah menculik sohib aku sewaktu di Jember!” ucapnya. Dia adalah Mirsha, sahabat Nurul sewaktu masih mengenyam pendidikan di sebuah pesantren di Madura.
“Menculik?” ucap laki-laki itu sembari menyunggingkan bibirnya. Suatu hal yang aneh apabila orang sepopuler Tommy mau menculik perempuan muda di daerah. “Katanya, sih, dia salah jemput orang. Oh iya, waktu itu dia nyetir dalam keadaan mabuk, habis minum,” jelas Mirsha. “Oh, kirain tu anak ngelakuin kriminal,” ucap laki-laki itu lega.
“Ngomong-ngomong, gimana kabar Nurul, ya? Udah lama aku ga komunikasian sama Nurul. Aku jadi rindu sama Nurul,” batin Mirsha. Bagaimanapun Nurul adalah sosok teman yang begitu banyak membantunya saat Marisha tinggal di Madura. Tidak terhitung berapa kali Mirsha merepotkan Nurul dengan tingkah-lakunya yang sulit menyesuaikan diri dengan kehidupan di pesantren.
*
Dua tahun yang lalu…
Di sebuah yayasan pendidikan agama bernama Pesantren Darul Ulum. Suasana sore hari di tempat itu selalu ramai. Komplek para santri laki-laki ada di sebelah utara, tepatnya di kiri masjid Darul Ulum. Suara-suara para santri melantunkan ayat-ayat kitab suci membuat sore hari begitu syahdu. Sementara, komplek para santriwati ada di sebelah selatan, tepatnya di kanan masjid Darul Ulum.
Aktivitas para santriwati saat sore hari begitu beragam. Ada yang menyapu halaman, ada yang berkumpul di teras-teras bangunan untuk melakukan liqo, membahas wawasan keagamaan mereka dalam kelompok-kelompok kecil. Sementara Nurul, ia sedang berjongkok di ladang sempit mencabuti gulma. Bertanam tanaman obat adalah hobinya. Ia dibantu oleh adik-adik juniornya yang ingin berguru ilmu herbal darinya.
“Kak, ini sudah bisa dipanen kan?” ucap salah satu junior Nurul. “Yang mana? Oh, yang itu. Iya, itu. Sudah, cabut saja yang itu. Jangan lupa sisakan bonggolnya untuk kita jadikan anakan nanti,” ucap Nurul.
“NURUUL… NURUUL… “ panggil salah satu pegawai yang mengurusi bagian dapur. Wanita gemuk itu menghampiri Nurul dengan tergopoh-gopoh. Nurul lalu bangkit berdiri dan menyahut wanita yang memanggilnya itu. “Ada apa, Bhibbhi?” sahut Nurul. “Nurul, ba’en dipanggil bapak. Bapak ngocak Nurul ditunggu sekarang ke sana,” ucap wanita gemuk itu.
Nurul menepuk-nepuk tangannya untuk membersihkannya dari serpihan tanah. “Dek, nanti hasil panennya dibersihkan dulu, dicuci lalu dilap sebelum dimasukkan ke kulkas. Jangan lupa, akarnya jangan dipotong,” ucap Nurul kepada juniornya yang sedang berjongkok mengurusi tanaman.
“Nurul! Ayo cepat!” ajak wanita gemuk itu. “I-iya.” Nurul melangkah ke arah lain dengan segera. “Eh? Mau kemana?” tanya wanita gemuk itu. “Cuci tangan dulu, Bhik," ucap Nurul. “Sudah, sudah, nanti saja. Ayo, cepat,” ucap wanita gemuk itu yang menghampirinya dan menarik lengannya. Nurul berjalan cepat mengikuti wanita gemuk itu, ia mengelap tangannya yang masih bernoda tanah ke roknya.
Di depan gedung pertemuan dekat masjid di halaman depan pesantren itu telah berdiri tiga orang lelaki dan seorang perempuan muda. “Nah, itu dia anak saya, Nurul namanya,” ucap ayah Nurul yang merupakan ketua yayasan kepada seorang lelaki berpakaian necis berusia sebaya didampingi oleh supirnya. “Nanti Mirsha akan terbiasa di sini, Nurul bisa membantunya beradaptasi,” lanjut ketua yayasan.
Perempuan muda itu melihat ke sekeliling dengan tatapan jijik. Matanya lalu menuju ke Nurul yang mendekati mereka. “Astaga, apakah semua perempuan di sini pakai pakaian sekumuh itu?” batinnya. Kerudung berbahan kaku yang panjang, kaos lengan panjang yang tidak senada dengan roknya, ditambah noda-noda yang ada di rok dan ujung kerudung Nurul, semua itu membuat perempuan muda ini semakin tidak bersemangat.
Ketua yayasan pun mengenalkan Nurul kepada Tuan Sudarsono, lelaki yang berpakaian necis itu. Nurul pun menjura dan mengucapkan salam. Lalu Nurul dikenalkan dengan perempuan muda itu, Mirsha namanya. Mirsha menjulurkan tangan dengan begitu terpaksa, namun Nurul menolaknya. “Aduh, maaf. Saya baru saja selesai berkebun. Tangan saya kotor,” ucap Nurul. Nurul memberikan salam dan ucapan selamat datang kepada Mirsha atau perempuan yang biasa dipanggil sebagai Icha itu.
Mirsha langsung mengipas depan mulutnya sambil mengerutkan tepian hidungnya. Tatapan Mirsha begitu merendahkan Nurul. Nurul merasa ia sedang direndahkan, tapi Nurul hanya menghadapinya dengan senyuman. Toh kenyataanya ia sekarang memang bau dan kotor. Dari penampilan Mirsha dan Tuan Sudarsono sangat tampak bahwa mereka adalah orang dari kota. Sedikit melirik ke belakang mereka pun tampak mobil mewah dengan seri nomor kendaraan dari luar kota. Nurul memaklumi sikap Mirsha.
Usai menyerahkan anaknya itu kepada ketua yayasan, Tuan Sudarsono pun pamit. “Pa! Papa ga mau lihat gimana kondisi di dalam dulu?” protes Mirsha menahan papanya pergi. Tuan Sudarsono tersenyum kepada ketua yayasan dan Nurul, lalu menjawab pertanyaan anaknya yang separuh merengek itu. Tuan Sudarsono menahan malu di depan mereka karena ulah anaknya itu.
“Papa sudah bilang, sebelum memutuskan untuk memindahkan Icha kemari, Papa sudah survey tempat ini,” jawabnya sembari sedikit melirik-lirik ketua yayasan. Tuan Sudarsono tersenyum kembali kepada mereka dan melanjutkan langkahnya menuju mobil. Sebelum Mirsha sempat berkata-kata yang tujuannya untuk menahan langkah papanya lagi, Nurul pun mengalihkan perhatiannya.
Nurul menawarkan diri untuk menemani Mirsha berkeliling di komplek santriwati. Ia berkata dengan lemah lembut dan ramah. Namun, yang terjadi adalah…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
↳ ¡! cᷯaᷰrᷠaмell∅HIAT∅ ¡!
mangatttss trsa
2022-03-21
3
Nayna✨
aq mampir pake akun tuyul kak semangat
2022-03-20
1
🎤༈•⃟ᴋᴠ•`♨♠Echa🐞Jamilah🍄☯🎧
nyimak awal ketemunya 2 sohib..hmt
2022-03-17
0