Nurul menyambut kedatangan Mirsha dengan ramah, tapi Mirsha justru memandangnya rendah dikarenakan penampilan Nurul yang begitu sederhana. Namun, Nurul memaklumi sikap Mirsha. Bagi Nurul Mirsha hanya belum terbiasa dengan perubahan lingkungan tempat tinggalnya. Mirsha yang tak rela papanya meninggalkannya itu lalu diajak oleh Nurul untuk berkeliling.
“Kamu akan baik-baik saja di sini. Papamu masih bisa menelponmu nanti. Bagaimana kalau sekarang aku temani kamu berkeliling? Mumpung lingkungan komplek masih ramai. Kamu pasti akan suka melihat kegiatan-kegiatan yang ada di sini,” ucap Nurul. Ia berkata dengan lemah lembut dan ramah, tapi yang terjadi justru Nurul ditolak dengan cara yang kasar.
Melihat ketua yayasan yang sudah meninggalkan mereka berdua, Mirsha berani untuk mengungkapkan kekesalannya. “Berkeliling apanya? Gua tuh capek tahu, mau mandi dan istirahat. Udahlah gua jet leg, masih harus keliling, apalagi nahan aroma busuk kaya gini,” ucap Mirsha dengan meninggikan suaranya kepada Nurul.
Nurul mencium telapak tangan, punggung tangan dan ketiaknya, lalu ia meringis. “Hihi. Iya, sih. Aku memang bau. Habis ngorek-ngorek tanah di kebun tadi,” ucap Nurul dengan bersahaja. “Nah, tuh lu nyadar. Ya udah, sekarang mending anterin gua ke kamar gua,” ucap Mirsha. Gayanya benar-benar seperti anak bos kepada pesuruhnya.
Ketika mereka sudah sampai di kamar Nurul duduk di sisi ranjang yang lain. Ada dua ranjang di ruangan itu. Mirsha memandangi Nurul dengan heran. Ia baru saja paham bahwa Nurul adalah teman sekamarnya. “Mau kamu duluan yang mandi atau aku duluan? Aku kan bau nih, siapa tahu kamu udah ga tahan menghirupnya,” ucap Nurul sambil menyalakan kipas angin yang tertempel di langit-langit.
Melihat sekelilingnya, Mirsha bertambah lemas. Ia mendongak ke langit-langit. Yang diharapkannya adalah pendingin ruangan, bukan kipas angin. Namun, kebersihan, kerapian dan aroma ruangan yang harum bisa menetralisir kekecewannya itu. Mirsha pun merebahkan tubuhnya di ranjang. “Ya udah, lu duluan aja. Gua mau ngelurusin badan dulu,” ucapnya dengan lebih lembut.
Waktu pun berlalu. Nurul sudah selesai mandi. Ia mendapati Mirsha sudah pulas tertidur. “Kayanya aku mandi ga lama-lama banget deh,” ucap Nurul heran. Ia pun mendongak ke jam dinding yang tertempel tinggi. “Nah, kan, cuma lima menit. Cepat banget dia pulasnya. Mana sebentar lagi magrib. Kalau dibangunin ntar pasti ni anak ngamuk. Tapi kan semua harus berkumpul, masa dia sendirian di kamar?” ucap Nurul bimbang.
Akhirnya Nurul pun memutuskan untuk membangunkan Mirsha. Nurul berulang-ulang mengatakan kalau waktu magrib sudah dekat dan mereka harus berkumpul. Namun, Mirsha tidak juga mau bangun.
Hingga kondisi luar sudah gelap, Mirsha pun terbangun oleh sentuhan tangan seseorang. “Mirsha… Mirsha… Bangun, Mirsha… “ ucap seorang wanita. Mirsha pun membuka matanya dan terkejut di sekelilingnya sudah ada beberapa santriwati, seorang wanita dan tentunya seorang lagi adalah Nurul.
“Kamu sakit, Mirsha?” tanya wanita itu. Mirsha hampir terperanjat mengetahui mereka sedang memandanginya. “Ini sudah hampir lewat magrib, Mirsha. Tadi aku bolak-balik bangunin kamu, kamunya ga bangun-bangun,” ucap Nurul. “Hehe… Maaf, Ustadzah,” ucap Mirsha menyengir kuda. “Tapi badannya tidak panas… “ ucap wanita itu. “Pasti Mirsha kelelahan, Ustadzah. Perjalanannya kan dari luar kota,” ucap Nurul. “I-iya, Ustadzah. Saya… “ ucap Mirsha.
Belum usai Mirsha berkata-kata, Ustadzah tersebut pun langsung menceramahinya. Inti ucapan wanita itu adalah tentang kedisiplinan di tempat ini. Semua santriwati di tempat ini diperlakukan sama, tidak ada hak spesial kecuali itu adalah udzur yang syar’i atau sakit. Mirsha begitu malu dengan hal yang baru saja terjadi padanya. Walaupun sering bersikap sombong, Mirsha tidak lebih hanyalah perempuan manja yang punya rasa malu.
Hal yang beruntung bagi Mirsha adalah dipertemukannya ia dengan Nurul. Nurul yang menjadi teman sekamarnya sekaligus teman dekatnya di berbagai kegiatan di pesantren. Hal beruntung lainnya adalah Mirsha serasa punya dokter pribadi, seorang kakak, lebih tepatnya seorang ibu. Nurul bisa begitu perhatian yang menyayanginya.
*
Waktu bergulir, hari pun berganti.
Suatu malam, seusai kegiatan, Nurul dan Mirsha hendak beristirahat. Mereka melepas penatnya di ranjang masing-masing yang saling berseberangan, dipisahkan oleh jalan antara pintu kamar dan pintu kamar mandi. Mirsha tampak begitu lesu, sedih, sebab energinya telah terkuras habis. Ia lalu meraih sebuah foto berbingkai yang semula dipajangnya di atas meja belajarnya. Ia mengusap-usap foto itu dengan pandangan yang syahdu.
“Itu mama kamu, Cha? Sebelumnya aku sudah pernah bertemu langsung dengan papamu, tapi mamamu belum. Dia tidak ikut mengantar kamu ke sini waktu itu,” ucap Nurul. “Iya. Mama selalu ada di dekatku, kapanpun. Bahkan sekarang, di sini,” ucap Mirsha atau Icha lalu menyentuh dadanya. “Emh, maaf?” tanya Nurul. Nurul sempat terdiam, lalu Icha meneruskan ucapannya.
“Mama meninggal sejak usiaku tujuh tahun,” ucap Icha. Icha lalu meneteskan air mata. Kondisi tubuh yang lelah membuatnya begitu emosional sekarang. Dari raut wajahnya ia begitu merindukan mamanya, mungkin juga merindukan hidup senang, terfasilitasi dengan mewah dan tidak terikat dengan disiplin yang melelahkan di tempat ini.
Nurul pun bangkit dan duduk di sisi Icha. Ia mengusap-usap punggung Icha. “Yang sabar ya, Cha. Kamu ga sendirian kok. Ada aku. Ya, kehilangan orang yang kita cintai itu memang berat. Aku ngerti banget yang lagi kamu rasain,” ucap Nurul dengan nada yang begitu pelan. Keheningan malam cukup untuk membuat percakapan sepelan apapun terdengar berisik. Akan ada para ustadzah piket yang berkeliling di depan kamar mereka. Apabila ketahuan ada santriwati yang beraktivitas, ustadzah tersebut akan menegurnya.
“Tapi ini ibu kandung, Rul. Bukan orang lain,” protes Icha. Nurul mengangguk cepat sembari matanya ia pejamkan, menegaskan bahwa protes Icha tidak berguna. “Iya, Cha. Kita punya nasib yang sama, makanya aku juga ngerasain apa yang kamu rasain,” ucap Nurul. “Jadi… “ ucap Icha. “Iya, ibuku juga sudah meninggal. Sekitar setahun yang lalu,” ucap Nurul. “Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun… Terhitung baru dong, Rul,” ucap Icha disertai simpatinya kepada Nurul. Ia merasa malu, sebab Nurul terlihat lebih tegar dibanding dirinya. Bagaimanapun rasa kehilangan Nurul masih terlalu baru untuk hilang.
“Aku turut berbelasungkawa, Nurul. Mama kamu meninggalnya karena apa?” tanya Icha. Astaga, pertanyaan macam apa itu? “Karena Allah, Cha,” jawab Nurul. Mendengar jawaban Nurul, Icha pun sadar ia terlalu ceplas-ceplos untuk bertanya. Nurul tersenyum dan melanjutkan kata-katanya. “Ibuku meninggal setelah diketahui beliau sudah menahan sakit sejak lama. Beliau merahasiakannya dari kami. Aku pikir selama ini setiap ibu meminta jamu pereda rasa sakit kepadaku, itu hanya karena nyeri-nyeri biasa. Mungkin aku jugalah yang mempercepat ibu pergi,” ucap Nurul menunduk lesu.
“Mempercepat?” tanya Icha penasaran. “Ya, ramuan buatanku itu. Aku pasti melakukan kesalahan takaran, atau aku kurang lama merebus bahan, atau… “ ucap Nurul dan dengan perlahan nada suaranya gemetar. Jelas sekali bahwa ia sedang menahan tangisnya. Icha memegang tangan Nurul yang sedang meremas pakaiannya, menyalurkan kekuatannya agar Nurul tegar. “Seandainya aku ga memberikan ramuan apapun kepada ibu… “ ucap Nurul dengan air mata yang kemudian tumpah.
“Nurul… Ssh… ssh… Semua terjadi karena Allah, Rul. Jangan salahkan diri kamu seperti ini,” ucap Icha. Icha mengusap pipi Nurul. Nurul pun tersenyum perlahan. “Makasih ya, Cha,” ucap Nurul. “Harusnya aku yang berterima kasih sama kamu. Tadinya aku ngerasa jadi anak yang paling menyedihkan, ternyata sekarang bisa berbagi kesedihan sama kamu,” ucap Icha.
“Ngomong-ngomong, jadi itu yang membuat kamu ga mau buka praktek pengobatan buat orang sekampung lagi?” tanya Icha. “Kamu tahu kalau dulu aku pernah buka praktek pengobatan?” tanya Nurul kembali. “Sewaktu aku ke pasar, aku ga sengaja dengerin percakapan ibu-ibu yang keluarganya katanya sakit. Dia ngeluh ga mampu berobat ke dokter dan nyinggung nama kamu. Katanya sayang banget kamu udah ga mau bantu orang kampung lagi. Pengobatan alternatif kamu katanya manjur dan terjangkau,” jelas Icha.
“Iya, aku udah ga berani lagi, Cha. Aku ga mau menangani penyakit macam-macam. Cukup yang umum-umum aja, di sini-sini aja. Aku ga mau ngelakuin kesalahan lagi,” ucap Nurul. “Apa udah terbukti kalau meninggalnya ibumu itu karena ramuanmu? Kamu terlalu melebih-lebihkan, Nurul,” bujuk Icha. “Emh, ini udah malam. Sebaiknya kita istirahat dulu. Besok kita ada giliran ngisi liqo kan?” ucap Nurul mengalihkan pembicaraan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
🎤༈•⃟ᴋᴠ•`♨♠Echa🐞Jamilah🍄☯🎧
nyesek, mudah2an ibu' ku diberi umur yg panjang, tanpa ibu' serasa hampa hidup ni..hiks
2022-03-17
1
CebReT SeMeDi
ditunggu kelanjutannya ya thor
2022-03-07
1
🌀尺ʏǟռ_☕︎
mmlki tman yg slng mlngkpi itu mmng sngt dbthkan aplgi dia sllu hdr tdk hnya disaat kta lgi snng sja melainkan dsaat kta ksshan pun dia hdr itu yg dnmkn tman sjati
2022-03-07
0