*****
Sandara menghela nafas panjang sambil memejamkan kedua mata nya. Ia benar-benar muak mendengar perkataan nenek Maria. Berlin yang menyadari adanya ketidaknyamanan dalam situasi saat ini pun langsung meraih tangan nenek Maria dan membawa nya keluar dari kamar Sandara.
" Ada apa Berlin? Kenapa kau menarik tangan nenek dengan sangat kencang.? "
Keluh nenek Maria yang merasa Berlin menarik tangannya terlalu kencang. Dan nenek Maria juga terlihat bingung dengan sikap Berlin.
" Tidak nek, aku hanya tidak ingin mengganggu Sandara...nenek lihat kan tadi wajah Sandara sudah sangat lesu. "
Berlin dengan segera mencari alasan, dan dengan alasan yang di buatnya itu, akhirnya nenek Maria pun menuruti perkataan nya. Mereka pun kembali ke ruang makan.
Seusai nya makan malam, nenek Maria masih sibuk berbincang dengan Sarah. Dan Berlin, ia juga sedang sibuk menerima telepon dari asisten pribadinya.
Sedangkan Devan, Devan duduk di ruang televisi sambil sesekali mengutak-atik ponsel yang saat ini sedang di genggam nya.
*****
Di dalam kamar Sandara...
Kruuukkkruukk...
Tiba-tiba saja terdengar suara aneh dari dalam perut Sandara. Sandara memegangi perut nya itu sambil menggigit bibir bawah nya.
" Ah sial, perut ku tidak bisa di ajak kompromi, di saat seperti ini kenapa kau harus merasa lapar Dara. "
Gumam Sandara lalu ia mengusap-usap perut nya. Kemudian Sandara mencoba untuk berdiri, ia berjalan dengan perlahan sambil menahan rasa sakit akibat kaki nya yang terkilir itu.
" Arghh...ini semua gara-gara Berlin, kalau saja dia tidak menjatuhkan tubuhku ke dalam kolam ikan. Aku tidak akan menjadi seperti ini...menyebalkan sekali. "
Sandara berjalan sambil menggerutu, ia membuka pintu kamar nya dan berjalan perlahan menuruni anak tangga yang cukup tinggi itu. Keringat pun sampai keluar dan menetes dari kening nya.
Dan Devan yang sedang melihat televisi itu tidak sengaja melihat ke arah Sandara. Dan dengan sigap Devan beranjak dari duduk nya dan menghampiri Sandara yang masih berjalan tertatih di pertengahan anak tangga tersebut.
" Dara...kenapa kau tidak meminta bantuan pelayan untuk membantu mu berjalan? "
Devan bertanya dengan wajah yang sudah khawatir, takut kalau Sandara akan terjatuh jika tidak ada yang membantunya. Kemudian Devan memegangi tangan Sandara dengan maksud ingin membantunya, tetapi Sandara malah melepaskan tangan Devan dari tangannya.
" Ah Devan, kau disini? Ha ha...tidak perlu sampai merepotkan orang lain. Aku masih bisa berjalan, ini hanya sedikit terkilir. Aku tidak apa-apa...terimakasih, tapi aku bisa jalan sendiri. "
" Tapi Dara? "
" Aku baik-baik saja, aku tidak senang di perlakukan seperti orang yang sangat menyedihkan. Aku bisa jalan sendiri Devan, aku hargai kebaikan mu. "
Perkataan Sandara cukup menusuk perasaan Devan, tetapi Sandara berkata sambil tersenyum. Sehingga perkataan tajam nya itu masih bisa termaafkan oleh Devan.
Dan Devan pun hanya mengikuti Sandara berjalan dari belakang. Setelah sampai dapur, saat Sandara ingin mengambil piring untuk nya makan. Devan yang melihat nya pun langsung meminta salah satu pelayan untuk melayani Sandara.
" Dara...kau duduk saja, biarkan pelayan yang mengambilkan makanan untuk mu. "
Kemudian Devan membawa Sandara untuk duduk dan menunggu pelayan menyiapkan makan malam untuk nya.
Setelah selesai makan, Sandara berniat ingin langsung ke kamarnya. Tetapi tiba-tiba saja Sarah dan nenek Maria berjalan menghampiri nya.
" Dara? Kenapa kau turun? Kaki mu bagaimana? Dan dimana Berlin.? Berlin..!!! "
Nenek Maria melontarkan begitu banyak pertanyaan, dan Sandara belum sempat menjawab salah satu pertanyaannya namun nenek Maria sudah berteriak memanggil Berlin.
Berlin yang mendengarnya pun langsung bergegas menghampiri nenek Maria.
" Ada apa nek? "
Tanya Berlin yang terlihat terkejut karena teriakan nenek Maria.
" Lihat? Kau dari mana saja? Kenapa kau membiarkan istri mu berjalan sendirian di saat kaki nya sedang terkilir? "
" Maaf nek, aku tidak tau kalau Sandara keluar dari kamar nya. "
" Dara...kau juga kenapa tidak memberitahu Berlin jika ingin turun. Kau tau betapa nenek sangat mencemaskan keadaan mu.?"
" Terimakasih nek, tapi aku baik-baik saja. Dan lagi pula aku tidak tau di mana Berlin, jadi aku juga tidak bisa memberitahu nya."
" Kau ini, kau kan bisa menghubungi nomor telfon Berlin, dan meminta nya untuk membantu mu berjalan. Atau setidak nya biar pelayan yang membantumu kalaupun Berlin terlalu sibuk dengan urusannya itu. "
Sandara pun terdiam, ia tidak mengerti dengan perkataan nenek Maria. Selama ini Sandara sama sekali tidak pernah menggunakan alat digital apapun. Ia menghabiskan masa-masa remaja nya di dalam rumah sakit jiwa. Jadi Sandara tidak mengerti dengan apa yang sedang di bicarakan nenek Maria kepada nya.
" Maaf nek, tapi aku tidak mengerti dengan apa yang nenek bicarakan. Di dalam kamar ku tidak ada telfon nek, dan nomor Berlin? Aku tidak tau..."
Semua yang mendengar perkataan Sandara itu pun terlihat tercengang, terkecuali Berlin, Berlin memang tau kalau Sandara tidak mengerti gadget.
" Apa kau tidak memiliki ponsel? "
Devan bertanya karena ia terlalu heran dan tidak mengerti, kenapa di jaman yang sudah modern ini. Masih ada orang yang tidak tau soal barang digital, terlebih lagi barang yang umum di gunakan seperti ponsel.
Sandara hanya menggeleng dan menatap semua orang dengan tatapan bingung dan tidak mengerti.
" Maaf, semuanya...aku akan mengantar Sandara ke kamar nya. Seperti nya dia butuh banyak istirahat. "
Berlin tidak ingin semua semakin terheran-heran dengan Sandara. Jadi ia memutuskan untuk segera mengantar Sandara ke kamar nya.
" Berlin...nenek perlu bicara dengan mu nanti, dan segera belikan Dara ponsel. "
Nenek Maria berkata sambil menatap Berlin tajam, selama ini nenek Maria tidak tau kehidupan apa yang di jalani Sandara sebelum bertemu dengan Berlin. Jadi nenek Maria tidak tau kalau Sandara sempat berada di rumah sakit jiwa dalam waktu yang cukup lama. Nenek Maria hanya tau, kalau Dion Wang memiliki putri. Dan hanya itu saja...
Berlin hanya mengangguk dan membawa Sandara naik dan masuk ke dalam kamar nya. Sedangkan Sarah hanya bisa menitikkan air mata nya melihat putrinya yang selama ini menjalani kehidupan yang sangat menyedihkan tanpa nya itu.
Setelah masuk ke dalam kamar Sandara, Berlin terlihat kesal dan menutup pintu kamar Sandara dengan sangat kencang, sehingga Sandara terkejut dan mengerutkan dahi nya sambil menatap Berlin tajam.
" Ada apa dengan mu? Kenapa kau begitu bodoh..!! Bagaimana jika nenek menanyakan masa lalu mu.? "
Berlin bertanya sambil memaki Sandara, ia terlihat sangat marah dengan Sandara.
" Kau ini...apa yang aku lakukan selalu salah di mata mu? Dan apa salah ku? Memang benar aku tidak mengerti dengan perkataan nenek tadi. Dan kenapa kau malah memarahi ku? "
" Apa kau tidak bisa berpura-pura mengerti saja? "
" Sudahlah, aku sudah muak dengan semua perdebatan yang selalu terjadi jika kita bersama. Lebih baik kau keluar dari kamar ku, aku ingin istirahat. Keluarlah, sebelum aku berbuat nekat dan membuat mu malu di depan semua orang. "
Sandara pun mengancam Berlin supaya Berlin mau keluar dari dalam kamar nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments