Ketua yayasan pondok pesantren yang Icha tempati menolak ide licik Tuan Sudarsono. “Saya tidak bisa melakukannya, Tuan Sudarsono YANG TERHORMAT!” ucap Ustadz Arif dengan menekankan kata terakhirnya. “Ini adalah terkait dengan pendidikan akhlak! Putri Bapak di sini kami didik bukan untuk melakukan hal seperti itu!” lanjutnya.
Nurul dan Icha terkejut dengan apa yang dikatakan ayah Nurul tersebut. Mereka membulatkan mata dan saling bertatapan heran.
“Loh? Saya tidak mengkritik sistem pendidikan di tempat Ustadz. Yang sedang kita bahas di sini adalah hanya untuk ajang hafalan Qur’an itu. Saya bersedia menanggung semua akomodasi rombongan dari yayasan ini yang akan pergi ke acara itu. Dan karena ada putri saya di sana, maka akomodasinya akan saya pilihkan yang VIP! Saya jamin itu,” ucap Tuan Sudarsono.
Sepertinya Tuan Sudarsono menangkap rasa tersinggung dari ketua yayasan sehingga ia mengiming-imingi akomodasi dengan kelas istimewa itu. “Dan kalau Nurul dalam artian yang membawa nama Icha menjadi juara di sana, saya akan mentransfer hadiah untuk yayasan tiga kali lipat lebih besar daripada donasi rutin saya sebelumnya,” lanjut Tuan Sudarsono.
“Pak Sudarsono. Saya doakan agar Allah melimpahkan taufiq-Nya kepada Bapak agar Bapak memahami makna keberadaan materi untuk kehidupan ini,” ucap ketua yayasan sembari melirik ke Nurul dan Icha. Ia tidak ingin memperpanjang dan memperjelas perdebatan ini di depan mereka berdua.
“Emh…? Jadi, bagaimana Ustadz. Kita sepakat?” tanya Tuan Sudarsono. Sepertinya ia tidak memahami apa yang baru saja dikatakan ketua yayasan. Sebuah kalimat halus yang menyindir sikap materialistis Tuan Sudarsono. “Saya tidak setuju, Pak Sudarsono. Mohon maaf,” jawab ketua yayasan.
“Baiklah, Ustadz. Percuma saya sejak tadi menghabiskan waktu saya percuma. Seharusnya saya langsung saja bicara dengan Ustadz Syafiq. Kita sudahi dulu percakapan ini, Ustadz. Masih banyak hal penting yang harus saya kerjakan,” ucap Tuan Sudarsono mengakhiri percakapan di telepon.
“Wa alaikumussalam,” ucap ketua yayasan setelah sambungan telepon terputus. Bahkan Tuan Sudarsono pun tidak mengakhiri obrolan itu dengan mengucapkan salam. “Astafirullahal adziim…” ucapnya. Ketua yayasan menggeleng sembari menekan dan memandang layar ponselnya.
“Ada apa, Ustadz? Apakah papa saya membuat masalah?” tanya Icha dengan raut wajah bersalah. “Iya. Hal apa yang ga Bapak setujui?” susul Nurul. “Enjek, bukan masalah yang gimana-gimana. Papa Icha ternyata memang orang yang sangat protektif sama Icha,” ucap ketua yayasan kepada Icha. “Yang Bapak tidak setujui adalah cara komunikasinya saja. Seperti yang kalian ceritakan. Sebenarnya niat papa Icha itu baik, cuma caranya saja yang membuat Icha merasa papa tidak perhatian sama Icha,” lanjut ketua yayasan kepada mereka berdua.
Nurul menangkap ada hal yang mencurigakan sedang disembunyikan oleh ayahnya itu. Bagaimanapun Nurul adalah anak kandung ketua yayasan yang setiap hari bertemu dengannya. Nurul hafal betul dengan sikap ayahnya itu. Bahkan ketika ayahnya sedang menahan buang angin pun Nurul tahu.
Tidak dengan Icha. Ia menerima saja apa yang dikatakan ketua yayasan. Baginya, semua rencananya pasti selalu berjalan dengan mulus. Sesuai dengan kebiasaannya dulu yang sering kali terbawa hingga sekarang, di mana uang bisa memuluskan semua proses. Kini, walaupun ia tidak melibatkan uang dari dirinya, ia masih terbawa dengan kemudahan-kemudahan yang biasa ia miliki. Namun, terkecuali soal teman laki-laki. Mungkin seumur hidup Icha tidak akan pernah dekat dengan laki-laki yang akan menjalin hubungan asmara dengannya. Terkecuali kakek-kakek, pedagang rendahan, pesuruh, supir, dan semua jenis laki-laki yang tidak akan berpotensi menjalin asmara dengannya.
*
Tiga bulan berlalu. Persiapan Icha mengenai hafalannya masih jauh dari target. Nurul sempat khawatir apabila Icha tidak lolos seleksi, tapi Icha selalu menipu dirinya sendiri. Ia terlalu berani. Yang terpenting baginya adalah maju dulu. Masih ada kesempatan pada gelombang terakhir lima bulan mendatang. Ia bermaksud untuk mendaftar lagi apabila tidak lolos di gelombang kedua ini.
Sementara di ruang kerja ketua yayasan, Ustadz Arif sedang duduk memegang sebuah surat dengan kop bertuliskan institusi penyelenggara acara Tahfidz Qur’an di bagian paling atasnya. Lalu, di bagian bawah surat terdapat tanda tangan pemilik yayasan dengan cap nama yayasan pondok pesantren ini. Ketua yayasan menggeleng sembari mengerutkan dagunya yang tertutup jenggot itu.
Di bagian tengah terdapat daftar nama peserta beserta pas foto mereka. Nama Nurul dan Icha terdapat di sana dengan foto yang ditukar.
Tuan Sudarsono sudah melangkahi ketua yayasan. Semua ini berkat kedekatan Tuan Sudarsono dengan pemilik yayasan. Sebelumnya, Ustadz Arif sudah sempat diajak bicara oleh pemilik yayasan. Pemilik yayasan menegur penolakan Ustadz Arif terhadap Tuan Sudarsono tersebut. Pemilik yayasan meminta Ustadz Arif untuk memusyawarahkan keputusan apapun kepadanya. Dengan begitu berarti pemilik yayasan tidak lagi memperhitungkan kepemimpinan Ustadz Arif di pesantren tersebut. Secara tidak langsung kedudukan Ustadz Arif sebagai ketua yayasan terancam.
“Astafirullahal adziim… Semua ini gara-gara urusan uang,” keluh ketua yayasan.
Ustadz Arif pun melipat surat tersebut dan memasukkannya ke dalam amplop yang direkatkan, bersama dengan kelengkapan para peserta lainnya. Siapapun selain panitia di Jember tidak akan melihat isi dalam amplop yang tertutup tersebut, termasuk Nurul dan Icha yang adalah pesertanya sendiri.
*
Waktu berlalu. Nurul, Icha dan peserta laki-laki beserta guru pendamping akan berangkat menuju Jember. Mereka dijemput mobil minibus mewah milik ayah Icha. Mereka juga terfasilitasi untuk makan di pemberhentian berupa restoran-restoran, juga fasilitas menginap di hotel berbintang ketika sudah sampai di sekitar lokasi acara.
“Halo, assalamualaikum, Pa,” ucap Icha menerima telepon saat mereka tiba di hotel. “Gimana perjalanan Icha? Driver kita ga berulah kan? Makan Icha tadi gimana?” tanya Tuan Sudarsono. “Ih, Papa. Kalau ada yang ngucapin salam tuh dibalas,” protes Icha. “Wa alaikum salam,” jawab papanya. “Nah gitu, dong. Perjalanan Icha dan rombongan tadi lancar, Pa. Makan juga enak kok,” jawab Icha gembira. Bagaimanapun menikmati fasilitas mewah seperti ini adalah kondisi yang selalu ia rindukan.
“Driver aman-aman aja. Memangnya kenapa, Pa? Dia sewaan baru Papa, ya?” ucap Icha. “Itu anaknya Pak Yeyet. Harusnya Pak Yeyet yang antar Icha, tapi karena Pak Yeyet ga sehat jadi anaknya yang gantikan dia. Papa khawatir aja, soalnya belum pernah pakai jasa anaknya itu kecuali untuk antar-antar barang,” jelas Tuan Sudarsono.
“Lagian Papa pakai jasa Pak Yeyet segala. Dia kan udah berumur, Pa. Apalagi jauh dari Jakarta ke Jatim cuma buat nganterin Icha,” ucap Icha. “Selama ini Papa percayain Icha sama dia. Papa ga mau Icha kenapa-kenapa. Oh iya, dengan siapa kamu tidur? Siapa teman sekamar Icha di sana?” tanya Tuan Sudarsono. “Nurul, Paa… “ jawab Icha sembari memutar bola matanya. Ia menebak papanya itu khawatir kalau Icha akan bertemu dengan sembarang laki-laki di sana.
“Kalau Papa ga percaya sama Icha, Papa pastikan aja sendiri Icha sama siapa aja, kemana aja,” ucap Icha dengan nada mengejek. “Papa minta maaf ya, Sayang. Papa belum bisa datang. Papa sedang menangani project di Singapur, mendadak dan kehadiran Papa tidak bisa digantikan,” papanya itu.
Mendengar ucapan itu terukir raut wajah yang sumringah pada Icha. Ia merasa merdeka dari tekanan papanya itu. Ia tidak perlu khawatir berbuat apapun dan pergi kemanapun, walaupun masih dalam batas pengawasan pendamping rombongan dari pesantren.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Beast Writer
Icha dah jd alim
2022-03-20
3
🎤༈•⃟ᴋᴠ•`♨♠Echa🐞Jamilah🍄☯🎧
nice thor.. next
2022-03-17
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
semoga kali ini baik2 aja
2022-03-15
0