#16

*****

" Ah sial..."

Kemudian Sandara berusaha untuk bangun, namun saat ia ingin berdiri.

" Akkhhh kaki ku. "

Berlin yang mendengar rintihan Sandara itu pun langsung menoleh ke arah Sandara. Berlin melihat Sandara lalu kemudian ia kembali memalingkan wajah nya dan berlalu pergi meninggalkan Sandara yang saat ini sedang kesakitan.

" Maaf tuan, nona. "

Salah satu pelayan yang melihat Sandara yang sudah terjatuh ke kolam itu pun menghampiri Berlin.

" Aku peringatkan, jangan ada yang menolong nya. Aku sedang memberinya pelajaran, jika ada yang berani mendekati Sandara dan menolong nya, maka kalian akan aku pecat. "

Berlin menatap pelayan itu dengan tatapan dinginnya, dan kemudian ia mengancam dan memperingatkan pelayan tersebut untuk tidak mendekati Sandara. Pelayan itu hanya tertunduk sambil melirik ke arah kolam, dimana Sandara sedang berada saat ini.

Sandara masih memegangi kaki nya yang terkilir, lalu ia berusaha untuk berdiri dan keluar dari kolam ikan tersebut. Lalu dengan penuh usaha dan dengan menahan rasa sakit akibat kaki nya yang terkilir itu. Sandara pun bisa keluar dari kolam ikan tersebut.

" Berlin Saw...!!! "

Sandara berteriak sambil meremas baju nya yang sudah basah kuyup itu. Ia begitu kesal, sampai-sampai membayangkan jika dirinya akan membunuh Berlin saat ini juga.

Berlin sebenarnya mendengar teriakan Sandara, namun ia tidak menghiraukannya sama sekali. Lalu kemudian Berlin masuk ke dalam kamar nya.

Sedangkan Sandara, ia harus berjalan tertatih karena ia juga harus menahan rasa sakit di kaki nya.

" Awas saja kau Berlin Saw, tunggu pembalasan ku. Lihat saja!! "

Gumam Sandara pada dirinya sendiri, dan saat Sandara ingin masuk ke dalam rumah singgah tersebut, kebetulan sekali...Sarah dan Devan datang, Sarah yang melihat anaknya berjalan pincang itu pun langsung menghampiri Sandara.

" Dara...ada apa? Kau terluka? Kenapa baju mu basah semua? "

Sarah bertanya lalu saat ia ingin menyentuh bahu Sandara, tangan Sandara dengan cepat menepis dan menghindari Sarah. Lalu Sarah menatap Sandara dengan tatapan sedih di mata nya.

Devan yang menyadari tatapan sedih Sarah itu pun langsung meraih pergelangan tangan Sarah dan menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa Sarah tidak perlu bertanya kepada Sandara.

Dan kemudian Devan mendekati Sandara dan bertanya kepada Sandara.

" Kau kenapa basah kuyup? Dan ada apa dengan kaki mu? "

" Aku terpleset, dan sepertinya kaki ku terkilir. "

" Biar aku bantu. "

" Ah, tidak perlu, ini sangat merepotkan...dan baju ku juga basah...aku takut nanti mengenai baju mu. "

Sandara menghindari Devan dan kemudian kembali berjalan dengan tertatih. Namun Devan yang tidak tega melihat tatapan sedih Sarah itu pun akhirnya memaksa untuk tetap membantu Sandara berjalan.

Devan meraih tangan Sandara dan melingkarkan nya di lehernya. Kemudian Devan menggendong Sandara.

" Akh...apa yang kau lakukan? Turunkan aku..! "

" Sudahlah, kau diam saja...aku hanya tidak ingin melihat ibu sedih karena mengkhawatirkan mu, jadi aku mohon...biarkan aku mengantar mu. Dimana kamar mu? "

Lalu kemudian Sandara melihat ke arah Sarah, dan kembali memalingkan wajah nya. Sandara terdiam dan tidak menjawab pertanyaan dari Devan.

" Hei...maaf...tapi aku harus mengatakannya kepada mu, kau cukup berat...jadi dimana kamarmu? "

" Ah maaf...di sana..."

Sandara pun menunjuk sebuah kamar yang berada tepat di samping kamar Berlin. Dan saat ia sudah dekat dengan kamar Sandara, tiba-tiba saja Berlin membuka pintu kamar nya, dan berhadapan langsung dengan Devan yang saat ini sedang menggendong Sandara.

Berlin menatap Devan dan Sandara bergantian, begitu juga dengan Devan. Lalu Devan segera menurunkan Sandara, ia merasa tidak enak hati kerena menggendong Sandara.

" Berlin, kaki Sandara seperti nya terkilir, dan aku hanya ingin membantunya. "

Berlin tidak berkata-kata sama sekali, lalu ia berjalan melewati Devan dan juga Sandara.

" Dasar tidak punya hati. "

Gerutu Sandara, lalu kemudian Berlin berbalik dan menarik tangan Sandara.

" Kau boleh pergi, biar aku yang mengurus istri ku ini. "

Devan pun langsung menuruti perkataan Berlin, ia kembali berjalan menuruni anak tangga dan menghampiri Sarah yang masih berdiri di samping sofa ruang tamu.

Sandara yang saat ini tangannya sedang di genggam oleh Berlin itu pun langsung menghempaskan tangan Berlin.

" Aku bisa sendiri, dan aku tidak butuh bantuan dari mu. "

" Aaa...baiklah..."

Lalu Berlin kembali pergi meninggalkan Sandara, dan Sandara semakin geram hingga ingin rasanya ia menghajar wajah tampan Berlin.

" Menyebalkan sekali laki-laki itu. "

Dan akhirnya Sandara masuk ke dalam kamarnya, setelah selesai membersihkan tubuh nya, Sandara langsung berbaring di atas tempat tidurnya.

Sandara memejamkan mata nya dan tertidur lelap. Sedangkan Berlin, ia masih mengobrol dengan Devan.

" Ada apa kau membawa wanita itu kemari? "

Berlin bertanya dengan tatapan yang tidak senang melihat Sarah masuk ke dalam rumah nya.

" Tadi nenek menelfon ku, dan nenek bilang, dia ingin bertemu dengan ibu. "

" Tapi nenek sedang beristirahat di kamar nya. "

" Yasudah kalau begitu, aku akan kembali lagi nanti. "

" Baiklah. "

Devan dan Sarah pun pergi meninggalkan rumah singgah Berlin. Dan Berlin kembali ke kamar nya. Berlin duduk di sebuah bangku sambil mengamati beberapa pekerjaannya. Semenjak kepergian Issabel, Berlin memang lebih senang menyelesaikan pekerjaannya di rumah.

Duarrrr...!!!

Tiba-tiba saja terdengar suara petir, Berlin yang terkejut itu langsung berjalan ke arah jendela kamar nya.

" Seperti nya kali ini benar akan turun hujan, tidak seperti tadi siang, hanya angin saja. "

Gumam Berlin, kemudian menutup jendela kamarnya dan kembali duduk di bangku nya.

Benar saja, hujan pun turun dengan sangat bergemuruh. Walau masih sore namun di luar rumah terlihat sudah sangat petang. Berlin yang sudah menyelesaikan beberapa pekerjaannya itu berniat untuk melihat keadaan nenek Maria.

Lalu ia keluar dari kamar nya, Berlin berjalan ke arah kamar nenek Maria. Dan saat Berlin ingin membuka pintu kamar nenek Maria, tiba-tiba saja nenek Maria sudah membuka pintu terlebih dahulu.

" Berlin..? "

" Aku pikir nenek masih tidur, aku berniat membangunkan nenek. "

" Nenek sudah lebih baik setelah istirahat, oh ya...nenek lupa, apa Devan dan ibu nya sudah kemari? "

" Sudah nek, tadi siang mereka datang, tapi aku meminta mereka untuk kembali lagi nanti, karena nenek tadi sedang istirahat. "

" Ah, jadi begitu...kalau begitu ajak mereka makan malam bersama saja dengan kita. "

Berlin sebenarnya sangat malas bertemu dengan Sarah, namun apa boleh buat. Berlin tidak bisa menolak kemauan nenek nya.

" Baiklah nek, nanti akan aku hubungi Devan. "

" Yasudah, nenek mau ke bawah...nenek mau lihat hari ini pelayan memasak apa. "

Dan Berlin pun menghubungi Devan, Berlin memberitahukan apa yang di katakan nenek Maria barusan, dan tidak membutuhkan waktu lama, Devan dan Sarah pun sudah datang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!