“Kalau Anda berani macam-macam, saya akan teriak!” ancam Nurul. “Hahaha… Teriak? Ehem… Ehem… HAALOO… APA ADA ORANG DI SIINII…? SPAADAA…?” Seusai pemuda itu meninggikan suaranya ia pun diam sejenak lalu mengangkat kedua bahunya sambil menatap Nurul. “See?” ucap pemuda itu meledek Nurul.
“Saya mohon, lepaskan saya,” ucap Nurul dengan putus asa. “Lu kenapa sih? Muna banget. Lihat gua baik-baik, lihat sekeliling. Ga ada kan yang merhatiin kita? Apa lu belum pernah sedikitpun bersenang-senang?” ucap pemuda itu dengan wajah yang semakin mendekat dan suara semakin pelan. Nurul belum pernah ada di posisi seperti sekarang. Nurul belum pernah punya teman laki-laki yang sedekat ini posisinya, bahkan berpegangan tangan pun tidak pernah.
Di bawah remang cahaya bulan, Nurul melihat sepasang mata itu mendekat, tempat keluarnya suara itu bergerak dan pusat dengusan dengan bentuk memuncak. Nurul memicingkan mata, menghindari penglihatannya dari menikmati semua ketampanan itu sambil memundurkan kepalanya. Jantung Nurul berdebar kencang, karena jelas-jelas wajah pemuda ini begitu tampan baginya.
Napas Nurul mulai tak terkendali oleh perasaannya sendiri. Penyakit lama yang sudah mulai jarang kambuh kini timbul kembali. Asma Nurul kambuh. Melihat ketidakberdayaan dan gelagapannya Nurul, pemuda itu merasa simpati. Ia jadi ikut mengkhawatirkan kondisi gadis yang tak dikenalnya itu. “Aduh, aduh… Dek? Lu ga apa-apa kan? Duh, gimana ya… Air mineral! Air mana air!” ucap pemuda itu sembari membuka tutup laci di dasbor lalu memalingkan tubuhnya ke ruang tengah.
Nurul spontan menggenggam erat tangan pemuda itu dan tangannya yang lain mengipas-ngipaskan jemarinya di depan wajahnya.
Pemuda itu langsung membuka kaca mobil lalu mencoba menenangkan Nurul. Ia memberikan instruksi-instruksi pengaturan nafas agar Nurul dapat mengatur nafasnya. Belum berhasil dengan itu, pemuda itu mencoba mencopot peniti yang menautkan kerudung Nurul di bawah dagunya agar Nurul tidak semakin sesak di bagian itu.
Belum berhasil dengan berbagai cara tersebut, pemuda itu keluar dari mobil dan membukakan pintu Nurul dari luar. Ia kemudian berjongkok di hadapan Nurul. “Coba tenangkan diri kamu lagi. Gua, eh, Kakak ga akan macem-macem kok sama kamu, Dek. Hirup udara bebas ini. Coba kamu lihat, saya udah bukain kamu pintu. Saya akan antar kamu balik atau kalau kamu mau kita ke rumah sakit aja boleh,” ucap pemuda itu dengan lembut.
Nurul menatap pemuda tampan itu dalam-dalam. Pemuda itu baru saja mendapatkan rasa percaya dari Nurul dan perlahan asma Nurul mereda. “Bener ya, kita balik?” Nurul sudah dapat bicara, nafasnya normal kembali.
TAAAR… Tiba-tiba terdengar sesuatu meledak di belakang mobil mereka. Sepertinya itu adalah ban yang pecah. “Eeehikhikhik.. Hikhikhik..” Terdengar suara seperti wanita sedang tertawa geli.
Nurul dan pemuda itu saling beradu tatap dengan bola mata membulat. “AAAAA…” Nurul berteriak keluar dari mobil lalu berlari menjauh. Pemuda itu berlari menyusulnya. “Hei, Dek… DEEEK…” panggil pemuda itu. Arah Nurul berlari justru menuju ke dalam hutan. Pemuda itu semakin khawatir sebab di depan akan lebih berbahaya bagi Nurul. Bagaimana kalau gadis itu terpatuk ular? Nurul yang terlanjur ketakutan tak sempat berpikir jernih untuk menentukan kemana arahnya berlari.
Langkah kaki pemuda itu lebih lebar dan lebih cepat daripada Nurul sehingga ia berhasil menggapai Nurul dan menariknya. “Dek! Dek! Lu sadar ga lu mau lari kemana?” ucap pemuda itu. Nurul lalu melihat ke sekeliling, baru menyadari tindakannya itu. “OOWK..OOWK…” Suara aneh lainnya muncul. “Aaa!” Nurul dengan spontan memeluk erat tubuh pemuda itu. Pemuda itu menenangkannya dan mengusap-usap kepala Nurul yang sudah tak tertutupi kerudung lagi. Kini sehelai kain itu hanya tertambat di sekitar lehernya saja.
Menyadari kedekatannya dengan pemuda itu, Nurul melepaskannya. Dengan terburu-buru ia pasang kembali kerudung di kepalanya. “Maaf, maaf. Sekarang ayo kita balik,” ajak pemuda itu. “Ta-tapi… Kutilanaknya…” ucap Nurul. Pemuda itu menggaruk-garuk punuknya sendiri. Ia bingung akan bergerak kemana. Suasana di sekitar hening kembali, hanya ada suara jangkrik dan serangga kayu pohon.
Sama-sama dalam keadaan bingung, pemuda itu pun duduk di sebuah undakan di sisinya. Nurul pun mengikutinya. Ia berjongkok untuk meredakan lelah. “Duduklah di sini. Capek kalau jongkok-jongkok begitu,” ucap pemuda tampan itu yang menggeser tubuhnya untuk menyisakan tempat untuk Nurul duduk. Nurul menggeleng. Lama kelamaan Nurul capek dengan jongkoknya. Ia meregangkan kakinya dengan kembali berdiri dan pemuda tampan itu kembali mempersilahkannya duduk di sisinya. Kali ini pemuda itu duduk membelakangi Nurul. Nurul lalu duduk dengan ragu-ragu. Mereka saling memunggungi.
“Ngomong-ngomong, jadi kamu belum pernah pacaran ya?” ucap pemuda itu memecah keheningan di antara mereka. “Ngapain pacar-pacaran? Ga penting,” jawab Nurul. “Saya baru tahu ada perempuan sepolos kamu,” ucap pemuda itu. “Memangnya Kakak tinggal di planet mana sih?” ucap Nurul. “Saya tinggal di Jakarta. Di lingkungan saya sangat jarang ada perempuan polos seperti kamu. Bahkan anak-anak SMP saja kebanyakan sudah mahir ML,” jelas pemuda itu.
“ML? Apaan ML?” gumam Nurul. Pemuda itu tak ingin membahasnya lebih lanjut. “Emh, Kakak dari Jakarta? Bukan orang sini? Saya kira Kakak orang Jember,” ucap Nurul. “Bukan. Saya kebetulan sedang ada pertemuan keorganisasian mahasiswa di sini. Oh iya, kita belum kenalan loh?” ucap pemuda itu lalu memutar tubuhnya sehingga mereka saling bersisian menyamping.
“Saya Tommy,” ucapnya sambil menyodorkan tangan. Nurul tidak menyambut tangan Tommy. “Saya Nurul,” balasnya. “Padahal tadi ngeremes-remes tangan gua kenceng banget,” gumam Tommy. “Hah? Apa?” ucap Nurul. “Enggak. Bukan apa-apa,” jawab Tommy. Tommy dan Nurul pun saling bercakap-cakap. Mereka bertukar pendapat mengenai pacaran. Sesekali ada tawa yang terselip di antara keduanya.
Tiba-tiba… “Eh, bentar deh itu di atas kepala kamu ada yang uget-uget nyala gitu,” ucap Tommy. “Hah? Cacing api? Ulat bulu? Astaghfirullah... “ Nurul mulai panik. “Sebentar-sebentar…” Tommy mengambilnya dengan bantuan sebatang ranting. “Eh, malah jatuh. Kamu jangan gerak-gerak dong!” ucap Tommy. “Haa.. gak maauuu..” ucap Nurul yang mengetahui hewan melata itu berada di kerudung bagian belakang tubuhnya.
Tommy lalu melingkarkan tangannya, sikap tubuh yang hampir memeluk Nurul. Tommy langsung melemparkan ranting beserta hewan melata itu tapi dengan posisi tubuh yang belum berubah. Lagi-lagi jantung mereka berdua berdegup lebih kencang. Kedekatan ini membuat mereka membeku, terutama Nurul. Perlahan Tommy bergerak memindahkan wajahnya ke depan wajah Nurul.
Keakraban yang telah lumayan terjalin di antara keduanya membuat Nurul kali ini tidak menolak kedekatan posisi itu. Hingga pada akhirnya kedua titik di ujung-ujung hidung mereka pun bertemu. Tommy meletakkan mulutnya dengan lembut di atas mulut Nurul. Pergerakan yang lembut dan berulang-ulang membuat Nurul memejamkan matanya. Semua prinsip yang ada di kepala Nurul hilang seketika. Ia hanyalah gadis biasa yang bisa tergoda dengan pengalaman seindah ini. Pengalaman pertama yang mungkin tak akan pernah Nurul lupakan nantinya.
Tommy melepaskannya. Ia ingin memandangi wajah Nurul yang samar-samar oleh karena sinar bulan yang terlampau sedikit menyinarinya. Nurul membuka matanya ketika sadar pengalaman pertamanya itu baru saja berakhir. Ia memandangi Tommy sambil menggigit sebagian bibirnya. Raut wajah Nurul tiba-tiba berubah dan sontak menutup mulutnya dengan tangannya dan meneteskan air mata.
“Ada apa?” tanya Tommy. “Kita melakukan kesalahan,” ucap Nurul sambil memalingkan wajahnya. “Tidak ada… Hei, Nurul…” Tommy mengarahkan wajah Nurul kembali kehadapannya. “Tidak ada hal yang akan lebih jauh terjadi. Kamu harus percaya kepadaku,” bujuk Tommy. “Tapi ini dosa, Kak,” ucap Nurul. “Kau akan segera mengetahuinya bahwa aku benar-benar akan ‘menjaga’ bukan justru sebaliknya. Ini hanya sebuah pengalaman biasa, aku berjanji tidak akan lebih,” bujuk Tommy sekali lagi. “Kakak harus menghormati prinsip yang kuanut, Kak!” ucap Nurul tegas.
Tommy terdiam. “Maafkan aku, Nurul. Aku tidak paham dengan prinsip yang seperti itu. Sekali lagi aku minta maaf. Aku menghargai kereligiusanmu, Nurul,” ucap Tommy sambil membenahi posisi duduknya. Suasana hening kembali membuat mereka berjarak.
“A-apa kita tidak akan bertemu lagi?” ucap Nurul memecah keheningan di antara mereka. “Sepertinya begitu. Aku akan kembali ke Jakarta dan kamu akan kembali ke Madura. Kita ada di sini sama-sama hanya singgah,” ucap Tommy. Mendengar hal itu Nurul kembali terdiam. Ia baru saja mendapatkan sebuah pengalaman yang mungkin tak akan pernah dilupakannya. Nurul berulang-ulang menafikan bahwa ia baru saja jatuh cinta, tapi perkataan terakhir Tommy membuatnya merasakan kepiluan di dadanya.
“Bolehkah… Bolehkah untuk yang terakhir kali… Maksudku sebuah perpisahan…” ucap Tommy. Menatap dalam-dalam mata Nurul, ia tidak mendapatkan jawaban apapun yang keluar dari bibirnya. Ia justru menangkap rasa kehilangan dari sorot mata gadis itu terhadapnya. Sekali lagi Tommy mendekatkan wajahnya perlahan dan Nurul tidak menolaknya, justru memejamkan matanya lebih cepat.
Kali ini pertemuan mulut itu tidak sebeku tadi. Tommy mulai memainkan lidahnya dan Nurul masih terpaku, mengeras seperti patung semen yang kaku. Hingga pada akhirnya seluruh bagian mulut Nurul sudah terjelajahi, tahu-tahu tangan Tommy sudah mendekap erat tubuh Nurul dan lagi-lagi kerudung Nurul sudah merosot tak lagi menutupi kepalanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
martina melati
mobile legend
2024-10-18
0
its Gitachan>\\\<
sama aku juga nggak pernah bersentuhan sm cwo apa lagi sampe pegangan tangan, baru di deketin aja udah ketar ketir😥
2022-06-12
0
¢ᖱ'D⃤ ̐Nu⏤͟͟͞R❗☕𝐙⃝🦜
wakk semangat dengan kepolosan nya
2022-03-21
2